Cewek Nyebelin Part 1

14 0 0
                                    

Hari-hari terasa sangat menyebalkan. Setiap hari selama dua minggu ini aku harus berangkat terapi. Tidak peduli bagaimana keadaannya aku tetap harus pergi. Alasan yang digunakan selalu alasan klise yang sama, agar lenganku bisa sebaik semula. Aku tahu itu, tapi tidak adakah excuse sedikit saja. Agar aku bisa santai sejenak tanpa dibebani pikiran tentang terapi yang menyakitkan. Percayalah kawan, saat sang terapis melakukan tugasnya aku berpikir apakah aku harus membanting gelas, menendang pintu, atau menggigit tangan pria itu untuk mengalihkan rasa sakitnya.

Karenanya aku tak pernah antusias bila seseorang bertanya bagaimana kemajuannya. Bahkan jika yang bertanya adalah Papa. Terus terang aku jadi frustasi, merasakan proses penyembuhan tulang humerusku yang lama ini. Aku berharap secepatnya tanganku bisa kembali. Sementara menurut dokter dan terapisku, aku memang harus sabar selama proses penyembuhan patah tulang. Sebab kesembuhannya terjadi secara bertahap, tidak ada yang instan.

Bila sudah begitu Papa akan mengalihkan pembicaraan. Ia bercerita apa saja, termasuk tentang Agsha dan Shakila yang merengek ingin menjengukku. Tak urung berita itu membuatku terharu. Keduanya memang bukan adik kandungku, namun kenyataan itu tak bisa membendung kami untuk dekat satu sama lainnya. Walau kami berjauhan, kami tak putus hubungan. Dimanapun aku berada selalu menyempatkan diri menelepon mereka. Bila ada waktu aku juga mengunjunginya sembari membawa oleh-oleh yang kubeli selama aku melakukan show bersama High End. Begitu juga sebaliknya mereka. Terkadang saat mama tiriku menelepon, mereka bergantian menyerobotnya agar bisa bicara denganku.

"Salamku untuk Agsha dan Shakila, Pa. Yang pinter sekolahnya, jangan badung kayak kakaknya," kataku disambut tawa Papa.

"O, kakaknya sadar to? Kukira tidak, hahaha!" Gelegar suara tawa Papa menyerbu telinga. Sebentar kemudian Papa menyudahi percakapan. Sekarang tinggal aku sendiri diatas ranjang. Menatap taman di samping jendela kamar dengan kemasygulan.


"Spadaaa!"

Aku menjingkat kaget mendengar sapaan itu. Buru-buru aku menyilangkan tangan kiriku, berusaha menutupi tubuh bagian atasku yang telanjang.

"Eh, elu masuk nggak bilang-bilang!" ketusku dengan alis bertaut.

"Hmmh..." Keenan mengibaskan poninya. "Sudah Ndoro. Ndoro aja yang ndak dengar. Dari tadi lho aku ngucap salam. Nggak ada yang nyahut juga."

"Mau ngapain lu?" Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku.

"Kelihatannya mau apa? Masa ya motret situ yang nggak pakai baju sih?" Keenan mengayunkan sepiring kue sementara dagunya menunjuk dada telanjangku. Lalu mencebik, mengejekku.

"Sudah tahu nggak pakai baju kenapa juga sih masih disitu?" Aku melotot dan merapatkan selimut ke tubuhku.

Tak dinyana Keenan malah tertawa. Sambil menunjuk kakiku ia berkata ,"Hihihi, ya ampuun kakimu mulus banget ya? Kalah deh landasan pesawat. Kalau ada nyamuk menclok bisa-bisa kepleset."

Hmmh, anak ini?! Bukannya pergi malah menggodaku apa sih maksudnya? Aku mendesis menahan kesal. Berharap ada geledek nyasar dan membungkam tawanya sekarang.

"Udah sono, pergi gih!" suruhku.

Keenan tersenyum dikulum. Lagi-lagi ia menatap kakiku, lalu keatas sedikit, sebelum akhirnya tergelak-gelak lucu. "Huahahahahaha, keren-keren kolornya gambar pororo. Huahahahaha!" Keen terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

Ok, its enough!

Tanpa pikir panjang kulemparkan bantal padanya. Sayang tidak kena. Dengan sigap ia melompat dan menghindari serbuanku. Yang menjengkelkan, sebelum pergi ia sempat menjulurkan lidahnya, membuatku ingin memakan gadis itu sampai tinggal tulang saja.

KEEN, ONE OF A KINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang