Adibah Asilah (Author)
Tak seperti biasanya, saat ini Vania berada dikelas saat istirahat tiba. Biasanya dia selalu diam dibawah bersama teman-temannya yang berbeda kelas denganku maupun yang lainnya. Entahlah, mungkin bosan tapi aku tak mau memikirkannya.
Selang beberapa waktu saat aku sempat melihatnya sekilas lalu aku melanjutkan obrolanku bersama Devi, Vania menghampiri kita berdua dan duduk dibangku Rinaya yang terlihat kosong.
Saat itu Vania duduk dibangku Rinaya yang kosong lalu dia menghadap aku dan Devi, aku dan Devi pun menatap wajahnya. Kami bertiga saling bertatapan. Hening, ya itulah suasana yang terjadi pada saat Vania duduk dihadapan kami.
"Kenapa?" tanya Vania membuyarkan lamunan aku dan Devi
"Gapapa" kata Devi yang langsung sadar
"Oh, kalian gak keluar?" tanya Vania
"Kemana?" tanyaku
"Kemana aja we, kan bosen dikelas terus" kata Vania
"Gak ah males. Cowok semua diluarnya juga" kataku sambil menghabiskan sisa minumanku
"Ohh" jawab Vania
Aku bangkit dari dudukku untuk membuang sampah bekas makanan yang tadi aku makan.
Saat aku kembali Devi dan Vania sedang asyik berbincang. Aku yang melihat itu langsung duduk.
"Mmm.. Kalian sahabatan?" tanya Vania
"Iya kita sahabatan"
"Gak kita temen biasa"Dua kalimat yang berbeda namun terucap secara bersamaan. Aku dan Devi saling menatap tak percaya. Terlebih aku. Aku tak pernah menyangka bahwa Devi menganggapku sahabat, Ya Allah.. Aku menyakiti oranglain. Dan saat ini terlihat begitu jelas, bahkan sangat jelas bahwa Devi sedang menahan airmatanya yang akan segera keluar. Matanya sangat merah dan berkaca-kaca, begitu jahatnya diriku sehingga membuat oranglain menangis.
"Gimana sih? Yang benernya yang mana?" tanya Vania membuyarkan lamunanku begitupun Devi.
"Yang benernya kita cuma temen biasa." jawab Devi sembari menahan tangisnya
Aku tak menjawab apapun, aku hanya terdiam. Saat ini tahu, Devi menganggapku sahabat, tapi jujur saja aku tak nyaman berada didekatnya. Mengapa? Karena setiap kali aku dekat dengannya hal apapun yang aku lakukan dia selalu mengomentarinya dengan kata-kata yang membuat hatiku sakit. Selama ini, ia tak pernah mengatakan bahwa aku sahabatnya. Bahkan, dari sikapnya terhadapku seperti bukan sahabat melainkan teman dekat tak lebih dari itu.
Bukan aku tak menganggapnya, tapi yang aku tahu dalam persahabatan harus ada rasa nyaman satu sama lain juga saling mendewasakan. Terkadang, aku yang kekanak-kanakkan. Tapi saat ini aku mulai mengerti, aku mulai melatih diri untuk menjadi dewasa. Dan itu mulai terlihat dari sikapku yang sering mengalah untuk Devi.
Mungkin saat ini yang Devi pikirkan tentang diriku adalah aku orang yang paling jahat didunia ini. Tapi harus bagaimana lagi? Dia nyaman berada didekatku, tapi aku? Tidak. Aku tidak nyaman berada didekatnya.
Berbeda dengan pikiran, hatiku berkata untuk mulai menganggapnya sahabat, meski sebenarnya aku tak nyaman berada didekatnya, tapi aku harus melakukannya. Demi mendapatkan maaf dari Devi.
Devi memang orang yang paling bisa menyembunyikan suatu masalah sendiri, bahkan saat ini ia sedang berpura-pura tidak marah padaku. Dia memberiku senyum palsu, aku tahu itu.
Jika memang Devi menganggapku sahabat, maka aku akan berusaha untuk menerimanya sebagai sahabatku juga meski berat tapi aku akan terus mencobanya.
Hal yang paling aku benci dalam diriku adalah aku menyakiti hati oranglain sedangkan aku tak pernah tahu bahwa hal yang aku lakukan adalah membuat oranglain menjadi sakit hati.
"Dev, aku minta maaf, aku kira___"
"Gapapa kok. Mungkin, aku gak pantes buat jadi sahabat kamu. Jangankan jadi sahabat terkadang jadi temen juga suka nyebelin. Iya kan?" potong Devi sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Dalam hati aku membenarkan kata-kata Devi, tapi disisi lain aku merasa bersalah telah mengatakan itu. Karena kata-kata itu membuatnya sakit hati.
"Tapi dev..." lirihku pada Devi.
Sebelum aku mengatakan apapun selain namanya, dia tersenyum lalu berdiri.
"Karin.. Anter aku ke toilet yuk!" kata Devi saat melihat Karina berada didepan kami, lebih tepatnya duduk dibangkunya.
"Yuk" jawab Karina pada Devi
Ahhh... Aku kira apa yang aku pikirkan memang benar, Devi marah padaku. Bukan. Bukan marah melainkan kecewa.
Aku takut, perlahan dia menjauh hanya karna hal ini. Bodohnya aku, menganggap semua itu hal yang sepele.
Akhir-akhir ini sering update ya.. Soalnya boring abis, sayang kuota nganggur. Iya kan?? Yaudah daripada habis percuma mending update cerita aja.
Makasih ya buat yang setia baca, ini cerita bener-bener real insya Allah gaada yang dilebihin atau dikurangin. Maaf kalo misalkan ceritanya kurang menarik, tapi aku bikin cerita ini hanya menyampaikan sebuah pengalaman dari sebuah persahabatan. Baiknya boleh ditiru dan yang gak baiknya tolong tinggalkan.
Udah, pokoknya jangan lupa Voment kalo udah baca ceritanya oke?
Byee ntar update lagi kapan-kapan kalo lagi boring😅 muaahhh😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Friendship
Non-FictionSebuah luka dalam hati, pahitnya perjuangan, dan kesabaran membuat mereka berdua saling menutup diri untuk memiliki sahabat. Mereka lelah untuk terus memperjuangkan sesuatu yang sia-sia. Tapi dibalik semua itu Allah mempunyai rencana yang begitu ind...