Hari libur dimanfaatkan Wonwoo untuk membereskan apartemen Minghao yang ia tempati. Sebagai seorang yang menumpang, ia cukup tahu diri. Tidak ada sampah yang menumpuk dan karpet serta permukaan lantai maupun meja yang berdebu. Ia juga sudah merapikan kamar dan buku-buku tugas kuliahnya. Sesaat ia mendengar percakapan dua orang dan suara orang membuka sepatu di dalam apartemennya. Wonwoo tahu kebiasaan Minghao, sahabatnya itu tidak pernah membunyikan bel apartemen mereka. Ya untuk apa membunyikan bel, toh apartemen ini milik Minghao ia bebas masuk dan keluar kapan pun ia mau. Begitu pikir Wonwoo. Minghao adalah sahabat yang tidak pernah memperhitungkan apa pun terhadap Wonwoo, ia cenderung memberikan miliknya demi menyenangkan Wonwoo sahabat pertamanya di Korea.
"Wonu-ya, sweetheart! Aku datang." Wonwoo hanya tersenyum dari dalam kamar mendengar kalimat Minghao yang seringkali cheesy dan membuatnya bergidik. Orang-orang sering mengira mereka berdua adalah sepasang kekasih, mereka sudah biasa dan hanya memberikan senyuman pada orang-orang itu.
"Akhirnya ingat juga bahwa kau memiliki seseorang yang telah jenuh menunggumu." Pria manis bermata rubah itu melangkah keluar kamar dan memeluk sahabatnya. Padahal saat di Korea, Minghao telah berjanji akan menemani Wonwoo kemana pun ia mau pergi. Tetapi nyatanya, sudah satu minggu ia menjalani perkuliahan Minghao baru sempat mengunjunginya.
Perhatian Wonwoo teralihkan pada pria yang sejak tadi berdiri satu langkah di belakang Minghao, pria yang tersenyum sangat manis melihat interaksi kedua sahabat dekat tersebut.
"Ah iya, kenalkan. Ini Kim Mingyu, yang aku ceritakan itu. Ingat 'kan?" Minghao berbicara kepada Wonwoo yang diam terpaku di hadapan mereka, Wonwoo hanya mengangguk gugup. Minghao telah hafal kecemasan yang dialami Wonwoo. Wonwoo cenderung takut dan defensif ketika bertemu dengan orang baru.
"Mingyu, ini sahabatku. Jeon Wonwoo. Panggil saja Wonu atau Wonie agar lebih imut. Ah bukan, dia bukan hanya sahabatku, ia seperti kakakku, sekaligus adikku pada waktu yang bersamaan." Mingyu terkekeh mendengar penjelasan Minghao yang diikutin delikkan mata dari Wonwoo.
"Kim Mingyu. Cukup panggil Mingyu saja." Pria tinggi dengan gigi taring yang manis itu mengulurkan tangannya.
"Wonwoo." Lawan bicaranya membalas uluran tangan Mingyu dengan sekejap. "Sebentar, aku akan membuatkan minuman untuk kalian." Wonwoo kembali beranjak menjauhi mereka.
~~~
Wonwoo sedang mengaduk cokelat hangat yang akan ia suguhkan untuk tamu sahabatnya, hingga sayup-sayup ia mendengar Minghao tertawa begitu lepas dan ringan berbagi cerita dengan Mingyu. Ada sedikit rasa cemburu di dalam hatinya, bahwa sang sahabat telah memiliki orang dekat. Wonwoo menggelengkan kepalanya, seharusnya ia tidak merasa seperti itu. Harusnya ia bahagia melihat Minghao semakin mendapatkan kepercayaan dirinya. Ia juga tidak mengerti bagaimana bisa bersahabat dengan Minghao sedekat ini, merasa bahwa dirinya dan Minghao itu ibarat bumi dengan langit. Jauh berbeda. Mau dilihat dari sisi mana pun semua terasa berbeda, Minghao yang friendly dan supel serta Wonwoo yang kaku dan canggung. Minghao yang bisa dengan mudah menginjakkan kaki ke seluruh kota-kota impiannya, serta Wonwoo yang harus berkeras mendapatkan beasiswa demi meninggalkan Korea dan semua kenangan tentang orang tuanya.
~~~
"Hanya cokelat hangat, tak apa 'kan?" Wonwoo membawa dua cangkir berwarna putih ke ruang tamu apartemen mewah itu. Kedua orang yang diajak bicara itu hanya menganggukan kepala. Wonwoo kembali menjauh, menuju grand piano yang terpajang di salah satu ruangan. Berkuliah di jurusan musik membuatnya harus menguasai segala jenis instrumen. Jemarinya yang panjang dan lentik mulai menekan tuts piano yang berbaris rapi di hadapannya.
Sebenarnya Wonwoo bukan penggila musik. Wawasannya lebih luas di dunia kesusastraan daripada musik. Musik hanya salah satu dari banyak hal yang ia suka. Itu saja alasannya. Maka ketika Wonwoo memainkan tuts piano dengan jari-jari lentiknya, jangan harapkan karya dari Beethoven atau Mozart yang akan ia mainkan. Alunan Kiss the Rain dari pianis kebanggaan negaranya yang beraliran kontemporer klasik terdengar samar, lembut menyapa telinga, kepala yang mengayun, mata yang kadangkala terpejam, dan tarikan napas pelan-pelan mengiringi permainan pianonya sore itu.
Pada penekanan terakhir, terdengar riuh tepuk tangan dari seseorang yang sejak tadi bersandar di depan pintu. Wonwoo yang baru saja membuka mata seketika menoleh dan sedikit terkejut.
"Kau ... Sejak kapan kau di situ?" Wonwoo bertanya gugup.
"Sejak tadi. Ketika telingaku mulai terbuai permainan pianomu." Jawab Mingyu sambil tersenyum dengan tangan yang ia silangkan di depan dadanya.
"Minghao?" Wonwoo bertanya lagi, dirinya masih belum beranjak dari kursi pianonya.
"Ke kantor." Mingyu menjawab singkat.
"Lalu kau?" Wonwoo masih tidak bosan bertanya pada Mingyu.
"Aku? Aku melukis pesanan Minghao. Kau kenapa? Bertanya seperti polisi sedang menginterogasi penjahat saja. Tenang, aku tidak akan mencuri apa pun." Pria tinggi bernama Mingyu itu kembali tersenyum, merasa lucu akan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Wonwoo.
"Tidak. Tidak. Bukan begitu. Hanya saja aku terbiasa menjaga apa yang menjadi milik Minghao." Wonwoo kembali menjawab dan Mingyu tersenyum sangat manis.
To be continued
P.S
Sambil nemenin ngabuburit abang up sekarang aja yaa. Happy reading.
Selamat membuka kotak pandora!
KAMU SEDANG MEMBACA
Andante [Meanie] ✓
FanficAndante [ahn-dahn-tey; an-dan-tee; Italian ahn-dahn-te] adv. at a moderately slow tempo °[Wonwoo; Minghao; Junhui; Mingyu at same age]