Banyak bersyukur

341 31 9
                                    

Selama ners, banyak hal yang aku alami dalam menghadapi berbagai macam pasien dengan penyakit yang menyertai. Jika jadwal padat menguras jam tidur, maka saat melihat pasien yang mengeluh lelah berbaring di atas tempat tidur seharian di situlah harusnya aku bersyukur. Terlebih jika ada pasien yang sebaya denganku.

Kata mereka sakit itu tidak enak. Lidah hambar. Bosan. Tidur tak nyenyak. Belum lagi jika melihat ada pasien meninggal. Stressor pun semakin tinggi. Rasanya seperti malaikat pencabut nyawa sedang berdiri di ujung pintu memilah setiap orang di ruangan mana yang selamat mana yang tidak.

Sampai sekarang, jika merawat pasien  sampai meninggal itu rasanya masih sedih. Apalagi jika kita mampu membuat komunikasi yang baik antara perawat dan pasien. Kata dosen, kita hanya boleh bersimpati. Tidak boleh berempati. Saat melihat ada yang meninggal, tidak boleh larut dalam kesedihan yang terlalu dalam bahkan menangis. Ingat, masih banyak pasien yang harus disupport psikologi dan kesehatannya.

####

Menjadi mahasiswa praktek harus siap untuk melakukan perawatan jenazah. Pernah satu waktu saat jaga malam di ruang penyakit dalam. Aku tidak bisa tidur sama sekali karena ada pasien baru masuk dari UGD pukul 2.45 pagi. Awalnya kondisinya sudah stabil tapi saat masuk ruangan satu jam kemudian kondisinya menurun. Aku tidak akan menyebutkan diagnosis penyakitnya untuk menghormati beliau. Hanya saja waktu itu beliau benar-benar kritis hingga kami harus observasi tiap 10 menit.

Perawat jaga saat itu sedang melakukan pemasangan infus karena di tangan pasien itu infusnya macet. Aku dan tiga teman dari beda kampus saling kerja sama untuk mencari vena pasien itu. Venanya hampir tidak teraba karena pasien mengalami odem (bengkak). Kami pun mencoba mencari vena di kedua kaki pasien. Satu kali dua kali berhasil masuk, tapi akhirnya pembuluh darahnya pecah sehingga terjadi odem lokal di lokasi penyuntikan. Perawat pun secara bergantian berusaha mencari vena.

Kami sebagai mahasiswa bergantian mengukur tekanan darah kemudian melaporkan ke perawat jaga. Tensi pasien semakin lama semakin turun. Bahkan hanya bisa di palpasi. Tubuhnya benar-benar sudah bengkak bahkan saat kau menekan jarimu di tubuhnya. Maka akan ada cekungan yang kembali lambat.

Pukul 3 pagi, pasien itu menghembuskan napas terakhir. Dokter jaga memeriksa pupilnya. Tidak ads reaksi. Dokter itu memberitahu pada keluarga bahwa pasien telah meninggal karena penurunan kondisinya yang saat itu benar-benar sudah tidak bisa ditolong lagi. Aku hampir menangis. Mati-matian kami mencoba membuat pasien tertolong. Namun, nyatanya pemberian injeksi norepinefrin sesuai instruksi tidak dapat meningkatkan tekanan darah pasien lebih lama.

"Dek, kamu perawatan jenasah ya. Aku mau bikin laporan kematian dulu," kata Mbak Putri dengan nada ketus.

Aku mengiyakan. Bersama teman dari kampus lain, kami pun melakukan perawatan jenasah dengan melepas infus, mengikat kedua kaki, tangan, dan kepala lalu menutup tubuh jenasah dengan kain jarik.

"Mbak, ibu saya mau dibawa kemana? " tanya anak pasien sambil menangis. "Keluarga saya mau kesini jangan tutupi tubuh ibu saya."

Dia pun memeluk tubuh ibunya. "Ibu ... jangan tinggalin aku, Bu ... maafin aku, Bu ... "

Pilu rasanya mendengar jeritan wanita itu. Tanganku gemetaran sambil menggenggam kain jarik yang akan menutup tubuh jenasah. Aku membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi anak itu?

Aku belum siap.

Lalu Mbak Putri menghampiri anak itu. Aku tidak paham mereka membicarakan apa. Lalu anak itu pergi keluar ruangan.

"Heh!" seru Mbak Putri membuat aku dan temanku berjingkat kaget. "Kalian itu bisa nggak sih perawatan jenasah? Udah ners kan? Masa perawatan jenasah kayak gitu?"

Aku melongo. Ini jam 3 dan Mbak Putri teriak nggak jelas kepada kami. Bukannya membantu memberi tahu yang benar. Dia malah mengomel sendiri.

"Ck!" Mbak Putri menghampiri kami dengan kesal. "Kalo ngiket itu yang bener. Nggak kendor gini! Ini bajunya gunting aja nggak apa-apa nanti kasihkan keluarganya aja."

Mbak Putri mengulang tindakan kami untuk mengikat jempol kaki, kedua tangan, dan kepala jenasah. Aku mencibir. Harusnya di depan jenasah dia bersikap sedikit lembut, tidak kasar begitu. Apalagi ada keluarga di depannya.

Hal serupa juga kualami saat di penyakit dalam perempuan. Waktu itu setelah observasi ttv pukul 11.30, aku pun mendokumentasikan hasil observasi ke dalam buku. Tak lupa aku melaporkan jika ada tanda vital yang tidak normal.

Tiba-tiba ada salah satu keluarga pasien yang menghampiriku bahwa tiba-tiba ibunya tidak mau bangun tapi terlihat sangat sesak. Aku mengekori pria itu di kamar 4a. Lalu kucoba untuk mengecek kesadaran pasien.

Tidak ada reaksi. Kemudian aku berlari untuk laporan kepada perawat dinas saat itu. Perawat dinas menyuruhku untuk mengecek saturasinya. Dan hasilnya 60%. Perawat dinas itu langsung mengaktifkan code blue. Padahal saat aku obervasi tadi, saturasinya masih 96%. Sungguh keadaan manusia sakit itu tidak bisa diprediksi.

Saat itu aku jaga dengan empat orang anak dari kampus lain. Kami berbondong untuk membantu melakukan RJP. Aku pada breathing menggunakan amubag. Adi pada pijat jantung dengan dua anak yang standby di belakangnya. Sedangkan perawat ada yang laporan, ada yang memberikan injeksi adrenalin.

Tanganku gemetaran saat pertama kali melakukan tindakan code blue ini. Keringatku sudah sebesar biji jagung. Jantungku berdetak cepat. Aku takut jika nyawa pasien tidak tertolong dengan saturasi oksigen 60%.

Hingga setengah jam. Tidak ada tanda perbaikan. Bahkan saturasi semakin menurun hingga 40%. Nadi pasien juga semakin cepat. Tapi tensinya sangat lemah. Diberi injeksi adrenalin pun tidak ada peningkatan.

"Stop RJP!" seru dokter dinas yang mengawasi tindakan kami. Dia mendekati pasien lalu mengecek pupil pasien. Tidak ada reaksi. Dia menggeleng lemah.

Bersamaan dengan itu jeritan kembali menggema di ruangan. Tubuhku lemas tatkala keluarga pasien memeluk ibunya yang baru saja meninggal. Aku hampir menangis. Tidak tega.

"Mama... Jangan tinggalin aku, Ma. Aku sayang Mama... Jangan tinggalin aku."

Air mataku hampir jatuh jika Adi tidak menarikku keluar ruangan.

"Ayo ke ruang perawat. Kita nggak boleh empati," bisik Adi kepadaku.

Aku mengangguk.

Jika ingat kejadian tersebut. Aku harus banyak bersyukur bahwa aku masih diberi kesehatan. Kedua orang tuaku juga masih sehat. Selagi ada jangan sia-siakan keberadaan orang tua.

Tbc...

The NurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang