Oh, Sial! Part 2

17 0 0
                                    

Nenekku tercinta. Perempuan tua itu sibuk menyiangi rumput di kebunnya saat aku tiba. Ia melengak dan tersenyum sewaktu aku menyapa. Lalu meraihku dalam pelukannya sewaktu aku mendekat.

"Kau semakin tampan saja," ujarnya tak lupa mengacau rambutku.

"Ah, Nenek. Kurasa kakek lebih ganteng, deh. Nyatanya nenek tak bisa kelain hati."

Perempuan yang masih cantik di usianya yang ke-70 tahun itu terkekeh. "Kau bisa saja, Van," sahutnya tak lepas dari tawa.

"Kau mau minum apa?" tanyanya kemudian.

"Tak usahlah, Nek."

Nenek menggelengkan kepala. Dengan suara yang masih nyaring ia memanggil Bi Inah, asisten rumah tangganya. Tak butuh waktu lama ia muncul dari dalam rumah, masih mengenakan celemek dan tangan ternoda tepung.

"Ya, Bu? Ada apa?"

"Ambilkan minum untuknya."

"Alah, Nek, nanti sajalah. Aku bisa ambil sendiri," cegahku.

Nenek melengak, menatap mataku. Ingin tahu apakah aku sungguh-sungguh atau tidak.

"Hari juga masih pagi, aku nggak akan dehidrasi," sambungku kemudian.

Nenek tersenyum. Lalu memberi isyarat pada Bi Inah, ia sudah boleh pergi. Kemudian berkata ,"Ya, sudah. Kau disini saja menemani aku menyiangi rumput."

"Tumben Nenek dirumah. Tadi aku ke toko bunga yang ada cuma tante Nuning."

"Aku nggak enak badan," sahutnya.

Aku tersenyum. "Nggak enak badan? Dan masih sempat ngurus taman? Hahaha..." Aku tetawa di belakangnya.

"Tadinya aku mau istirahat, tapi kok tambah sakit badanku. Ya, sudahlah. Aku berkebun saja." Ia menjawab sambil memangkas daun-daun perdu di depannya.

"Bagaimana masalahmu?"

"Masalah?" Sebelah alisku naik pertanda heran.

"Iya, yang diberitakan di teve-teve itu," jelasnya tanpa memalingkan mukanya padaku. "Apa sudah selesai?"

"Pihak manajemen sudah klarifikasi, Nek ."

"Jadi sudah selesai?"

"Nggak selesai benar, masih banyak yang kepo ...."

Nenek melengak. "Kepo?" Keningnya berkerut saat kuucapkan itu.

"Ingin tahu, Nek. Hehehe, maaf."

Nenek tersenyum lucu, memamerkan gigi geliginya yang masih utuh. Tanda ia sangat memperhatikan kesehatan giginya.

"Sebenarnya kau dan Leika itu ada hubungan apa?"

"Teman aja sih."

"Masa?" Nenek memancingku. "Masa Cuma teman? Aku melihat caranya menatapmu waktu kau ajak kemari dulu itu."

"Ah, Nenek deh. Pasti itu hanya perasaan Nenek saja. Kami cuma teman."

"Teman?" telisik nenek sambil bercanda. "Apa iya seorang teman sampai begitu perhatiannya ke kamu? Nanyain apa kamu sudah makan? Vitaminnya gimana? Telepon dan ngecek keadaanmu saat sakit meski ia tengah sibuk syuting iklan di Thailand?

Aku garuk-garuk kepala. "Hmmh, ya benernya dia suka padaku. Tapi aku merasa ia lebih cocok jadi teman. Lebih dari itu nggak."

"Serius? Nggak bohong?"

Aku mengacungkan tanda V sambil nyengir kuda. Lantas mengikutinya duduk di bawah pohon kamboja yang sudah lima belasan tahun di tanam nenek di depan rumah. Bunganya yang berwarna merah jatuh tepat ketika aku menaruh pantatku di rerumputan.

KEEN, ONE OF A KINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang