Zidan Aufa
Gimana cerita lo biarin Mera ngintilin gue lagi?
Anggitania
Terima aja kenapa? Lumayan tuh gue kasih asisten.
Zidan Aufa
Asisten my ass
Anggitania
Lagian lo nggak mungkin ngerjain semuanya sendiri. Mera bisa bantu lo, gue yakin.
Zidan Aufa
Bantuin ngerepotin? Thanks.
Anggitania
urwelcome :)
Zidan melempar pelan ponselnya ke sebuah ceruk di dekat persneling dengan perasaan jengkel. Membuang pandangannya ke luar jendela, sosok yang baru saja dibicarakan dengan rekan ekskulnya, Anggit, datang sambil berlari-lari kecil.
Awalnya, ketika berangkat tadi pagi, Zidan sudah akan pergi sendirian tanpa benar-benar serius memikirkan Mera yang ingin ikut serta. Namun sebuah pesan yang berasal dari cewek itu membuat otaknya jumpalitan. Dengan santainya pesan itu berbunyi, Zidan, gue udah di sekolah nih, lo dimana?
Zidan tak acuh membalas, gue udah cabut.
Dan balasan Mera:
Loh :( gue udah nunggu setengah jam padahal. Emang Anggit nggak bilang ketemuan di sekolah? :((((
Sialan.
Setelah mendapat pesan itu, Zidan kontan memutar balik mobilnya menuju sekolah. Padahal dia bisa saja tancap gas langsung ke destinasinya.
"Sori, lama." Mera menutup pintu. "Gue beli minum dulu biar jadi amunisi kencan kita hari ini yang kayaknya bakal mandi keringat!" serunya semangat.
Hening.
"Kencan?"
Mera yang mulanya tersenyum lebar, segera menghapusnya dalam sekejap demi melihat raut cowok itu. "Bercanda, Zidan. Udah, yuk, chulbaaal*!"
Zidan cuma mampu geleng-geleng.
"So, kita ke mana dulu, nih? Kata Anggit rubriknya tentang tempat-tempat yang instagrammable gitu, ya?"
Zidan mengangguk.
"Niat banget, sih, kalian. Padahal di internet juga ada, tinggal copy-paste."
"Ya nggak asik, lah, kalau cuma begitu doang. Majalah kita kan jadi salah satu contoh buat sekolah-sekolah lain, jadi harus totalitas."
Mera bergumam samar. "Tapi, kenapa lo selalu pergi sendirian kalau urusan foto-foto gitu?"
"Karena enak sendirian." Nggak ada yang mgerepotin, tambah Zidan dalam hati.
"Kata siapa? Memangnya lo pernah ngajak temen?"
"Udah."
"Terus?"
"Ya, bikin nggak fokus."
"Berarti lo milih partner yang salah." Lalu Mera menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. "Harusnya lo pergi sama gue." Kemudian dia tertawa.
Zidan memutar bola mata. "Kurang-kurangin deh ganjen lo itu."
Mera hendak membalas, namun matanya telanjur menangkap pemandangan di depannya. "Wow!" dia berseru. Bola karamelnya menyala antusias.
Zidan memelankan laju mobil, memarkirnya dengan gesit, sebelum menarik handbrake. Dia baru akan bicara saat Mera sudah mengeluyur dari mobil dan berlarian mendekati sebuah kafe yang menjadi objek pertama mereka hari ini. Melihatnya, Zidan mendecak. Keluar dari mobil, dia mengambil kameranya di kursi belakang terlebih dahulu sebelum menyusul Mera yang tengah mengamati sekeliling.
"Kok, gue nggak tahu ada kafe beginian, sih? Wah, gue merasa jadul abis. Ini keren! Zidan, fotoin gue, dong!"
Mera sudah siap berdiri di depan jendela besar yang dihiasi dengan tanaman-tanaman hijau yang mengelilingi. Namun saat Zidan terus berjalan tanpa mengindahkannya, wajah cemberutnya terpasang.
"Zidan, sekali aja, plis. Kapan lagi gue ke sini, kan. Sama lo lagi. Nih, kalau perlu pake hape gue aja." Mera menahan lengan Zidan dan menariknya ke spot tadi.
"Mer!"
"Iyaaa."
"Astaga, nggak usah narik-narik gini juga!"
"Fotoin tapi!"
"Iya!"
Mera memekik senang, melepaskan cekalannya, sementara Zidan mendengus pelan.
Mera mencoba berbagai pose; dari yang normal sampai yang membikin Zidan ingin melempar cewek itu jauh-jauh kalau bisa. Sampai tiba-tiba, Mera bergeming.
"Eh, bentar, bentar, kelilipan gue!" Mera mengucek-ucek matanya dan mengedip-ngedipkannya berkali-kali. Memanfaatkan situasi tersebut, Zidan buru-buru lenyap dari hadapannya. Pun tak lama disusul oleh seruan Mera yang membuat Zidan melepas tawa pendek.
"Ngeselin lo."
Mereka pun memasuki kafe. Zidan bergegas pergi ke kasir untuk mengobrolkan satu, dua hal. Selanjutnya, dia mulai melihat-lihat interior kafe tersebut. Dengan dominasi warna putih pada perabotnya, ada banyak tanaman hijau di dalamnya, baik yang menjulur digantung maupun yang berdiri. Tampak asri dan nyaman sekali. Apalagi banyak cahaya matahari yang masuk lewat jendela-jendela.
Tatapan Zidan kemudian jatuh pada Mera. Cewek itu masih terganggu mengucek matanya sesekali. Dia berdiri di pintu yang terbuka ke halaman belakang.
"Mata lo merah," kata Zidan ketika sudah berada di sebelah Mera.
"Masa? Gatel, sih."
Zidan menahan tangan Mera yang hendak mengucek lagi matanya. "Jangan dikucek terus, tambah merah lah, bego."
"Tapi, gatel!"
"Ya udah, sini."
Mera tak sempat mengolah kejadian selanjutnya karena berlalu terlalu cepat. Cuma beberapa detik saja.
"Udah?" tanya Zidan.
Tangan Mera masih mengambang di udara.
Kemudian ketika kesadaran menyergap dan melihat Zidan yang memasang raut tak bersalah, suaranya meledak. "ZIDAN, MATA GUE CUMA GATEL, NGGAK KELILIPAN LAGI. KENAPA LO TIUP SEGALA, SIH?"
"Ya siapa tahu debunya masih nempel," ujar Zidan santai.
Mera memukul lengan cowok itu keras-keras. "Lo tuh ya, kira-kira, dong. Gue jadi deg-degan, tahu nggak! Ngagetin aja sih, ni bocah."
Zidan cuma bisa memandang Mera tertegun sampai cewek itu beranjak dari sebelahnya, melenggang pergi.
i l i w y s
*Chulbal: let's go!
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you smile
Short StoryBagi Zidan, Mera hanyalah cewek berisik yang tiba-tiba mengganggu ketenangan hidupnya. Sementara bagi Mera, Zidan adalah cowok berbakat yang pantas menerima perhatiannya. © 2018 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful...