Chapter 10 - Menumpahkan Kesedihan

1.8K 166 2
                                    

Tidak ada salahnya jika bersedih atas hasil yang buruk. Namun, bangkitlah di hari esok karena siapa tahu sudah ada pengganti yang lebih indah sudah menunggumu.

•••••

"Hai semuanya!" seru Sinar pada anak-anak panti yang tengah bermain di ruang tamu. Ada dua bungkus plastik hitam yang dibawa Sinar. Sebelum ke panti, Sinar singgah di warung martabak pinggir jalan dan membelinya. Memang kalau Sinar baru mendapatkan rezeki dari sanggar, Sinar tidak pernah lupa dengan anak-anak di panti.

"Kak Sinar!" Anak-anak panti membalas seruan Sinar dengan riang gembira. Juga meninggalkan apapun aktivitas mereka untuk menghampiri Sinar di depan pintu.

"Kakak bawain martabak favorit kalian nih. Nanti kita makan bareng-bareng, ya," kata Sinar sambil mengangkat bungkusan yang dipegangnya ke udara.

"Wah, pasti lezat. Cika nggak sabar makan martabaknya," ujar gadis kecil tunanetra itu dengan semringah.

"Cika ...," tegur Mbak Eka mengusap pipi Cika.

"Mbak Eka, Sinar minta tolong untuk taro martabaknya di piring, ya," ucap Sinar ke wanita muda dengan tinggi semampai itu seraya menyerahkan dua bungkus martabak ke arah kirinya. Dari suaranya, Sinar tahu kalau mbak Eka berada di sebelah kirinya bersama Cika dan beberapa anak lainnya.

"Iya, Sinar. Martabaknya mbak bawa ke dapur dulu, ya," kata mbak Eka dan menenteng bungkusan itu menuju dapur.

"Kamu nggak perlu repot bawa buah tangan segala, Sinar. Lebih baik uangnya kamu tabung saja buat keperluan kamu," ujar Bu Ruri yang sedaritadi sudah ikut menyambut kedatangan Sinar di belakang anak-anak panti.

"Repot gimana sih, Bu. Sinar justru seneng banget kalo bisa beli sesuatu buat anak-anak. Lagian juga harga martabaknya nggak mahal kok," balas Sinar meyakinkan bu Ruri kalau ia merasa bahagia dengan tindakannya ini.

"Iya deh," kata bu Ruri yang pada akhirnya mengalah. "Kita ngobrol di taman, yuk," ajak wanita muda itu kemudian.

Sinar tampak berpikir sesaat. "Sinar mau dengerin pianonya Ridho dulu, bu. Abis itu Sinar juga mau main sama anak-anak yang lain."

Bukan hanya satu atau dua bulan bu Ruri mengenal Sinar. Sudah seperti anak sendiri, bu Ruri cukup mengenal bagaimana karakter Sinar. Ketika gadis itu tengah berbahagia, ataupun ketika gadis itu sedang bersedih hati. Bu Ruri bisa sekali menilai rasa itu dari sedikit pergerakan Sinar atau ucapan Sinar yang tidak biasa. Contohnya sekarang ini.

Bu Ruri tampak sedang memperhatikan Sinar secara menyeluruh. Ada yang berbeda dari gadis itu. Yang biasanya ketika Sinar baru sampai di panti, tanpa disuruh atau meminta, sudah menjadi kebiasaan Sinar mengobrol terlebih dahulu dengan bu Ruri di taman. Lama ataupun sebentar, pasti Sinar menyempatkan waktu untuk singgah berdua dengan wanita yang juga sudah sangat dianggap sebagai ibu kandungnya sendiri.

"Ya, sudah kalau begitu. Ibu akan tunggu di taman kalau kamu sudah ada waktu untuk mengobrol." Sinar hanya mengangguk tanpa menjawab. Lantas Sinar memanggil nama Ridho dan beringsut menuju ruang dalam bersama anak laki-laki itu.

Bu Ruri masih di posisinya dengan tatapan ke arah Sinar. Wanita itu sedang mencoba menerka apa yang tengah terjadi ke Sinar saat ini.

Untuk anak seumuran tujuh tahun seperti Ridho, memiliki kekurangan dengan tidak bisa melihat, tetapi mampu memainkan alunan musik piano yang lembut, cukup membuat Sinar takjub. Padahal bukan hanya sekali Sinar mendengar permainan piano Ridho. Sudah sejak setahun lalu Sinar dengan senangnya bisa mengajari Ridho dan mengasah bakatnya bermain alat musik itu. Dan Sinar bangga.

My Blind Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang