Kekhawatiran

44 4 2
                                    

"Beribu kebohongan. Tak mampu meruntuhkan bukit kasih sayang yang terpatri."

***

Kejadian malam itu, masih saja menghantui batinnya. Rasa malu yang berkerumun, tak juga pergi.

Padahal, matahari sudah beranjak dari tempat persembunyian. Memaksanya terbangun, di saat mata masih ingin terpenjam.

Sorot cahaya, bahkan menembus jendela. Memicingkan mata, menyilaukan pandangan. Ketika tangannya membuka korden bermotif bunga yang belum lama terpasang.

Jam setengah tujuh.

Tiara pasti sudah bangun. Di raihnya handphone, lalu mengetik dengan cepat. Tak sabar rasanya. Ingin menggelontori perempuan itu dengan kalimat pedas.

"Udah deh. Wajah kayak kamu tuh nggak pantes marah. Lucu ya baru."

Tertawa puas.

Kembali wajah dengan cengar-cengirnya yang sejengkal. Sewaktu Nana mengingatkan, lebih tepatnya memarahi. Ketika barang pribadinya di acak-acak.

Paling tak suka, kalau ada seseorang hingga mengusik barang miliknya.

Kalau belum bangun kebangetan.

Waktu libur seperti ini. Tiara keseringan bangun siang. Bahkan pernah sampai jam sepuluh.

Kebo.

Hari libur tak bisa di jadikan alasan untuk mengulur waktu bangun. Masalah berhutang tidur. Bisa di tebusnya nanti siang. Toh. Itu juga satu hal yang dianjurkan Rasulullah. Untuk mengistirahatkan tubuh, serta memperkuat energi menjalani aktivitas selanjutnya.

Terkirim.

Nana: Kenapa kamu nggak bilang.                     Kalau pulangnya sampai larut,                                                                      jam 11 loh?

Tanda emoticon merah padam, mewakili kegeramannya.

Jelas. Ia harus mengendarai motor dengan tingkat kecepatan yang tinggi. Memburu waktu, untuk segera sampai rumah. Ibu sejak tadi sudah menghubunginya melalui sms juga telepon. Entah sampai berapa. Tak terhitung.

Ingin segera merutuki Tiara dengan omelan menyalahkan. Ia harus menerobos malam yang mencekam. Mengakrabkan diri dengan jalan yang sepi.

Satu dua kendaraan yang melintas bebarengan. Tak cukup untuk mengusir kekhawatiran.

Belum lagi, tak semua sisi jalan memiliki lampu penerang. Wajah garang lelaki yang nongkrong di pinggiran jalan. Juga mencekiknya dalam ketakutan.

Semoga Allah melindungi.

Satu pesan masuk.

Tiara: Kan kamu nggak tanya?

Emoticon mengejek.

Sudah bangun ternyata. Tumben.

Tiara juga tak mengira. Kalau akan semalam itu. Kata Pak Ahmed setelah mendaftarkan Nana, tak ada larangan untuk anggota mengikuti acara hingga selesai.

Boleh pamit pulang terlebih dulu, yang terpenting ia pulang dengan otak berisi. Serta tak lupa mengerjakan tugas yang di berikan. Sebagai bentuk latihannya. Sebab untuk pandai menulis. Ia harus berlatih setiap hari.

Nana: Mana aku tahu. Pokoknya kamu harus tanggungjawab. Gara-gara ini, aku harus berbohong lagi.

Kalau kejujuran menjadikannya tersudut. Ia terpaksa berbohong, hanya saat keadaan darurat. Seperti tadi malam. Meski kebohongan atas alasan apapun, tak pernah di benarkan.

Kado KelulusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang