Sebenarnya nggak heran kalau semua tempat itu ada penunggunya, termasuk rumah sakit. Dan sudah wajar jika tempat ini selalu diselipi cerita mistis dari mulut ke mulut. Bahkan ada juga yang mengalaminya sendiri.
Hari itu kamis malam jumat, bertepatan hari pertama aku jaga malam di ruang perawatan penyakit dalam perempuan. Sialnya, mahasiswa ners yang jaga cuma aku dan satu cewek dari kampus lain. Di sini kadang sebal dengan pembimbing ruangan. Meski jaga malam itu kami lebih santai daripada jaga pagi, menurutku sebaiknya jadwal jaga malam diisi dua orang. Tapi hal itu tidak memungkinkan sih, apalagi satu kelompok terdiri empat orang. Otomatis jaga pagi dua orang, jaga siang satu orang, dan jaga malam satu orang.
Setelah menyapa perawat, aku disuruh menaruh tas di ruang mahasiswa yang letaknya di belakang sendiri berhadapan dengan kamar enam dan berdampingan dengan ruang pantry. Entah ini cuma perasaanku saja atau bukan, suasana di ruang mahasiswa begitu tidak mengenakkan. Aku mencium aroma amis yang melewati kedua lubang hidungku. Namun sedetik kemudian berganti bau yang begitu wangi.
Tiba-tiba aku teringat dengan temanku yang mengatakan bahwa ada kursi roda jalan sendiri. Seketika itu pula bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku keluar ruangan itu menuju nurse station untuk menyiapkan injeksi malam.
"Dek,tolong siapin injeksi malam ya!" perintah perawat yang bertubuh kurus yang bernama Sarah.
Aku mengangguk dan mengajak siswa lain. Kami berdua pun menyiapkan injeksi bersama. Sesekali kami bercerita tentang desas-desus yang datang ke telinga tentang kursi roda itu. Cewek yang bernama Sintya itu membenarkan sambil sesekali dia merinding takut.
"Semoga aja nggak ada apa-apa ya, mana aku lagi halangan pula," kata Sintya dengan muka masam.
Aku mengangguk. "Iya, lagian kamu tahu nggak pas di ruang mahasiswa hawanya kayak aneh gitu."
"Ih, masa?"
"Iya. Kamu nyium aroma anyir nggak sih di sana?"
Kedua mata Sintya membulat. Dia menarik kursi yang di dudukinya semakin dekat padaku. Aku tertawa melihat tingkahnya meski dalam hati aku pun sama.
"Udah selesai. Untung injeksinya cuma sepuluh pasien," kataku. "Udah jam sepuluh nih. Ayo injeksi."
Kami berdua berpencar. Namanya anak ners harus mandiri melakukan tindakan. Alhasil kami membagi injeksi itu menjadi dua. Sintya kebagian kamar satu sampai tiga, sedangkan aku kamar empat sampai enam.
Dengan hati-hati aku memberikan satu persatu suntikan kepada pasienku yang kebanyakan menderita diabetes mellitus. Sesekali mereka menanyakan kapan pulang atau pun melaporkan keluhan mereka. Sebagai ners, kita harus pintar-pintar menjawab pertanyaan pasien tersebut terutama saat pemberian suntikan.
Jangan sampai kita menjadi perawat yang sekadar menyuntik tanpa memberi informasi. Itu salah besar. Pasien jaman now lebih cerdik daripada dulu, ditambah adanya media sosial yang bisa saja menjatuhkan profesi yang mulia ini.
Injeksiku tersisa dua untuk pasien di kamar enam. Sejenak kulirik ruang mahasiswa yang lampunya cukup suram bagiku. Inginku memanggil Sintya namun dia pasti sedang menyuntik ke pasien lain. Sendirian tapi aku takut bau yang kucium tadi bakal tercium lagi.
"Bismillah," gumamku melangkah masuk ke kamar enam tanpa melihat ruang mahasiswa di sisi kiriku.
Kumasukkan suntikan itu kepada pasien sambil menanyakan keluhannya.
"Saya nggak bisa tidur, Mbak," ucap pasien yang bernama Ibu Sani.
"Kenapa, Bu? AC-nya kurang dingin kah?" tanyaku sambil membenarkan selang infus yang sedikit macet.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nurse
Non-FictionIni sekilas dari kehidupan mahasiswa perawat dan semua lika-liku yang terjadi selama praktek di masyarakat dan rumah sakit. Some scenes based on true story.