Chapter 6 - Kebiasaan Baru Genta

2.1K 186 6
                                    

Bermula dari rasa penasaran, bisa saja hal itu membesar menjadi rasa kepedulian, dan semakin meningkat menjadi ingin menjaga dengan terus berada di dekatnya.

•••••

Genta tengah bergulat dengan pikirannya lantaran ponsel miliknya terus bergetar pertanda adanya panggilan dari seseorang. Sudah hampir satu jam dalam lima menit sekali getaran itu terjadi. Bahkan, batu baterai ponsel Genta tersisa setengah hanya karena panggilan yang tak kunjung digubris oleh sang empunya itu.

Genta hanya melirik sekali, lalu memanglingkan lagi pandangannya dari ponsel. Hatinya bimbang antara menerima panggilan tersebut atau tetap membiarkannya begitu saja sampai orang di seberang sana merasa lelah sendiri.

Selalu seperti ini.

Dalam hati kecilnya, Genta rindu dengan suara lembut seseorang yang telah melahirkannya itu. Namun, egonya yang lebih besar selalu menang untuk kembali menyimpan kemarahan pada Sinta, mamanya.

Mungkin Genta harus mencoba tidur agar kebingungannya hilang bersamaan dengan berhentinya getaran ponsel di nakas. Tetapi sayangnya, baru tiga detik mata Genta terpejam, ia harus tersontak bangkit dari bantal dan menyambar ponsel pada akhirnya. Genta memutuskan menerima panggilan dari mamanya.

"Iya," sahut Genta datar.

"Ya, ampun Genta sayang. Kamu kemana aja sih? Angkat telponnya lama sekali. Mama sudah daritadi menghubungi kamu." Terdengar suara ceriwis tetapi terdengar lembut nan halus dari wanita di seberang sana.

"Ada apa?"

"Gimana kabar kamu, Genta? Bagaimana kuliah kamu?"

Genta sebenarnya senang ketika mamanya menanyakan dua hal itu. Namun, di sisi lain hatinya justru mengompori kalau sang mama hanyalah berbasa-basi dengan pertanyaan itu. Jadilah Genta hanya menjawab seadanya. Singkat dan terlalu dingin.

"Baik."

"Syukur kalau begitu. Mama ingin sekali ketemu kamu. Tapi masih ada banyak pameran yang harus mama buka di berbagai negara. Kamu nggak keberatan kan, kalau mama pulang sekitar dua bulan lagi?"

Perasaan Genta yang rapuh sudah akan menangis sebentar lagi acap kali mamanya berkata seperti barusan. Namun, lagi-lagi di sisi perasaannya yang lain, Genta hanya bisa marah dan semakin merasa kalau ia tidak pernah memiliki kedua orang tua.

"Terserah."

Terdengar helaan napas panjang dari Sinta di balik telepon. Selain Yoga sebagai papanya, Sinta juga sudah paham benar tabiatnya sang anak tunggal seperti apa. Berbeda dari mantan suaminya yang tidak begitu menghiraukan sikap dingin Genta, karena Sinta selalu berusaha bagaimana caranya sikap dingin itu bisa menjadi hangat.

"Maaf ya, sayang." Sinta menyesal. Dan sayangnya wanita itu tetap saja lebih mementingkan karir daripada Genta, sang anak semata wayang.

"Iya," sahut Genta yang kini tengah mengepalkan tangannya cukup kuat.

"Oiya, Genta. Alasan mama menelepon kamu, selain ingin tahu kabar anak mama, mama juga mau minta tolong sama kamu, sayang."

"Apa?"

"Jadi gini, mama selalu pesan kebaya di seorang penjahit yang sudah sejak dulu mama pakai untuk pembuatan khusus kebaya. Biasanya asisten mama yang ambilkan. Tapi kebetulan mereka ini sedang sibuk menyiapkan pameran-pameran nanti. Jadi ...."

"Saya yang harus ambil kebaya itu?" tanya Genta memotong pembicaraan mamanya. Genta hanya terlalu malas untuk mendengar suara lembut sang mama yang semakin membuat rindu perasaannya.

My Blind Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang