Sepuluh

4.4K 584 44
                                    

"Baal, aku mau bicara."

Iqbaal yang tengah bersedia mandi, seketika menghentikan langkah kakinya menuju sungai. Ia melihat (Namakamu) yang berdiri di belakang tubuhnya. (Namakamu) menatap Iqbaal dengan tatapan serius.

"Gue mau mandi," balas Iqbaal yang hendak pergi meninggalkan (Namakamu). Tetapi, (Namakamu) terlebih dahulu menarik lengan Iqbaal sehingga membuat Iqbaal kembali menatap (Namakamu) dengan sedikit terganggu.

"Gue bilang gue mau—"

"Anggap kita nggak pernah kenal. Aku bukan masa lalu kamu, dan kamu bukan masa laluku. Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadiranku, maka anggap aku orang asing. Aku tau aku pernah berbuat salah, dan aku minta maaf. Aku berharap kita seperti biasa, tidak saling kenal, tidak saling menyapa, dan tidak saling menatap."

Iqbaal mengernyitkan dahinya tidak mengerti, "bukannya memang dari dulu kata 'kita' nggak pernah ada, ya? Sejak kapan sih lo sama gue menjadi 'kita'? Nggak perlu susah-susah lo menjelaskannya, dari dulu gue nggak akan pernah ada di dalam hidup lo. Gue benci menerima kenyataan kalau gue pernah ingin kata 'kita' itu. Tapi, sekarang? Gue bahkan jijik untuk lihat lo lagi." Iqbaal mengucapkannya dengan penuh penekanan.

(Namakamu) bersedekap dada, ia tersenyum, "bagus, bagus kalau gitu. Itu artinya, orang asing akan tetap menjadi orang asing. Jangan pernah lagi halangi apapun yang berhubungan dengan gue. Oke?" (Namakamu) pergi meninggalkan Iqbaal yang menggenggam kuat handuknya.

Rahangnya mengeras, ia menahan sesak di dalam dadanya. "Harusnya gue yang mengucapkan orang asing di antara kita, tapi kenapa lo lagi yang harus membuat luka ini terbuka?"

(Namakamu) meneteskan airmatanya, ia menutup mulutnya untuk menahan isakan tangisnya. "Dengan ini Iqbaal bahagia, kan?"

**

Sebelumnya..

"Iqbaal sama (Namakamu) mirip, ya? Kalian pacaran?"

(Namakamu) hanya tersenyum mendengar pertanyaan Nenek itu.

"Nggak, Nek. Mungkin Nenek salah lihat, Iqbaal sama dia nggak pernah kenal. Ini baru-baru aja tahu karna dia senior kami," ucap Iqbaal dengan senyuman manisnya.

(Namakamu) melunturkan senyumannya, ia melirik Iqbaal yang kembali merapikan barang-barang itu. Iqbaal pun kembali meletakkan barang-barang itu kesemula.

(Namakamu) memaksa senyumnya kepada nenek itu, ia membantu nenek itu untuk turun dari tempat tidurnya. "Jaga kesehatan ya, Nek," bisik (Namakamu) dengan lembut.

'Ini karma yang harus aku terima, dia pun tidak mengharapkan lagi sesuatu di sini, kan?'

**

"Lo mau ke mana, Baal?" tanya Arif yang melihat Iqbaal telah merapikan semua baju-bajunya.

Iqbaal tidak menjawabnya, ia terus saja merapikan baju-bajunya ke dalam kopernya. Dengan kasar ia menutup kopernya.

Arif bangun dari tidurnya, ia mencoba menghentikan Iqbaal yang hendak menarik koper itu. " Baal! Kita masih—"

"TERSERAH GUE! GUE MAU MATI, GUE MAU PERGI, GUE MAU KE MANA! ITU TERSERAH GUE! URUS HIDUP LO SENDIRI!" teriak Iqbaal yang sudah tidak dapat lagi mengontrol amarahnya.

Arif terkejut saat Iqbaal berteriak, ia melihat wajah sahabatnya memerah akibat marahnya. "Lo kenapa? Kenapa tiba-tiba mau pergi?" tanya Arif yang mencoba menghentikan Iqbaal.

Iqbaal dengan amarahnya meninju dinding yang ada di hadapannya, kuat sangat kuat sehingga membuat tangan itu mengalir darah.

Arif mendorong Iqbaal agar dapat menjauh dari hal yang berbahaya. "BEGO! KALAU LO PUNYA MASALAH, JANGAN SAKITI DIRI LO, ANJING!" teriak Arif melihat kepalan tangan Iqbaal berdarah.

Broken Angel [Season II Of Me And My Broken Heart]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang