Part 11 - Jangan Nakal

19 1 0
                                    

Akhir pekan. Dua kata yang berarti surga untuk Dira. Dimana ia bisa bangun siang dan bersantai di rumah. Mandi pagi? Ah, jangan harap. Hari libur begini, mana ada mandi pagi, mandi sekali sehari aja udah syukur. Meski begitu, akhir pekan kali ini Dira harus rela mandi pagi-pagi, karena serangan fajar. Benar-benar serangan fajar. Dira yang masih muka bantal harus di kagetkan dengan kedatangan Dhimas ke rumahnya yang tiba-tiba. Boro-boro sudah cuci muka, matanya saja masih dalam proses menyesuaikan dengan cahaya. Makannya, Dira kaget dan langsung ngebirit ke kamar mandi, tanpa mempersilahkan Dhimas masuk terlebih dahulu.

Setelah ritual mandinya yang memakan waktu kurang dari sepuluh menit itu, Dira kembali menemui Dhimas di ruang tamu dan mulai memborong Dhimas dengan serentetan pertanyaan, mengapa dia datang kesini sepagi ini. Dan setelah mendengar dari cerita Dhimas, bisa di pastikan penyebab dari semua ini adalah Dion. Karena katanya, Dhimas juga dipaksa Dion bangun pagi hanya untuk mengantarnya bertemu seseorang, yang berakhir dengan Dhimas yang di turunkan di tengah jalan. Entah karena alasan apa dan untung saja masih dekat dengan komplek perumahan Dira, jadi Dhimas minta diantarkan saja ke rumah Dira. Sementara cowok itu  melanjutkan acara modusnya.

"Gak guna banget si Dion. Sumpah ya, gue gak ngerti jalan pikirannya." komentar Dira setelah Dhimas selesai bercerita.

"Makanya. Gue berasa konyol banget udah mau nganter dia. Kalo ujung-ujungnya gue di turunin di jalan kayak cabe-cabean."

Dira tertawa. "Anjir, iya sih kek cabe. Ngomong-ngomong si Dion lagi naksir sama siapa sampe bego gini?"

"Itu kakak kelas, siapa ya namanya?" Dhimas berpikir. "Hm.. Tia. Eh, Via. apa siapa yah. Lupa gue."

"Via vallen kali ah." Dira terkekeh. "Setau gue, kakak kelas yang deket sini tuh cuma, Kak Tria."

"Nah, itu. Itu dia yang tadi si Dion sebut."

Dira melotot. "Sumpah lo?! Anjir gue mencium bau-bau PJ nih. Haha"

"Pasti mau lo comblangin kan?"

"Iyalah. Mayan, kan nanti gue jadi punya double PJ. Haha"

"Mau sampe kapan jadi Mba comblang, sedangkan lo sendiri jomblo terus." telak, Dira bungkam. Dhimas tertawa keras melihat ekspresi masam Dira.

"Lo sendiri juga jomblo ya, Mas. Sadar diri."

"Gue sih udah punya rencana." tangan Dhimas terulur meraih cangkir teh kemudian menyesapnya. "Lo mau gak jadi bagian rencana gue?"

Dhimas menatap Dira serius,a membuat cewek itu kelabakan. Gak tau harus menjawab apa. Beberapa saat kemudian, Dhimas tertawa keras. "Bangsat lo!" Dira berseru kesal sambil memukul Dhimas. Alih-alih kesakitan Dhimas malah semakin keras tertawa.

***

Dhimas hampir saja di bunuh bosan menunggu Dion di rumah Dira. Sudah hampir jam setengah dua, namun cowok kampret itu tak kunjung menjemputnya. Sepanjang hari, Dhimas dan Dira sudah melakukan banyak hal. Mulai dari maen game, ikut membantu Tante Naya —Ibunya Dira— menanam sayuran di belakang rumahnya, hingga merenung di balkon rumah Dira seperti saat ini. Tapi tetap saja, Dion belum terlihat batang hidungnya sekalipun. Bahkan tidak ada tanda-tanda pesan masuk yang datang ke handphone Dhimas.

Sebenarnya, bukan berarti Dhimas tidak mampu pulang sendiri. Bisa saja dia minta diantarkan Dira, karena dia malas berjalan. Tapi, karena sore ini Dhimas sudah punya janji dengan Gani di tempat tongkrongan biasa dan untuk sampai kesana jelas harus bersama Dion. Karena sangat tidak mungkin jika meminta Dira mengantarnya. Bisa-bisa malah repot, karena Dira tidak bisa berkendara di jalan yang padat.

Dhimas menatap lurus pada layar handphonenya yang mati. "Gila ya. Si kampret lagi ngapain coba sampe jam segini belum ngabarin."

"Gak tau. Udah coba telpon?"

"Belum sih." Jari Dhimas menari diatas layar mencari-cari kontak Dion, setelah dapat ia temukan tanpa basa-basi jempolnya menekan ikon memanggil. Lagu D'Masiv yang berjudul 'Jangan Menyerah' mengalun indah dan menjadi back song panggilannya, membuat Dira yang berada di samping Dhimas menahan tawanya—kebetulan panggilannya itu Dhimas loudspeaker— namun, setelah beberapa saat Dion masih enggan mengangkat telponnya. Hingga pada akhirnya terdengar suara perempuan yang meminta maaf, karena orang yang Dhimas panggil tidak mengangkat telponnya.

"Memang kampret tu bocah!" maki Dhimas kemudian. "Ini lagi kenapa pake RBT segala, bikin nambah emosi aja. Merasa terolok-olok gue."

Dira terkekeh, "Bagus malah, lagunya kan nyuruh lo buat gak nyerah nelpon Dion. Haha"

Dhimas berdecak, kemudian melirik arlojinya yang sudah menunjukan pukul empat sore. "udah sore, gue balik dulu yah."

"Loh, Dion kan belum jemput."

Dhimas berdiri kemudian memakai jaket jeansnya. "Lama, gak bisa diandelin dia mah."

"Terus gimana dong? Mau jalan kaki?atau gue anterin?" tawar Dira.

"Gak, gak usah dianterin. Gue nanti telpon si Beno, minta jemput di perempatan depan."

"Lo..." Dira memicingkan matanya saat nama Beno disebut-sebut. "Jangan bilang, lo mau nongkrong sama komplotan pelancong pimpinan Gani?"

"Eum... Itu, iya. Hehe" jawab Dhimas cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dira hanya memutar bola matanya malas, "Lagi? Kenapa sih maen mulu sama Gani?"

Dhimas tersenyum. "Ra, kayaknya lo belum kenal Gani yang sebenernya deh. Dia tuh gak seburuk itu. Percaya sama gue."

"Fine, fine. Tapi lo tau kan track record seorang Gani Muhammad Ahmad selama ini tuh gimana!!"

Dhimas mengangguk. "Iya gue tau."

"Nah, kan. Gue tuh cuma... gak mau lo jadi nakal, Dhim." cicit Dira.

Dhimas terkekeh. "Astaga, lo tenang aja Ra, gue akan tetap jadi Dhimas lo yang manis." ucapnya sambil mengacak rambut Dira gemas. Tak lupa ia memamerkan senyum manis yang sempat membuat Dira terkesima sejenak sebelum ia memasang muka betenya kembali.

"Yaudah, gue balik dulu ya." lanjut Dhimas, kemudian turun dari balkon diikuti Dira dengan wajah yang lempeng tanpa ekspresi. Bahkan ketika Dhimas berpamitan kepada Tante Naya, Dira masih saja terus mengikuti Dhimas seperti itu.

Dira memperhatikan punggung laki-laki jangkung itu mulai berjalan menjauhinya.

"Dhimas! Awas aja lo, kalo besok gak sekolah!"

Dhimas menghentikan langkahnya yang sudah diambang pintu gerbang saat mendengar teriakan Dira dari teras rumahnys. Ia berbalik dan mengacungkan jempol sambil tersenyum manis. Kemudian berlalu, disusul pintu gerbang yang tertutup rapat.

Sekali lagi, Dira menghembuskan nafasnya lesu. Dhimasnya Dira yang manis? Hah, sepertinya akan menjadi hal yang meragukan sekaligus sulit.

❇❇❇❇

Are We Strangers ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang