Keesokan harinya, setelah mengemasi barang-barang, aku dan Papa kembali ke rumah Nenek. Dua tahun kemudian ia merintis usaha kontraktor di Kalimantan. Lalu menikah dengan perempuan dari Jawa Tengah yang merantau kesana dan bekerja sebagai guru sekolah dasar. Bersama ibu tiriku itu Papaku hidup tenang. Mereka dikaruniai anak dua orang. Satu lelaki dan satu perempuan. Agsha dan Shakila namanya.
Mama tiriku seorang yang sederhana. Ia lembut dalam bersikap dan bertutur kata. Sekaligus lugas di saat lainnya. Ia tak perlu berusaha terlalu keras untuk memikat hatiku. Dari caranya memperlakukanku aku tahu beliau menyayangiku. Aku diperlakukan sama, seolah aku adalah anak yang lahir dari rahimnya. Bila kami salah aku akan mendapat hukuman. Bila aku benar ibu akan memberiku pujian.
Kau tahu itu rasanya sangat menyenangkan, kawan. Meski kadang terasa menyedihkan mengingat perempuan yang berlaku demikian bukanlah ibuku sendiri. Ibuku sendiri hanya datang kala-kala saja. Itupun hanya sejam dua jam dan tidak penuh pula, ia lebih sibuk mengurus bisnis dan pria-pria teman kencannya.
Pada mulanya itu tak menggangguku. Aku cukup senang bertemu ibu, dibelikan mainan dan baju, serta hadiah-hadiah lain yang luar biasa untukku. Lalu diajak makan ke restoran paling mahal dan dipesankan makan terbaik disitu. Hebat ya? Tapi lama-lama aku bosan juga. Semakin besar aku semakin merasa diabaikan olehnya. Aku ini rindu padanya, berharap dipeluk dan ditanya banyak hal selama kami tak bersua. Hal-hal seperti itu tak ada. Kalaupun ibuku memeluk itu pasti untuk keperluan pemotretan atau wawancara. Kalaupun ibu bertanya pasti karena di depannya ada orang-orang media. Tak pernah benar-benar peduli padaku.
Dan penderitaanku disempurnakan oleh tingkah ibu yang kerap bergonta-ganti pria. Aku muak mendengar berita-berita ia tengah bersama seorang model yang usianya delapan tahun lebih muda darinya, minggu berikutnya kepergok dengan seorang bangsawan Spanyol. Bulan depan ia kedapatan berlibur di sebuah pulau pribadi milik pengusaha minyak Amerika. Itu benar-benar memalukanku, saudara-saudara! Kerap aku menggelengkan kepala jika ada orang bertanya apakah aku putra Marla Godesa.
Pada akhirnya perasanan muakku tak tertahankan juga. Satu ketika aku protes keras padanya. Tahu apa yang dikatakannya?
“Kau anak kecil tahu apa?!” Mamaku melotot marah. Mukanya memerah dan hidungnya kembang kempis menahan geram.
Aku yang waktu itu berusia dua belas tahun langsung membanting gelas. Kubilang padanya ,”Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Dan aku malu karena Mama selalu pergi dengan pria yang berbeda! Mama tahu apa yang dikatakan teman-teman sekelasku? Mama itu perek kata mereka!”
Plaaak! Tamparan mama mampir cepat di pipiku. Nanar aku memandangnya. Setelahnya aku tidak berkata apa-apa. Hanya menatap dalam-dalam penuh kebencian padanya.
Sejak itu aku tak pernah ingin bertemu Mama. Sekeras apapun Mama berusaha tetap menggelengkan kepala. Bujukan Papa dan Nenekku tak mempan. Aku terlanjur sakit hati karena sikapnya.
Pengalaman itu membuatku berpikir bahwa mencintai perempuan itu kebodohan. Kau bisa dimanfaatkan, dihabisi, lalu ditinggalkan jika kau sudah tidak berguna. Seperti apa yang Mama lakukan pada aku dan Papaku tercinta. Jadi jika mereka bisa berlaku demikian, mengapa aku tidak. Aku berjanji kelak mereka-lah yang kutinggalkan. Mereka-lah yang menangis-nangis merasakan betapa perihnya bila cinta mereka tak mendapatkan balasan setimpal.
Maka ketika aku mulai merambahi dunia cinta di usia ke-13, aku tidak pernah membiarkan diriku menetap pada satu hati saja. Selalu ada cadangan, selalu ada selingan. Dan anehnya aku tak pernah kekurangan perempuan.
Wajahku yang tampan, dengan postur tinggi menawan, berotak encer, jago di lapangan basket, vokalis band sekolah, plus model pula adalah senjata ampuh untuk memikat hati wanita. Tak kurang perempuan jatuh bangun tersihir pesonaku. Aku bahkan tak perlu berlaku aneh-aneh untuk mendapatkan salah satu dari mereka itu. Cukup diam, menatapnya dalam-dalam, dan esok ia muncul padaku membawakan segebung cinta.
![](https://img.wattpad.com/cover/125938751-288-k211730.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KEEN, ONE OF A KIND
RomansaBagi Evan Maximiliano Himawan, anggota boyband High End, cinta tak ubahnya kembang semusim. Ia akan menikmati keindahannya pada musim itu saja. Dan jika bosan ia bisa mengganti pada musim berikutnya. Hingga muncul Keyla Nadindra Pradipta dalam hidup...