"Biarlah aku memelukmu melalui doa. Cara ampuh untuk mengikatmu."
***
Tiga bulan ini. Nana menjadi lebih sering ke perpustakaan. Terutama ke bagian ruang referensi. Menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengolah data dari hasil penelitiannya.
Satu tahap terselesaikan.
Buku bersampul tebal terumpuk di meja. Sesekali di bolak-balik. Orang yang berada di ruangan yang sama, menunjukan keseriusan yang berbeda. Sunyi.
"Rasa sakit saat skripsi di coret-coret sama dosbing. Melebihi sakit hati di putusin pacar tahu nggak. Nyesek banget."
Gurat keputusasaan tergambar dari perempuan berjilbab biru. Lembaran kertas di biarkannya berserakan di meja. Laptop yang sedari tadi menyala tak tersentuh.
"Ini yang namanya perjuangan. Udah deh, di nikmati aja," orang di sebelahnya menyemangati.
Nana yang mendengar. Hanya tersenyum.
Alhamdulillah.
Selama mengerjakan. Ia tak mendapati kesulitan yang berarti. Arahan juga petunjuk yang diberikan oleh dosbingnya. Mampu di terapkannya baik. Ketika kesulitan mendera, ia segera menemui. Meminta pencerahan.
"Sebuah title juga nggak akan menjamin orang yang menyandangnya mendapat kemudahan setelah kuliah kan. Udah capek-capek kuliah empat tahun. Ngerjain skripsi. Ujung-ujungnya nganggur," perempuan itu melontarkan pendapat yang sempat membuat Nana tergelitik.
Ia melirik kecil. Orang di sampingnya manggut-manggut.
Ini yang terkadang kurang di perhatikan, ketika seorang menjadi mahasiswa. Mengandalkan gelar untuk jaminan kehidupan yang layak di masa depan. Padahal, di negeri ini banyak sekali pengangguran terdidik.
Bahkan ada yang berasal dari cetakan perguruan tinggi ternama.
Ternyata tempat masih tak menjamin keberhasilan seseorang. Sebagaimana ia bersungguh-sungguh. Itu yang lebih menentukan.
Allah. Nikmat-Mu.
Usahanya membuahkan hasil.
Meski baru sedikit. Apa yang dilakukannya tak menguap begitu saja.
Di sela perkuliahan. Ia menekuni menulis. Tak ada satu hari pun yang dilalui tanpa menulis. Hingga dalam kurun waktu dua bulan. Ia bisa menerbitkan buku perdana.
Mengetahui itu, perlahan ibu mulai menerima mimpi anaknya. Tak banyak memberontak seperti dulu.
"Kalau itu yang terbaik menurutmu, lakukan. Ibu hanya bisa mendoakan."
Pernyataan ibu membuat rongga di hatinya membesar. Sejuk sekali.
Ucapan yang sudah di nanti lama.
Bahwa Nana tak pernah bermain soal mimpi. Ibu harus percaya.
Melalui Pak Ahmed, ia di jembatani bertemu dengan salah satu penerbit kenalannya.
"Saya biasa mempercayakan antologi puisiku di sini."
Jelasnya saat memberitahu Nana untuk ikut menerbitkan buku di tempat yang sama. Bahkan Pak Ahmed tak segan mengantarkan untuk mengurusi hingga selesai.
Keuntungan dari memiliki jaringan.
Hal yang tak akan di dapatkan. Jika ia memutuskan tetap mengurung diri.
"Jangan minder, yang penting yakin dulu. Sayangkan sudah nulis tapi nggak di sebarluaskan."
Perkataan Pak Ahmed membuatnya memantapkan niat.
Di awal. Ia baru berani untuk menerbitkan secara self publishing. Hingga tanpa di sangka, ada pihak yang tertarik untuk menerbitkannya secara mayor.
Alhamdulillah.
Pintu kemudahan semakin terbuka.
Janji Allah pasti.
Akan ada jalan, bagi mereka yang berjuang. Serta menyerahkan semua kuasa kepada-Nya.
Melalui royalty yang di terima dari hasil penjualan buku. Ia mempergunakannya untuk menabung. Perekonimian keluarga juga terbantu.
Bersyukur. Bersyukur. Bersyukur.
Keberuntungan lain. Ia kerap di mintai bantuan untuk mengajarkan terkait kepenulisan bagi siswa SD maupun SMP.
Penghasilan tambahan lain.
Semua ini karena....
Ingin rasanya bertemu. Menghujaninya dengan ucapan terima kasih. Berkat pertolongannya meminjamkan laptop. Perempuan itu memperoleh kemudahan untuk mengejar mimpi. Tanpanya, semua akan terhambat.
Bagaimana kabarmu?
Ia menarik nafas. Memandangi handphone yang sedari tadi berada di samping.
Semenjak kepergian. Kabarnya seperti di terpa angin kencang. Tak kembali. Sapa-sapa hangat tak lagi di terimanya.
Mungkin ia sibuk.
Mengurusi usaha. Juga membantu paman.
Tapi kenapa ia harus merasa kehilangan.
Tapi di satu sisi, ia ingin lelaki itu mengetahui keberhasilanya saat ini. Melaluinya, gerbang kemudahan itu terbuka lebar.
Aku berhutang banyak.
Tpi apa daya. Lelaki itu memutuskan komunikasi.
Bukan. Tepatnya menghindar. Menjauh.
Apa ia sudah benar-benar melupakan?
Kebisuan membuat praduga itu menguat.
Di luar kota ada banyak kemungkinan yang terjadi. Selain kesibukan, bertemu dengan perempuan lain, yang memiliki kecantikan paras lebih darinya. Bisa saja mengikat pandangan lelaki itu, untuk berpaling. Menahannya untuk sebatas memberi kabar.
Terlalu jauh ia menilai.
Berpaling atau tidak itu bukan urusannya. Sebelumnya juga tak pernah ada janji. Atau pembicaraan terkait hati.
Nana terhanyut dengan perasaannya sendiri.
Bukankah seharusnya tak menjadi persoalan. Kalau lelaki itu terpikat dengan perempuan lain. Atau bahkan menikah.
Jangan.
Kuserahkan semua pada-Mu. Engkau yang lebih mengetahui mana yang terbaik.
Entah mengapa. Meski lama sudah tak saling menatap. Ia masih menyimpan bayang lelaki itu, di satu ruang ternyaman. Tak ada seorang pun mengtahui. Kecuali ia, dan Sang Maha Pemilik Hati.
Belakangan ini. Ia pulang lebih larut. Seperti sekarang, jam sudah menunjukan pukul lima sore. Tapi posisinya masih belum beranjak dari tempatnya mengetik.
Nanggung.
Ia lebih memilih menyelesaikan. Sebab ingin ikut wisuda di gelombang pertama. Bulan April. Telat dalam menyelesaikan. Berarti ia harus menunggu hingga bulan oktober.
Nggak. Harus di April.
Tekadnya sudah kuat.
Dengan meletakkan tangan di meja. Lelaki yang kehidupannya sudah mulai berada di taraf lebih baik. Memandangi kertas kecil tak berkedip.
Sesekali di ajaknya berbicara.
Kau baik-baik saja?
Bukan sebatas kertas biasa. Satu gambar perempuan yang selalu menemaninya bekerja. Senyumnya terpampang begitu anggun.
Aku rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kado Kelulusan
Roman d'amourSepertinya, tak ada yang mampu menghindar persoal cinta. Keindahannya bertebaran di mana-mana. Tak terkecuali di hati perempuan berlesung pipit. Saat di perjalanannya menyembuhkan luka. Juga mencari jalan yang bisa membawanya pada ketenangan. Ia di...