Andante 17: Pillow Talk

2.8K 486 19
                                    

Wonwoo baru saja mengirim pesan singkat pada Jeonghan ketika ia mulai menutup pintu apartemennya tadi. Sekarang ia ada di depan cermin dengan rambut basah karena baru saja selesai mandi. Ia hanya mengirimkan satu kalimat yang berbunyi, "Aku membutuhkanmu Hannie-ya." Namun tidak sampai satu jam bel apartemennya ditekan oleh orang yang tidak sabaran, berkali-kali sampai Wonwoo harus menghentikan aktivitasnya di depan cermin dan mendecak kesal sambil berjalan membukakan pintu.

"Lama sekali sih membuka pintunya! Kau sakit? Ada apa? Ada orang jahat? Ada yang menyakitimu?" Jeonghan bertanya tidak sabar seperti letupan kembang api malam tahun baru, tidak ada jeda. Tangannya meraba kening Wonwoo, memastikan bahwa pria manis bertubuh kurus yang terlihat lemah itu tidak sedang sakit. Mungkin Wonwoo harus sedikit bersyukur memiliki sahabat sekaligus pengganti ibu seperti Jeonghan.

"Wow! Wow! Santai sedikit." Wonwoo memundurkan tubuhnya satu langkah dari jangkauan tangan Jeonghan yang meraba setiap inchi wajahnya, Wonwoo takut kalau-kalau kuku panjang yang mengkilap dan terawat milik sang sahabat menusuk matanya.

Jeonghan merangsek masuk dan langsung menutup pintu dengan tergesa-gesa seakan ada orang lain yang menerobos masuk. Wonwoo hanya menggeleng ringan dan meninggalkan Jeonghan lebih dulu untuk masuk ke kamarnya dan berganti piyama.

"Jadi ada apa sampai-sampai kau membutuhkanku?" Jeonghan telah lebih dulu duduk di ranjang Wonwoo sambil memeluk bantal dan menumpukan dagunya.

"Temani aku tak apa 'kan? Bermalam di sini." Wonwoo berjalan ke luar dari kamar mandi sambil mengancingkan piyamanya dan bergegas duduk di samping Jeonghan.

"Ya tapi kau harus ceritakan, dengan versi cerita paling rinci, tidak boleh ada yang terlewat sedikit pun." Jeonghan kembali menegaskan pada Wonwoo dan diberi anggukan oleh pria manis itu.

Keduanya terlarut dalam pembicaraan hati ke hati hingga tak sadar waktu menunjukkan tengah malam. Beberapa kali Wonwoo harus menjauhkan wajahnya atau menutup telinganya dengan bantal karena pekikan Jeonghan. Atau beberapa kali juga Jeonghan memukul-mukul ringan lengan Wonwoo karena terlalu gemas, ia juga kadangkala bergumam tak jelas sambil mengangguk-angguk. Wonwoo menikmatinya, merasa lega, dan mendengarkan dengan saksama setiap kata serta saran dari Jeonghan, meskipun ia tidak yakin akan melaksanakan semuanya. Ia melirik ke arah Jeonghan yang ternyata telah menjemput alam mimpinya lebih dulu, hela napas samar-samar dan teratur, serta wajah damai yang sedikit lelah. Wonwoo sadar setiap Jeonghan bermalam di sini, ia selalu merepotkan pria cantik itu. Pelan-pelan Wonwoo ikut merebahkan dirinya dan segera masuk ke dalam selimut. Mencoba memejamkan mata dan berharap bahwa hari esok dan esoknya lagi dan esoknya lagi akan berjalan dengan baik.

~~~

Wonwoo bangun sedikit terlambat karena pembicaraannya dengan Jeonghan semalam. Ia mendapati suara gemericik air dalam kamar mandinya, Jeonghan ternyata telah bangun lebih dulu. Wonwoo bergegas ke dapur, berniat membuatkan teh dan roti panggang untuk sarapannya serta Jeonghan. Aroma citrus dari sabun mandinya menguar, ternyata Jeonghan telah selesai mandi dan menghampirinya di dapur.

"Pukul sembilan, waktu yang sangat terlambat untuk sarapan." Jeonghan mencibir dari meja makan.

"Mengapa kau tak membangunkanku kalau begitu?" Wonwoo mendecak sambil mengaduk teh.

"Kau butuh tidur untuk melepas penat." Jeonghan berkata, tiba-tiba bel apartemennya berbunyi.

"Hannie-ya, please ..." Wonwoo yang masih kerepotan dengan olesan selai kacang di rotinya memohon pada Jeonghan untuk membukakan pintu. Jeonghan berjalan sambil mengibaskan tangannya ke arah Wonwoo.

"Good morning, Mr. Jeon?" Seorang kurir dengan pakaian seragam perusahaan antar barang terkenal menyerahkan sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita biru navy yang mengikatnya setelah mendapat jawaban iya dari Jeonghan.

"Siapa Han?" Wonwoo bertanya sambil memindahkan dua piring roti panggang ke meja makan. Menuangkan teh chamomile ke dalam dua cangkir putih yang telah disediakannya.

"Kurir. Untukmu. Bukalah." Jeonghan meletakkan kotak kado itu di meja makan. Wonwoo mengernyit heran dan perlahan membukanya.

Jeonghan berteriak senang ketika melihat isi kotak yang telah dibuka.

"Astaga! Dia benar-benar serius Wonwoo! Kim Mingyu luar biasa!" Jeonghan menutup mulutnya sambil menatap bergantian ke arah kotak dan wajah Wonwoo yang terpaku bingung.

"Tentu saja aku punya jas putih, ia terlalu berlebihan." Wonwoo duduk dan menyesap tehnya sambil mengelus permukaan jas mahal yang masih terlipat rapi di dalam kotak. Wonwoo bangun dari duduknya hendak ke kamar dan mengecek ponselnya, ia terkejut ketika melihat banyak sekali missed call dari Mingyu. Baru saja ia ingin balas meneleponnya, ternyata Mingyu telah lebih dulu meneleponnya lagi.

Gyu is calling ...

"Astaga! Mengapa susah sekali sih menghubungimu?"
.
"Maaf aku sedang membuat sarapan dan ponselku di kamar."
.
"Sudah kau terima?"
.
"Apanya?"
.
"Jas putih dan dasi hitam."
.
"Tadinya aku tidak mau menerima dari kurir itu, karena tak jelas nama pengirimnya. Aku pikir itu bom waktu."
.
"Berhentilah bercanda dan pastikan kau datang."
.
"Astaga Gyu, pameran itu bahkan masih pekan depan."
.
"Aku hanya memastikan agar kau tidak beralasan untuk tak datang. Seminggu ini aku akan sangat sibuk mempersiapkan semuanya."
.
"Hmm, baiklah."
.
"Ingat, jas putih dan dasi hitam."
.
"Iya. Tidak janji."
.
"Jas putih dan dasi hitam."
.
"Hmm."
.
"Jas putih dan dasi hitam. Kau harus datang. Jangan lupakan makan siangmu. Bye sweetie."
.
"Have a nice day, Gyu. Bye."

Telepon ditutup, jangan tanyakan bagaimana wajah Wonwoo kali ini. Memerah seperti kepiting rebus. Jeonghan berniat kembali ke kamar Wonwoo setelah menyelesaikan sarapannya. Namun ia terkejut ketika melihat wajah Wonwoo yang memerah. Cepat-cepat Jeonghan mengarahkan punggung tangannya ke kening Wonwoo.

"Kau sakit?" Jeonghan bertanya dengan panik.

Wonwoo menggeleng dan menurunkan tangan Jeonghan dari keningnya.

"Lalu?"

"Mingyu menelepon." Wonwoo menjawab pelan sambil menunduk.

"Astaga Jeon Wonwoo yang dingin benar-benar jatuh cinta! Baru ditelepon saja sudah merah begitu, bagaimana jika ia membawamu ke atas altar." Jeonghan mengejek sahabatnya itu.

"Tutup mulutmu!" Mulut Wonwoo memang menghardik Jeonghan tapi pergerakan badannya kontra dengan mulut pedasnya, ia malah memeluk Jeonghan dan menyembunyikan wajahnya di bahu sahabatnya itu.

"Yakinlah bahwa semua akan baik-baik saja, sweetie." Jeonghan menepuk-nepuk punggung Wonwoo memberi ketenangan.

To be continued

P.S

Double up gapapa ya? Karena aku pingin cepet-cepet work ini selesai biar bisa mikir untuk work yang itu :')

Selamat membuka kotak pandora!

Andante [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang