Gelombang tinggi menghantam lambung kapal. Di atas dek para kru saling berteriak satu sama lain. Suasana sedang kacau, tidak ada waktu untuk bertanya apa penyebab badai yang datang secara tiba-tiba ini. Nahkoda kapal sibuk memutar kemudi dan berusaha menstabilkan laju supaya tidak terbalik.
"Kecepatan angin 37 knot kapten" teriak salah satu kru. Kapten berusia muda tersebut berdecak lalu menumpukan telapak tangannya diatas meja seraya menatap ke depan. Ke arah gelombang-gelombang ganas yang berdebur kencang.
"Pasti ada yang salah dengan alat koordinatnya" sahut nahkoda dengan nada cemas. Mereka semua memang terlatih menghadapi badai, namun tidak dengan kapal yang lebih kecil dari biasanya ini.
Dibalik kesibukan para kru, di dalam kabin yang letaknya tepat di bawah ruang kendali, delapan orang dengan wajah oriental berkumpul. Mereka memiliki raut wajah yang sama, panik.
"Kita tidak akan mati kan?" sahut seseorang.
"Bodoh, jangan berkata hal seperti itu" seorang lainnya berteriak putus asa.
"Kalian jangan terlalu berpikiran negatif, kita percayakan pada kapten" salah satu dari delapan orang itu berusaha menenangkan tujuh yang lain, meskipun ada nada kekhawatiran tidak bisa dihilangkan darinya. Bagaimanapun juga anak-anak ini adalah tanggung jawabnya.
"Hyung, aku mual..."
"Jangan menyusahkanku di saat seperti ini, aku bukan ibumu"
"Hei, kalian berdua! Sekarang bukan waktunya bertengkar"
"Siapa yang bertengkar?! Dia yang mulai duluan"
"Aku hanya mu...al..."
"Kamu kira di saat seperti ini aku sempat mengurusi orang mabuk laut?!"
"Sudah-sudah kalian berdua"
"Teman-teman, aku tahu kalian takut, tapi ini juga bukan waktunya untuk egois. Ho Beom-nim sudah bilang bukan, kita percayakan pada kapten"
"Tapi tetap saja ini menakutkan, Namjoon-ah!" pemuda di sudut ruangan berteriak sambil berpegangan pada pinggiran sofa.
"Hyung, siapa bilang aku tidak takut!" pemuda yang dipanggil Namjoon itu balas berteriak.
Kepanikan di kabin tersebut tidak ada hentinya. Diluar, langit semakin gelap namun bukan karena malam. Kapal itu masih berayun-ayun keras, seolah pasrah dengan kekuatan alam.
"Kapten, langit 5 kilometer arah jam 3 terlihat terang" salah satu kru tiba-tiba masuk ke ruang kemudi. Kapten dan nahkoda sama-sama melihat keadaan langit yang dilaporkan lewat binokularnya.
"Aku tidak tahu kita bisa mencapainya atau tidak" kata nahkoda kapal.
"Tidak ada salahnya mencoba meskipun..."
Seluruh awak kapal yang di ruang kemudi terdiam, langit tenang di sana memang dapat diharapkan, namun dapat pula membawa petaka karena...
Pusat dari badai justru adalah titik tenang yang ada di tengahnya.
---
"Erwin!!!" suara memekik dari teras rumah membuat si pemilik nama menggosok-gosok telinganya. Ia segera menyambar tas selempang di atas meja tamu dan sembarangan mencabut ponsel dari kabel charge.
"Masih lima menit lagi, kan?" kata Erwin saat mengikat tali sepatu.
"Lo kira dari kosan ke alfamart depan komplek, kita jalan kaki, Win!" gerutu gadis itu.
"Udah-udah, Ra. Lagipula warga desa juga baru berangkat, koq" gadis yang satunya berusaha menetralkan suasana. Ia tidak ingin hari pertama pengabdiannya berantakan karena perselisihan hal kecil dari dua orang yang memang jarang akur ini.
"Umik udah berangkat ke balai desa ya?" tanya Erwin.
"Makanya jangan kelamaan mandi, sampai nggak tau Umik sama Abah udah berangkat daritadi" sewot Aira.
"Iya, Win. Udah"
"Bisa nggak sih jawabnya yang bener kek Dya gitu, Ra" Erwin berjalan di depan kedua gadis itu sambil membelakangi jalan. Pandangan matanya mengarah pada si gadis ketus itu dengan sudut bibir mencibir. Otot rahang Aira menegang, Dya yang melihat sudah mengetahui apa yang akan dilontarkan dari bibir mungil teman akrabnya selama berkuliah itu.
"Eh, anj..."
"KAPAL!!!" belum sempat Aira menyelesaikan umpatannya, sebuah teriakan warga di kejauhan memecah ketenangan (atau mungkin keributan, bagi Dya).
"KAPAL TERDAMPAR! KAPAL TERDAMPAR!" seorang laki-laki paruh baya berteriak sekuat tenaga berlari kearah balai desa. Sontak masyarakat yang awalnya duduk khidmat menunggu acara pembukaan sekolah sementara di desa itupun beranjak. Entah berapa banyak laki-laki yang justru berlari kearah dermaga. Aira, Dya dan Erwin mematung kebingungan di antara hiruk pikuk warga.
"Ada kapal yang sepertinya tersesat badai dan mengarah kesini" suara berat tepat di belakang telinga Aira membuatnya sempat tersentak. Meskipun akhirnya tersadar kalau itu adalah suara Abah.
"Kalau terdampar, bukannya sudah di pantai, Bah?" Erwin bertanya keheranan karena ia menyaksikan 'kawanan' laki-laki yang tadi berlari, sekarang sudah menaiki kapal nelayan dan masing-masing dan mulai berlayar.
"Kamu lupa apa yang mengepung pulau ini sampai sebulan ke depan?" tanya Abah tanpa melepaskan penglihatannya ke arah laut lepas. Ia bisa melihat sebuah bayangan, kecil terombang-ambing lelah.
"Badai bisa membalik kapal itu" Jawab Dya. Aira dan Erwin tersentak dan menoleh. Mereka mulai merasa ngeri saat melihat Abah menganggukkan kepala membenarkan jawaban Dya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CASTAWAY - Reunify
FanfictionKetika tujuh orang pemuda yang membawa 'kabur' masing - masing masalahnya dengan berlibur di sebuah island resort. Namun semua rencana harus kandas, seperti kapal mereka. "Comeback dua bulan lagi" "Kita ada janji temu di NY " "Bagaimana promosinya...