07

9.2K 1K 149
                                    

Semilir angin malam mulai berhembus semakin kencang. Mungkin itu salah satu faktor mengingat musim dingin akan segara datang menyambut. Ya, Jimin tidak terlalu suka musim dingin sebenarnya. Apalagi dia tetap harus beraktivitas ditengah dinginnya udara yang menusuk. Benar-benar tidak ada enaknya sama sekali.

Tubuh mungilnya berdiri bersandar pada pagar pembatas di balkon, sesekali maniknya akan ikut menyipit saat hembusan angin mulai membelai wajahnya. Oh, Jimin tidak sangka akan sedingin ini jadinya.

Kenyataannya, piyama kebesaran milik Jungkook yang melekat ditubuhnya sama sekali tidak menghalau rasa dingin yang menjalar sampai ke tulang-tulangnya. Tapi, Jimin memang kelewat bodoh. Ia malah tetap berdiri selama beberapa jam di balkon, saat angin malam mulai semakin kencang.

"Kupikir kau menangis atau semacamnya," suara serak khas bangun tidur melenyapi suasana sunyi yang semula melanda. Tanpa menoleh pun, Jimin tahu makhluk yang tengah berdiri di belakangnya saat ini.

Si manis pun tak perlu repot membalas. Lain halnya dengan Jungkook yang sudah kelewat jengkel. Dia masuk kembali kedalam kamar, sekedar untuk mengambil mantel buatnya dan Jimin.

Kemudian berjalan mendekati Jimin seraya tangan bergerak untuk menyampirkan mantel hangatnya pada tubuh si mungil.

Jimin mendengus, tak mau melempar tatapannya pada Jungkook ataupun sekedar berucap terima kasih.

"Ini salah satu rencanamu? Kelewat klise, aku tak terpengaruh." Jimin meledek saat tahu Jungkook ikut bergabung bersamanya dalam menyaksikan rembulan bersinar terang diatas awan.

Jungkook merotasikan kedua bola matanya dengan jengkel. Dia terbangun tengah malam begini untuk mendapati seorang Park Jimin dengan tingkah bodohnya. Heol, dia bahkan sudah tidak peduli lagi mengenai permintaan konyol yang diajukan Jimin beberapa waktu lalu.

"Lupakan saja. Sepertinya tidak akan berhasil," jawab Jungkook malas.

Jimin menoleh sekilas pada Jungkook, kemudian menyeringai penuh rasa bangga. "Kau menyerah sebelum berusaha," ledek Jimin sambil mengeluarkan suara kekehan yang entah kenapa bisa terdengar menyebalkan bagi Jungkook.

"Ini semua tidak sesederhana itu, Jim. Aku tidak punya waktu untuk ikut serta dalam rencana gilamu," balas Jungkook seperti biasa. Tidak mau disalahkan atau mengalah sekali pun.

Jimin mencibir, dan hanya mengangguk penuh rasa malas. Ya, mana bisa dia menampik kata-kata Jungkook. Dia sepenuhnya berada di bawah kuasa pria itu sekarang.

"Omong-omong, kau marah padaku karena meninggalkanmu di kantor tadi?" Jungkook kembali membuka suara setelah keduanya terdiam selama beberapa saat.

Pandangan keduanya saling bersiborok. "Tidak," dan jawaban itu mengalir begitu mudahnya dari labium berisi milik Jimin.

"Yoongi hyung memintaku untuk menjemputnya. Kupikir kau tidak akan menungguku selama itu." Jungkook tetap memberikan penjelasan, disaat Jimin tidak memintanya.

Selama beberapa saat, Jimin kembali berusaha menyelami manik gelap sehitam arang milik Jungkook. Well, melalui tatapannya pun Jimin sudah tahu jik bocah satu ini sudah tergila-gila pada idolanya.

"Ya, memangnya aku lebih penting dari Yoongi hyung." Jimin membalas tanpa maksud lain, namun Jungkook merasa itu sarat akan sarkasme.

Jungkook memutar tubuh sepenuhnya untuk berdiri berhadapan dengan Jimin. Tangannya terangkat untuk diletakkan pada kedua bahu sempit pemuda manis itu.
"Kenapa kau jadi sentimental begini?"

Manik Jimin membola tanda tak terima. "Aku tidak seperti itu."

"Ya, sudah. Aku akan memberikanmu tiket konser Yoongi hyung, bagaimana?" tawaran Jungkook terdengar menggiurkan.

The Starry Night [KM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang