PART 23

12.4K 691 28
                                    

Sesampainya Eileen di kamarnya, dia langsung meletakkan tas ranselnya di meja lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang tempat tidur. El mengusap kasar wajahnya. Dia frustasi dengan sikap semua orang yang tidak mendukung penantiannya ini.

"Vince, pulanglah. Buktikan kepada semua orang bahwa penantianku ini tidak sia-sia. Aku lelah menghadapi orang disekitarku, Vin." gumam El dalam hatinya membuat airmata gadis itu kembali terjatuh dengan bebas.

Eileen sedang tidak berniat untuk menghentikannya. Dia sudah mulai lelah untuk berpura-pura tegar, dia lelah berpura-pura seakan dirinya baik-baik saja.

El beranjak bangun menatap dirinya dalam cermin. Tidak ada senyuman atau wajah bahagianya lagi. Dirinya yang ceria telah tertinggal di 5 bulan yang lalu. Sekarang hanya ada Eileen yang pendiam, tertutup, yang akan selalu menangis jika mendengar nama Vince disebut.

"Vin, setelah melihat keadaanku yang sekarang, apa kamu masih belum ingin pulang juga? Aku rindu, Vin. Aku benar-benar rindu."

Keadaan El tidak perlu lagi dipertanyakan, semua sudah cukup jelas terpampang dari pantulan cermin yang ada dihadapannya. Gadis itu hancur sehancur-hancurnya. Matanya sembab, hidung memerah dan rambut yang sudah sangat berantakan.

Jika ada yang bertanya segitu besarnya pengaruh tragedi yang membuat Vince terlibat bagi hidup Eileen, jawabannya adalah iya. Tragedi 5 bulan yang lalu sangat berpengaruh ke hidup gadis itu. Entah dalam pikirannya, perilakunya ataupun hatinya.

"Vince, kamu mendengarkanku tidak sih? Aku rindu kamu."

"Aku rindu kamu, Vince." ujar El lagi dengan penuh penekanan.

Prank!

Eileen menatap tangannya yang sudah berlumuran darah akibat pecahan gelas kaca yang dia remat dengan sangat kuat.

El menghela nafasnya, "Aku lelah, Vin. Aku lelah."

Klek!

Suara pintu terbuka membuat El menoleh ke belakang, ke tempat dimana Nathan, sang kakak berdiri.

"El?"

"Ah maaf kak, aku tidak sengaja memecahkannya." ujar El dengan wajah tanpa ekspresi bahkan tatapannya yang menatap ke arah Nathan pun kosong.

Nathan berjalan pelan menghampiri adiknya yang dalam kondisi memprihatinkan itu. Eileen mendudukan dirinya di kursi di depan meja riasnya, lemas.

"Maaf ya kak karena sudah memecahkan gelas ini."

"Hey tidak apa-apa, El. Tidak apa-apa." ujar Nathan dengan lembut sembari mengusap pipi sang adik dengan sayang.

"El lelah, kak. El sudah tidak tau lagi harus berbagi cerita sama siapa. Tidak ada yang percaya dengan El, tidak ada yang mendukungku, kak. Tidak ada. Sepertinya semua orang tidak ada yang sayang lagi sama El." racaunya.

Nathan melipatkan kedua lututnya, bertumpu pada telapak kaki, dan mensejajarkan dirinya dengan gadis yang sudah berlumuran darah di tangannya. "Kata siapa tidak ada yang percaya sama kamu lagi, hm? Kata siapa tidak ada yang menyanyangimu lagi? Kata siapa, El?"

"Mama, papa, dan juga Anna selalu menyuruh El untuk berhenti menunggu. Mereka menentang hal yang ingin El lakukan. Tidak ada yang mendukung El lagi."

Nathan menghapus airmata yang berlinang di pipi sang adik, "Masih ada kakak. Kakak akan selalu ada di belakang kamu untuk menemani dan mendukung apapun yang kamu ingin lakukan walau itu adalah hal yang paling mustahil sekalipun."

Eileen menatap kosong mata Nathan, tidak ada respon ataupun ekspresi yang terlihat.

"Kamu tidak percaya?" tanya Nathan.

My Captain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang