Sejak ku buka mataku hingga siang ini, aku belum melihat hidung si tengil itu. Kemana dia? Aku terbangun pukul 6 pagi, tapi dia sudah tidak ada? Kemana? Rapat? Sepagi itu? Hanya meninggalkan sticky notes bertuliskan 'sarapannya udah ada di meja makan, saya pergi' yang tertempel di kulkas. What? Seriously? Don't kidding me! It's not funny! I'm serious, I'll leave him! I'll go to Indonesia! Now! After I get clean up my body.Ku teguk segelas air putih dingin dari dalam kulkas. Ku seret koperku menuju arah pintu kamar hotel. Baru saja tanganku akan menggenggam gagang pintu, pintu sudah terbuka kasar hingga membenturkan pada arah jidatku. Alhasil, jidatku memar.
"Aduh! Sakit! Pelan - pelan bisa kan?!" racauku kesakitan
"Diem, lagian suruh siapa mau pulang sendirian? Kayak yang udah mesen tiket aja" ucap Kevin kesal sembari memijat benjolanku dengan telur dingin dari kulkas
"Ya udah sih ga usah marah - marah juga, suruh siapa pergi ga pamit!" kesalku lebih
"Kenapa? Kaget ga ada saya? Kangen?" ledeknya sambil kembali menekan - nekan jidatku pelan
"Udah ah! Bukannya sembuh malah makin sakit tau! Mana kaca?" pintaku kesal
"Nih" memberikan cermin padaku dengan sabar
Kan, jidatku jadi benjol! Kesal sekali aku. Awas yah, ku balas kamu nanti! Dendamku ini sangat dalam. Aku ini pendendam. Aku tidak suka badanku terluka oleh orang lain, perihal lutut lecet karna aku jatuh sendiri dari sepedah memang biasa. Tapi kalo sampe orang lain yang melukai tubuhku, sulit rasanya memaafkan orang itu sebelum dia merasakan apa yang saya rasakan.
Sama halnya ketika aku SMP dulu, seorang teman menamparku saat aku sedang ulang tahun. Dia tertawa lepas melihat pipiku merah tertapak tangannya. Benar - benar membuatku malu untuk keluar kelas. Dan aku membalasnya saat hadir di acara pernikahannya, dengan menampar pipinya keras - keras disaat orang menyalaminya. Aku tidak peduli saat suaminya menegurku melihat pipi istrinya yang tidak lain itu teman SMP ku menjadi merah. Aku hanya tertawa dan tanpa merasa bersalah mengatakan,
"Happy Wedding, honey! Semoga merahnya pipi kamu itu akan sama dengan merahnya wajahmu saat bermalam dengan suamimu.. hahaha" ucapku saat itu, benar - benar tak tahu malu.
Dengan lembut Kevin mengambil daguku, "Maaf yah, saya tak sengaja" lalu mencium keningku lembut. Ralat! Bukan keningku, tapi tepat ke arah benjolanku.
"Eh, iya ga papa kok" jawabku gugup
"Jangan gugup" ucapnya
"Eh, kenapa?" tanyaku bingung
Dengan memberikan senyuman tampannya, "Kalo kamu gugup, saya semakin gemas"
"Kalo gemas?" tanyaku lagi sambil menaikkan alisku sebelah menandakan aku bercanda
"Kalo gemas, saya bisa menciummu sampai kamu habis" jawabnya membuatku ambigu
"..." aku terdiam, aku malu dan bingung
Dengan sigap aku berdiri dari posisi dudukku di sofa. Salting mulai terlihat jelas, aku yakin Kevin pasti sedang menertawai tingkahku yang salah tingkah begini. Ku ambil bantal dari atas kasur, ku tutup wajahku yang merona dengan bantal itu kuat - kuat. Bahkan, aku sampai kesulitan bernapas karna itu. Disaat itu pula, Kevin menggenggam kedua tanganku yang memegang erat bantal itu dengan lembut, lembut sekali. Ia melepaskan bantal itu perlahan dari wajahku. Entahlah, dia selalu berhasil membuatku luluh.
"Apa?" tanyaku
"Saya rasa saya sudah bilang, jangan gugup" ucapnya singkat lalu mengecup bibirku singkat
"Eh? Gimana aku ga gugup, kamu berbuat hal - hal seperti ini terus sih! Udah dong Vin! Aku takut baper lagi nih" racauku kesal akan tingkahnya yang seenaknya ini
"Oke, saya akan berhenti. Tapi dengar, saya ingin beritahu kamu sesuatu"
"Apa lagi?"
"Saya menang! Pertama, saya dapat investor penting ini dan kedua, kita akan menikah"
"HAH?! Cepet banget" kagetku semakin gugup
"Jangan gugup, Re.. kamu membuat saya semakin gemas Re" ucapnya agak kesal
"Oke, saya bisa kok berhenti gugup" ucapku angkuh
"Saya? Kamu bilang saya? Ga pantes Re, udah jangan pernah bilang 'saya' ke saya, paham?"
"Hm" jawabku ketus sambil memalingkan wajah
Jujur, bisa saja hatiku menerima pernikahan konyol ini dengan senang hati. Tapi masalahnya, ini hanya kontrak! Aku benar - benar merasa menjadi wanita murah kalo seperti ini. Oke, berarti gimana caranya aku harus membuat pernikahan konyol ini gagal. Entahlah, aku hanya sedang merasa takut jatuh cinta pada orang yang salah. Ini bukan hanya sekedar 'merasa', tapi ini perasaan yang berubah menjadi firasat. Firasat ketakutan suatu hal akan segera terjadi. Entah itu hal yang membahagiakan, entah itu mengecewakan, atau entah itu menyesakkan. The point is, I'm affraid.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEVIN is MINE
Teen Fiction"Mereka hanya ingin tahu, tanpa peduli", ucap Kevin padaku.