Bingkisan Tanpa Nama

4 0 0
                                    

"Kutahui akan mimpimu. Untuk itulah kupersembahkan bingkisan sederhana ini."

***

Lega. Satu persoalan terselesaikan.

Baru dua bulan bekerja. Hamid sudah terlalu banyak membantu. Bukan hanya sebagai orang berjasa yang memberinya pekerjaan. Kebaikannya, merambat hingga mengulurkan bantuan atas kebutuhan lain.

Perasaan tak enak, karena sudah banyak menolong. Merayapi hatinya. setiap kali berniat ingin menolak, pemberian yang terus mengalir. Tangan Hamid dengan cepat menepis.

"Ini bukan untuk kamu. Tapi untuk ibumu. Terimalah."

Ia terheran. Saat mengetahui jumlah gaji yang diterimanya. Melebihi apa yang diberikan Hamid bulan lalu. Juga sesuai kesepakatan. Gaji yang diberikan, harus sesuai dengan seberapa banyak pekerjaan yang di selesaikannya.

Freelance.

Semula Nana kira. Lelaki itu tak terlewat, memasukan lembaran dalam amplop berlebih. Ternyata, itu merupakan unsur kesengajaan.

"Jika kamu masih ingin bekerja. Jangan pernah larang aku memberikan pertolongan. Ini kemauanku sendiri."

Dengan nada sedikit mengancam. Nana akhirnya pasrah. Menerima dengan kelapangan hati.

Masalah pemberian uang yang setiap kali berlebih. Ibu tak paham. Hanya mengetahui, uang yang di terima dari hasil kerja keras anaknya. Tak ada yang lain.

Ibu juga tak pernah bertanya banyak. Dari mana ia memperoleh kelebihan uang. Setidaknya, ia tak perlu mencari alasan.

Meskipun, dalam keadaan tertentu. Ini bukan berarti hal baik. Bagaimana, semisal uang itu hasil dari mencuri. Atau hasil membohogi orang lain.

Astagfirullah.

Namun, ibu teramat percaya dengan anaknya yang tak akan berbuat hal di luar batas. Apalagi melanggar hukum. Sejak kecil, ibu selalu mengajarkan. Untuk tak menghalalkan berbagai macam cara, untuk memperoleh uang.

Walaupun, memilih cara berhubungan dengan rentenir juga bukan cara menyelesaikan masalah. Paling tidak, itu bukan dari merampas hak orang lain.

Allah selalu memiliki cara, dalam menunjukan kuasa-Nya.

Pertolongan Hamid, menjadi pintu kebahagiaan. Membuat gurat kelesuan di wajah ibunya memudar. Kini berubah senyum berseri.

Bersyukur.

Belum lagi. Urusan dengan rentenir yang sudah selesai.

"Alhamdulillah. Hutang ibu lunas."

Melalui gaji pertamanya, juga sejumlah angka yang masih tersisa di tabungan. Dengan kurun waktu sebulan. Melalui upaya diiringi doa. Nana mampu melunasi. Pokok sekaligus bunga yang di tetapkan.

Walaupun ia masih di bayangi kebutuhan lain, yang kedatangannya sering tak bisa di duga.

Membebaskan ibu dari jerat riba, lebih utama.

Kalau sudah begini. Ibu tak perlu lagi terbayangi oleh wajah garang si penagih hutang. Dengan buku catatan, yang terkadang di selingi kata tak pantas untuk di ucapakan.

"Kalau ibu butuh keperluan. Bilang sama Nana. Siapa tahu bisa bantu. Jangan di pendam sendiri."

Kini mulai saatnya. Ia harus merelakan kebebasan waktunya. Berjuang demi masa depan keluarga. Membiarkan malas berkemas pergi jauh. Tanpa merelakannya datang dengan bebas.

Kalau bukan ia, siapa lagi?

Pekerjaan sudah tersedia. Tinggal bagaimana ia harus menikmati kesibukan. Sehingga hampir tak tersisa waktu untuk berkegiatan tak mengundang manfaat.

Kado KelulusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang