Terbangun di tempat asing dengan kepala pening dan ngilu di sekujur tubuh sehari kemudian tak pernah aku impikan. Kesadaranku masih belum sadar sempurna saat seseorang menyapa ,"Selamat pagi, kau sudah siuman ternyata."
Aku menoleh kearah suara. Kudapati seorang perempuan asing berdiri di ujung terjauh ranjangku. Rambutnya panjang, ikal, melebihi bahu. Berkulit sedikit lebih gelap dariku, dengan mata bulat dan hidung mungil lucu. Siapa gadis itu? Aku mengernyitkan kening diantara pusing kepalaku.
"Kau siapa?" tanyaku sembari mengingat siapa dia.
"Keenan."
Keenan? Aku mencari-cari nama itu dalam tumpukan memori. Sekian detik berlalu aku merasa tak mengenal nama itu? Apakah aku mengalami amnesia atau apa? Hingga lupa dengan dirinya?
"Aku yang bawa kamu kemarin kesini," jelasnya setelah melihat kerutan di keningku.
"Ooh ...."
Aku langsung paham. Bayangan tubuhku melayang ke jalan raya berputar ulang di kepala. Aku baru saja akan menanyakan hal lain bertepatan dengan munculnya rasa ngilu di lengan kananku. Keras-keras aku menahannya, sampai harus menggigit bibir untuk meredakan sakitnya.
"Sakit?" tanyanya bersimpati.
Dengan wajah cemberut aku memaki dalam hati. Sudah tahu masih juga tanya! Mengejek atau apa?
Gadis itu terlihat membuka mulutnya kembali bersamaan dengan derit pintu yang dibuka dari luar. Dari celah pintu muncul wajah perempuan yang teramat kukenal, hanya kali ini ia terlihat kuyu dan kelelahan. Namun wajahnya berubah cerah tatkala berujar ,"Kau sudah sadar, Van? Syukurlah."
Aku mengirimkan senyum ditengah kesakitan. Mungkin lebih mirip seringai ketimbang senyuman tetapi Nenek membalasnya dengan senyum sayang. Sesaat lamanya kepalaku dielusnya dan berhenti tepat ketika aku bertanya ,"Apa yang terjadi denganku, Nek?"
"Kau mengalami kecelakaan," jelas Nenek tenang, setelah sekian saat diam.
"Bagimana Mukaku? Kakiku? Tanganku?" cecarku tak sabar.
Nenek tidak langsung menjawab. Ia seperti menimbang-nimbang apa kalimat yang tepat sebelum menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Kakimu baik-baik saja. Ada sedikit beberapa luka kecil disana. Wajahmu ...," jawabannya menggantung di udara.
"Wajahku kenapa? Parah?" Aku mulai berpikir yang bukan-bukan.
Nenek tidak menjawab. Apalagi Keenan. Namun dari mimik keduanya aku mengira itulah jawabannya.
Oh, tidak! Ini tidak menyenangkan. Apa yang dikatakan orang-orang bila melihat wajah Evan—visual boyband High End—sekarang? Aku ngeri membayangkan bagimana celaan orang-orang di jejaring sosial. Terutama para anti fans. Kesempatan semacam ini takkan mereka sia-siakan untuk menghancurkan bintang yang mereka benci dengan kata kotor dan makian. Semoga saja tidak ada paparazzi yang nekat kemari untuk mengabadikan buruknya rupaku sekarang, pikirku takut.
Tak cukup dengan berita itu aku harus menghadapi kenyataan bahwa fraktur tulang humerus-ku memerlukan waktu cukup lama untuk sembuh. Menurut dokter, antara 10 sampai 12 minggu. Mengenai wajahku, dokter berkata agar aku tenang. Dunia kedokteran sudah canggih sekarang. Kemunculan keloid yang kukhawatirkan bisa ditanggulangi dengan operasi atau laser.
Walau begitu perasaan negatif di hati tak juga hilang. Malah semakin deras dan menjurus ke arah kasar, hingga aku tak peduli pada perasaan Nenek dan Keenan yang telah menungguiku semalaman. Beberapa kali umpatanku terlontar setiap aku merasakan sakit terutama lengan kanan. Tak hanya mengumpat perkara itu, aku juga mengumpati paparazi yang telah membuatku mendekam disini. Kukatakan di depan mereka supaya paparazi tersebut masuk neraka.
"Istighfar, Evan. Istighfar! Allah itu ngasih cobaan bukan tanpa makna. Pasti ada maksud tersembunyi di baliknya," lembut nenek menyahutinya.
"Maksud baik apa? Ini sih bikin Evan sengsara!"
Kalimat kasarku itu meluncur cepat. Membuat Nenek terluka dan memilih diam tidak menyahuti apa kataku. Ia hanya mendesah pelan, antara geram dan berusaha tenang di saat bersamaan. Lain Nenek lain pula Keenan. Gadis itu mengirimkan pandangan cela waktu kami bertemu pandang. Tak gentar kubalas tatapan celanya dengan tatapan galakku. Aku ingin ia tahu ia tak berhak melakukan itu. Ah, seolah dia bisa saja berlaku sabar bila dia yang terbaring sakit seperti aku! Dumalku dalam hati. Mendapat tatapan semacam itu Keenan justru menantang balik dengan menaikkan sudut bibir kanannya, sedangkan matanya berkata "Emang lu siapa? Berani-beraninya ngancam gue?".
Pertarungan tanpa kata itu mencapai puncaknya waktu ia menjulurkan lidah penuh ejekan. Aku menatapnya tajam-tajam diantara desisan kesal. Ia tak mempedulikannya, ia malah memutar tubuh ke arah Nenek dan berpamitan padanya.
"Nenek, Keenan pulang dulu. Maaf tidak bisa menemani Nenek lebih lama."
Aku mencibir mendengar ucapannya. Bueh, pergi sana! Siapa juga yang memintamu menemani Nenek lebih lama? Lebih cepat kau pergi lebih baik bagiku, Nona!
"Nggak apa-apa. Nanti ada Tante Nuning atau Bi Inah akan datang kok. Justru Nenek yang harusnya minta maaf. Udah bawa Evan ke rumah sakit, eh masih juga bantuin Nenek jaga," ujar Nenek sambil menepuk-nepuk tangan Keenan.
Keenan mencium tangan Nenek takzim sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.
"Siapa sih cewek songong itu, Nek?" tanyaku begitu ia pergi.
Nenek menatapku penuh peringatan. Katanya ,"Namanya Keenan, bukan cewek songong. Dan dia tidak seperti yang kau bilang. Ia anak manis dan sopan."
Manis dan sopan? Bah! Bagimana bisa cewek kurang ajar seperti dia dikatakan sopan.
"Ah, Nenek kan baru kenal gara-gara dia yang bawa Evan ke rumah sakit. Mana mungkin bisa paham sifatnya luar dalam?" sanggahku.
"Kata siapa barusan? Nenek kenal dia dan keluarganya sejak tiga tahun silam. Sejak mereka membeli rumah keluarga Sudiro."
"Oh, pantas ia sok akrab begitu," gumamku.
***
Man with infusion needle : https://pixabay.com/id/operasi-serum-perban-el-3031541/
Girl behind the window : Photo by Joshua Rawson-Harris on Unsplash
KAMU SEDANG MEMBACA
KEEN, ONE OF A KIND
RomanceBagi Evan Maximiliano Himawan, anggota boyband High End, cinta tak ubahnya kembang semusim. Ia akan menikmati keindahannya pada musim itu saja. Dan jika bosan ia bisa mengganti pada musim berikutnya. Hingga muncul Keyla Nadindra Pradipta dalam hidup...