Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tepatnya April tanggal 21, kelas sepuluh semester dua. Untuk pertama kalinya, Zidan mengetahui ada makhluk bernama Mera di dunia ini, lebih spesifiknya lagi, di se-ko-lah-nya. Dan tentu saja perkenalan tak sengaja mereka diperantarai oleh Anggit.
Hari itu adalah hari untuk memeringati sosok yang memelopori emansipasi wanita di Indonesia, maka dari itu kebanyakan sekolah mengadakan acara. Yang paling utama adalah para perempuan memakai kebaya; menunjukkan keanggunan yang tidak dimiliki oleh para lelaki. Acara apa pun yang digelar sekolah Zidan selalu dinanti siswanya, selain karena memang kesemuanya kompak, tentu saja itu berarti jam kosong walaupun cuma satu hari. Namun, terikat pada tugas mendokumentasikan acara, Zidan tidak bisa leha-leha. Dia kebetulan yang mengatur jalannya photobooth bergilir antarkelas. Anggit sukarela membantunya.
Beruntung, acara berjalan dengan lancar. Photobooth kini dibuka bebas; banyak yang berdatangan untuk berfoto. Termasuk Mera.
"Anggit! Anggit, Anggit!"
Percakapan antara Zidan dan Anggit harus terhenti karena Mera yang tiba-tiba menempel di sisi Anggit. "Apaan, Mer?"
"Lo nggak mau foto sama gue?" tanya Mera. "Gue nyariin lo ke mana-mana, tahu. Ternyata lo di sini sama ... eh, ini siapa? Temen lo?"
"Iya." Anggit menjawab pendek, tidak terpikir untuk mengenalkan mereka berdua.
"Fotografer majalah, ya?" Raut Mera berangsur semangat sambil mengamati kamera yang terkalung di leher Zidan. "Wah, boleh, nih! Minta fotoin dia aja, Nggit, biar keren hasilnya. Ntar feeds ig gue nggak hancur-hancur banget, lah."
Anggit dan Zidan saling pandang. Bertukar kata lewat tatap. Kemudian, "Nggak," ujar Anggit tegas.
"LOH? WHYYYY?"
"Karena dia bukan fotografer pribadi lo."
"Yah, Anggit. Nggak seru amat, sih." Lalu beralih pada Zidan yang sedari tadi diam saja. "Lo mau 'kan fotoin gue sama Anggit? Nggak dibayar sih ... ya, tapi bolehlah bakso Bu Maryem satu porsi kalau foto-foto lo oke. Bonus es-teh satu, karena gue baik dan lo ...," Mera mengelus dagu, "cukup ganteng."
"Mera!" bisik Anggit keras di telinga temannya itu.
Zidan berdeham. Gila, ini spesies apaan, sih?
"WHYYY? Dia memang ganteng, kok. Ya, menurut gue sih. Tapi sekarang itu nggak penting. Ayo kita foto-foto!"
Mera menarik Anggit menuju photobooth terdekat dan tangan satunya pun ikut menyeret Zidan pula. Sebagai cewek yang memakai kebaya dan jarik, Mera tampak amat lincah. Anggit masih mendumal kesal, mengomeli Mera yang kurang kerjaan dan seenaknya saja. Zidan hanya mengamati keduanya beradu mulut. Hingga Mera merangkul Anggit dan kepalanya tertoleh pada Zidan dengan senyuman lebar terpampang di wajah.
Oke, apa salahnya? pikir Zidan.
Zidan pun mulai menjepret. Satu, dua, sampai dia kehilangan hitungan. Untung saja Zidan menyukai kegiatan memotret, kalau tidak, dia sudah meninggalkan Anggit dan teman anehnya itu di tempat. Lagi pula, mana ada sih cewek yang blak-blakan memuji ketampanan seseorang di pertemuan pertama?
Di akhir, Zidan merelakan kameranya berpindah tangan pada Mera ketika cewek itu meminta. Dia sebenarnya juga bingung kenapa menuruti, tapi dia pun tidak menemukan alasan untuk bilang tidak. Lihat, Zidan terlalu baik, kan?
"WOW! Wow, wow, wow!" Mera menganga, matanya berkedip cepat sembari melihat-lihat hasil jepretan Zidan. "Gila, woy, gue jadi cantik banget di sini. Anggit, lihat, deh! Kita unyu banget! Nanti kalau lo mau upload, bilang-bilang gue dulu, oke? Biar nggak samaan kitanya."
Di sebelah, Anggit menghela napas jengah. "Udahan. Balikin tuh kamera ke Zidan."
"Zidan?" Mera mengangkat wajahnya. Menatap Anggit, kemudian Zidan. "Oh, jadi nama lo, Zidan?"
Zidan menggumam saja.
"Oke, Zidan. Gue mau bilang kalau lo keren. Gila. Gue nggak ngerti apa-apa sih soal fotografi, tapi hasil foto lo bagus banget. Kayak yang biasa gue lihat di pinterest gitu. Lo berbakat dan lo juga ... ganteng. Salam kenal." Mera menganjurkan tangan kanannya. Senyumnya lebar.
Dengan ragu, Zidan menyalami cewek itu.
"Btw, lain kali boleh dong fotoin lagi, hehehehe." Anggit melotot. Mera pun mengembalikan kamera Zidan.
Hari itu, bukan hanya memeringati Hari Kartini, namun juga hari dimana kehidupan Zidan mulai terusik. Pasalnya, esok-esoknya, ketika Zidan berpapasan di koridor—atau tempat lainnya—dengan Mera, cowok itu harus menyabarkan diri mendengar sapaan Mera yang kelewat bersemangat. Ditambah, kehadiran Mera yang juga seolah muncul di mana pun dia berada.
Semua itu berlangsung sampai berbulan-bulan ke depan.