Hidup bersama selama kurang lebih 9 tahun membuat seorang Jimin peka terhadap sepersedikit perubahan emosi yang terjadi pada para hyung-nya. Dan sekarang ia melihat Hoseok dengan pandangan mata yang tidak fokus, serta tawa yang dibuat - buat ketika Jungkook dengan lucunya tersedak sambal, itu sudah cukup menunjukkan bahwa hyung yang lebih tua setahun darinya itu sedang memikirkan suatu hal lain.
"Kau banyak melamun, hyung" ujar Jimin dengan nada yang memiliki makna 'ada yang salah denganmu' saat ia mengajak Hoseok ke toko kelontong Atok Ahmad.
"Wah...Jiminie, kau mengajakku keluar hanya untuk mengatakan itu, bukan?" seperti biasa ia mengatakan dengan nada riang dan senyum lebar. Jimin sengaja tidak menjawab dan menunjukkan ekspresi 'jangan berbohong' yang membuat senyuman Hoseok memudar.
"Uhm...sebenarnya aku sudah menghubungi keluargaku" ia akhirnya bercerita setelah sebelumnya menghembuskan nafas seolah melepaskan sesuatu yang membebani dada.
"Lalu ?"
"Dan aku menghubungi kakakku" katanya sebelum kemudian merapatkan bibir kembali. Jimin melihat pandangan itu lagi, pandangan dimana Hoseok bukan melihat pada dirinya namun pada apa yang ada di belakangnya, atau lebih tepatnya sesuatu yang lebih jauh ada dibelakangnya yang tidak dapat dilihat mata.
Mereka akhirnya sampai di toko dan Atok Ahmad menyapa mereka dengan ramah. Sambil terbatuk - batuk beliau memberikan dua botol minuman dingin berbotol hijau yang memang Umik titipkan disana. Jimin membukakan tutup sebelum menyerahkan salah satunya pada Hoseok.
"Gomawo" kata Hoseok pendek dan segera menandaskan minuman itu seolah ia dilanda dehidrasi berhari - hari. Mereka berdua duduk bersebelahan di gubuk bambu, beberapa meter dari toko. Jimin tidak pernah banyak bertanya, ia hanya perlu menunggu hingga lawan bicaranya siap untuk berbicara. Beberapa menit dua orang ini memandangi suasana sekitar, beberapa ibu yang sedang membalik ikan yang dijemur, riuh anak - anak yang bermain tanah di halaman rumah, dan deburan ombak yang membasahi karang nun di kejauhan. Angin semilir sepertinya menenangkan pikiran Hoseok sehingga ia akhirnya memiringkan tubuhnya menghadap Jimin.
"Lagi - lagi aku bertengkar dengan noona, padahal kami sedang berada di tempat yang berjauhan seperti ini" ia mengawali. Jimin berdehem tanda siap mendegarkan lamat - lamat. "Ia masih tidak percaya apa yang kukatakan sebelum pertunangannya, dan bersikeras bahwa akulah yang terlalu membenci calon kakak iparku sendiri. Argh, si brengsek bermuka dua itu !" alih - alih seperti seseorang yang sedang marah, Hoseok lebih terdengar seperti seseorang yang sedang khawatir. Namun rahangnya yang menegang juga menandakan bahwa ia berusaha mengatasi amarah pula.
"Bukankah kau memiliki bukti, hyung? Kau sudah mencoba mengatakannya pada kakakmu?" tanya Jimin tanpa nada penasaran yang mengganggu.
--
Malam itu di sebuah hotel bintang 5 bilangan Dongdaemun Square, Hoseok sedang menghadiri sebuah Pool Party dengan beberapa teman dari industri hiburan. Suara musik berdentum dan diatas panggung seorang rapper menampilkan kebolehannya, menghibur penonton yang menggila dengan segala keriuhan.
"Ya...Hoseok!" seseorang dengan suara khas sengau menyapa.
"Ahh...Mad Clown-hyung!" Hoseok membalas ditambah dengan pelukan akrab. "Penampilanmu tadi sangat keren" tambahnya.
"Nikmati pestanya" ujar Mad Clown, ia tersenyum lebar seraya menepuk - nepuk punggung juniornya itu.
Selayaknya sebuah pesta kolam renang yang biasa dihelat meriah dimanapun itu. Minuman dan musik adalah sebuah kelaziman, juga, wanita. Bukan pool party namanya jika tidak ada orang - orang dengan pakaian renang menggila di kolam renang. Seluruhnya bebas bersenang - senang di dalam air, menggunakan floatie berbagai macam bentuk dengan gelas minuman di tangan.
Hoseok tertawa saat melihat salah satu temannya dilempar ke dalam kolam beramai - ramai. Ia sedang asyik menyesap wine dari gelas ditangan ketika matanya menangkap sebuah pemandangan yang paling tidak di sangka - sangka. Seorang Park Joonho, yang notabene adalah tunangan kakaknya, sedang tertawa - tawa merangkul dua gadis berbikini di kanan kiri. Posisi Hoseok yang berada di seberang kolam renang tempat pemandangan yang paling dibencinya itu berada membuatnya dapat merekam dengan detail. Hal itu berefek pada mood-nya yang seketika berubah seratus delapan puluh derajat.
Ia menatap Park Joonho dengan mata yang berapi - api, tetap dalam diamnya. Dari awal ia sudah menduga hal ini, tidak salah informasi yang di dapatnya selama ini tentang putra seorang desainer terkenal di dunia itu, tidak jauh berbeda dengan ayahnya sendiri. Dalam hati Hoseok mengumpat, seandainya Jiwoo noona mempercayai penjelasannya daripada kata - kata manis pria itu.
Tepat saat ia sedang mengontrol emosi, Joonho menatap Hoseok dengan tatapan menantang sekaligus meremehkan. Yang ditatap saat itu lebih memilih untuk mengepalkan tangan erat - erat di samping tubuhnya, karena bagaimanapun juga ini tempat umum, akan ada banyak orang yang melihat jika ia meledak begitu saja. Dan juga, berhadapan langsung pun sepertinya bukan cara yang cerdas untuk memberi pelajaran.
"Kau boleh saja bermain sekarang, tunggu saja nanti" batin Hoseok.
--
"Semua sudah kulakukan, dan itu justru memperkeruh hubungan kami. Bahkan eomma ikut menasehati mengira akulah yang membesar - besarkan masalah" ia berdecak sekali sebelum kemudian melanjutkan, "Ketika aku melihat pria itu tersenyum penuh tantangan kearahku malam itu, rasanya tangan ini bisa menghajarnya sampai mampus. Adik laki - laki mana yang tidak emosi ketika melihat pria yang mengencani kakak perempuannya dengan bebas menggoda wanita lain di pesta. Tapi jika aku mengadu, maka ia memiliki seribu alasan dan noona akan mempercayainya begitu saja" dengan jelas Hoseok menunjukkan ekpresi penuh frustasi.
"Aku akan bangga jika memiliki adik laki - laki sepertimu, hyung"
"Kau berusaha menghiburku, Jimin?" Hoseok terkekeh pendek mendengar kekonyolan dongsaeng di sampingnya. "Aku anggap itu berhasil, tapi menurutku tidak ada di dunia ini seorang adik lebih tua dari kakaknya."
"Tentu saja ada, ketika kita melakukan *Yaja-time kau menjadi adikku, bukan?" Jimin berbicara dengan senyum simpatik. Tangannya menggoyang - goyangkan botol berisi minuman yang sejak tadi masih sisa setengah isinya.
"Aku... aku hanya ingin kami rukun kembali seperti dulu, namun aku juga tidak ingin jika suatu saat kakakku hatinya terluka karena seorang bajingan sepertinya."
"Rukun?" goda Jimin.
"Iya, aku mengakui bahwa kami sering bertengkar, tapi itu karena hal kecil. Setelah beberapa saat kami sudah kembali mengobrol akrab meskipun di detik berikutnya akan ada perdebatan kecil lagi. Namun untuk yang satu ini, inilah yang kubenci ketika menjadi orang dewasa."
"Menjadi dewasa..." ulang Jimin, kali ini dengan pandangan menerawang.
Seringkali sebuah kata sederhana justru memiliki makna yang lebih berat dari kelihatannya. Jimin sering mendengar Namjoon mengatakan bahwa kata 'mimpi' seringkali dimaknai oleh sesuatu yang besar, agung, dan indah. Padahal mimpi bisa saja sesuatu yang sederhana seperti membeli barang yang kita sukai lewat menabung. Begitu pula dengan kata 'dewasa' yang konotasinya bagi sebagian besar orang adalah tentang kepribadian. Padahal dewasa hanyalah sebuah proses dimana manusia bertumbuh, belajar dari proses kehidupannya. Seringkali suatu kesalahan dianggap bahwa seseorang tersebut belum dewasa, padahal dari situlah ia sedang belajar.
"Hyung, sepertinya kita harus kembali. Hobeom-nim bilang kita harus membahas lebih lanjut tentang rencana acara Bon Voyage"
"Yep, boleh aku habiskan minumanmu?"
"Shireo!" Jimin berlari mendahului sehingga Hoseok harus mengejarnya.
--
*Yaja-time : waktu dimana biasanya teman sepermainan membalikkan umur mereka sehingga yang paling muda dapat menjadi yang paling tua dan dapat berbicara informal sesukanya
KAMU SEDANG MEMBACA
CASTAWAY - Reunify
FanfictionKetika tujuh orang pemuda yang membawa 'kabur' masing - masing masalahnya dengan berlibur di sebuah island resort. Namun semua rencana harus kandas, seperti kapal mereka. "Comeback dua bulan lagi" "Kita ada janji temu di NY " "Bagaimana promosinya...