Hujan turun begitu deras malam ini di Pulau Taji. Sebuah hal yang lazim terjadi ketika pulau dikepung badai, seringkali terkena imbasnya. Maghrib tadi Dya seperti biasa pergi ke surau dengan Abah dan Umik, kali tadi ia berkali – kali melongok ke shaf paling belakang ketika dzikir, juga tidak langsung pulang karena mencari – cari Maya diantara anak – anak yang sedang bermain menumpuk sandal di halaman surau. Anak perempuan itu masih tidak ada, pun ketika dirinya bertanya pada mereka. Hanya jawaban singkat yang ia dapat. Budi juga tidak terlihat, mungkin karena jarak pos perbaikan kapal yang memang agak jauh dari surau.
"Lo kenapa? Koq kusut gitu mukanya?" tanya Aira ketika melihat Dya masih menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur tanpa melepas mukena. Yang ditanya hanya menghela nafas dan terdiam sejenak.
"Tadi...sempet ada masalah di sekolah" jawab Dya. Matanya menerawang masih memikirkan hal lain.
"Anak – anak? Yah, biasalah mereka itu. Krucil – krucil yang bikin gemes pas di awal doang. Tapi lama – lama bikin kesel juga" timpal Aira kemudian tertawa pelan. Namun tawa itu terhenti karena lawan bicaranya tidak merespon gurauan itu. Dya bangkit, melepas mukena, melipatnya dengan rapi, lalu duduk di sebelah Aira yang sedang berbaring santai di atas karpet kamar.
"Kalo lo mau cerita..." Aira menutup laptopnya pelan – pelan. "Gue siap dengerin koq" ia bangun dan duduk menghadap Dya. Teman baiknya itu selama beberapa menit pertama hanya menghela nafas beberapa kali, seperti sedang merangkai cerita itu di dalam otaknya. Aira masih sabar menunggu dan memasang telinga baik – baik. Dya sendiri masih tidak tahu harus memulai darimana.
"Maya. Anak itu ternyata ada hubungannya juga dengan Pradana" pada akhirnya Dya mengawali kisah. Mata Aira membulat. Sudah berapa tahun sejak kejadian itu, dan sekarang Dya bisa menyebutkan lagi nama yang dulu membuat lidahnya kelu. Nama yang seorang Anindya ingin lupakan karena suatu hal di masa lalu. Namun, baru saja akan melanjutkan, mereka berdua mendengar suara anak laki – laki mengucapkan salam dari depan rumah. Sayup – sayup tenggelam karena suara hujan. Aira sigap keluar, kebetulan memang kamar ini paling dekat dengan ruang tamu. Dya menyambar jilbabnya, memakainya cepat – cepat, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Ternyata Budi. Tubuh anak itu basah kuyup meskipun di tangannya tergenggam payung yang terbuka. Nafasnya tersengal – sengal seperti baru dikejar sesuatu.
"Kak, Maya...Maya hilang?"
"Apa?!"
--
Suara kentongan bambu bersahut beriringan dengan bunyi petir kecil di malam itu. Begitu mendengar kabar dari Budi tadi, Aira langsung memberitahukannya pada Abah sehingga beliau bisa mengerahkan orang untuk mencari. Kampung begitu temaram karena pasokan listrik dibatasi ketika hujan deras turun. Para warga yang berkeliling memakai jas hujan dan sepatu bot karena medan yang berlumpur. Juga tidak lupa senter atau lentera untuk menerangi langkah. Mereka semua berpencar ke segala penjuru, dermaga, daerah lumbung, perkebunan, kandang ternak, hingga area pembangkit listrik yang letaknya lumayan terpisah dari desa. Sudah lebih dari satu jam mereka meneriakkan satu nama yang sama.
Dya tidak hentinya mondar – mandir di teras rumah karena cemas. Baju yang dikenakannya lembab karena terkena percikan air. Ia tadinya berniat ikut mencari, namun Abah mencegah dan memberi pengertian bahwa seluruh laki – laki dari penduduk desa sudah cukup. Lagipula keadaan dinilai cukup berbahaya karena ditakutkan ada pohon yang tumbang karena angin bertiup cukup kencang. Aira yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dya mengajaknya masuk untuk mengunggu di ruang tamu. Di dalam sudah ada ibu Maya yang juga lebih cemas lagi, sedang ditenangkan oleh Umik.
"Dia sering menghilang jika rindu bapaknya. Tapi baru kali ini dia tak pulang kerumah" suara wanita itu serak karena habis menangis. Mendengarnya hal itu Dya jadi teringat sesuatu.
"Apa Maya punya tempat yang biasa buat bersembunyi?" tanya Dya. Si ibu menggeleng pelan.
"Maya 'tu biaselah datang dari arah timur kalau habis menghilang. Tak tau darimana" kata Budi yang sejak tadi terdiam di ambang pintu. Dugaan Dya ternyata tepat. Tanpa pikir panjang ia menyambar senter dalam genggaman budi, memakai sepatu boot yang tersisa dan melesat berlari menembus hujan.
"Dya! Lo mau kemana?!" teriak Aira. Namun yang dipanggil sudah terlanjur jauh, ia hanya bisa memanggil beberapa orang pencari yang kebetulan lewat di depan rumah untuk mengikuti kemana Dya pergi.
--
Baju yang basah, udara yang dingin, dan suara petir menggelegar tidak di hiraukan dia. Setelah beberapa lama berlari, ia akhirnya sampai di sebuah tempat yang sama sekali tidak ada pencahayaan. Beberapa orang yang tadi di minta Aira untuk mengikutinya akhirnya datang, masih terengah – engah dibelakang sementara ia mulai berkeliling mencari.
"Kitorang tadi sudah mencari kesini, Dya" kata salah satu dari mereka dengan nada bicara enggan. Tak ayal, tempat yang dituju Dya ini adalah pembuangan bangkai kapal nelayan yang sudah benar – benar tidak bisa di perbaiki. Suasana yang lumayan membuat bulu kuduk berdiri, apalagi di tengah guyuran hujan nyatanya tidak membuat nyali gadis ini surut. Ia justru seperti menggumamkan sesuatu sambil menyenteri nama – nama di lambung kapal satu demi satu.
"Apa nama kapalnya...apa...ayo Dya kamu harus inget sekarang...harapan...harapan apa..." Dya terus berkeliling sampai pada akhirnya senternya menyorot pada sebuah kapal kayu yang sudah lapuk dan keropos, namun masih terlihat dengan cat biru pudar diatas putih yang bertuliskan 'Hoffnung'. Dari bahasa Jerman yang berarti harapan. Ia langsung melongok ke bawah kapal yang posisinya terbalik itu dan menemukan se sosok anak perempuan sedang tertidur meringkuk di bawahnya.
"Disini! Disini!" teriak Dya keras membuat beberapa orang menghampiri. Senter ditangannya dijatuhkan asal, kemudian ia merayap masuk untuk membangunkan Maya. Anak perempuan itu mengerjap – ngerjap dan mengucek matanya saat terbangun melihat hari sudah gelap dan di depannya ada guru yang tadi siang terakhir kali ia temui. Sebelum akhirnya kabur dari kelas dan pulang kerumah, namun berakhir disini karena takut dimarahi mamak karena tidak sekolah.
Kentongan lagi – lagi dipukul menandakan pencarian sudah berakhir. Penduduk berbondong – bondong mendatangi rumah Abah demi melihat anak kecil itu telah ditemukan dalam keadaan sehat dan tidak kurang suatu apa. Ucapan terima kasih dari ibu Maya tidak terdengar begitu jelas di telinga Dya. Begitu juga suara melengking Dya yang bercerita bagaimana dirinya pergi menembus hujan bak superhero. Setelah berganti baju, ia sekarang hanya ingin tidur karena kepalanya terasa sangat pening dan berdenyut – denyut.
Malam itu hujan sudah tidak begitu deras saat warga desa kembali ke rumah masing – masing dan pergi tidur untuk menyambut hari esok. Dya sendiri terlelap setelah meminum obat pereda nyeri. Aira yang menyelimuti dengan selimut tebal sempat mendengar temannya itu menggumam,
"Hoffnung"
"Ah, jadi sekarang lo udah sanggup buat flashback ke masa lalu" kata Aira meskipun Dya tidak mendengarnya, sebelum kemudian mematikan lampu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
CASTAWAY - Reunify
FanfictionKetika tujuh orang pemuda yang membawa 'kabur' masing - masing masalahnya dengan berlibur di sebuah island resort. Namun semua rencana harus kandas, seperti kapal mereka. "Comeback dua bulan lagi" "Kita ada janji temu di NY " "Bagaimana promosinya...