Merakinan Fifian.
Sebuah nama yang secara tidak langsung merampok jam tidur Zidan lantaran dirinya terlampau tenggelam sewaktu melihat-lihat folder foto di hard-disk-nya. Berawal dari hendak menghapus foto-foto lama, hingga terdampar pada deretan file yang menampakkan wajah Mera di dalamnya.
Folder pertama, sewaktu Hari Kartini. Folder kedua, classmeeting. Folder ketiga, Hari Kemerdekaan. Folder keempat, kelima, keenam. Sampai Zidan mengutuk dalam hati. Sial, kenapa dia menyimpan begitu banyak foto cewek itu? Memang tidak hanya Mera yang ada di tiap foto, ada pula teman-temannya, namun hampir di setiap bingkai terdapat wajah Mera. Tersenyum lebar, memamerkan dekik di pipi. Timbul sesuatu berdesir dalam diri Zidan setelah semakin banyak foto beserta mimik Mera yang terekam oleh retinanya.
Denting ponsel mengalihkan Zidan sejenak dari aktivitasnya. Alisnya berkerut kemudian.
Merakinan Fifian
Zidaaaan!
Besok temenin gue ke kafe yang mirip greenhouse itu yuk
Eh kok besok. Nanti ya berarti?
Y x g kuy heheheMemicingkan mata sejemang, Zidan meletakkan kembali ponselnya, dan mulai membereskan laptop beserta kamera yang berserakan di kasur. Dia melirik jam dinding sekilas. 01.45. Gila. Sudah selarut itu?
Begitu semua beres, Zidan mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Memeluk guling. Memejam. Untuk kemudian terusik lagi oleh getaran yang tak jauh dari jangkauannya—ponselnya lagi. Kali ini sebuah panggilan menunggunya. Foto profil akun Mera menyesaki layar ponselnya; seketika Zidan sadar bahwa foto itu adalah hasil jepretannya.
"Zidan, lo belum tidur?" sapa Mera berbisik dari seberang sebelum Zidan sempat menelurkan 'halo'. "Gue kaget lo nge-read chat gue jam segini. Jadi, jadi, jadi, lo mau 'kan nemenin gue?"
Dengan mata tertutup, lantas terbayang raut antusias Mera. Tak lupa dekik di pipinya. Sial, efek tidur larut malam kepalanya jadi berbuat aneh.
"Halo? Zidan? Masih idup, kan?"
Mendecak pelan, Zidan buka mulut. "Lo harus banget telepon gue cuma mau nanyain perkara itu?"
Kekeh khas Mera terdengar. "Kenapa memang? Lo udah mau tidur ya? Atau, lo mau gue nanya tentang hal lain?"
"Nggak, nggak perlu. Dan iya, gue udah mau tidur."
Mera meringis. "Maaf, gue ganggu lo ya? Oke, deh. Tapi, sebelum gue tutup, jawaban lo apa?"
Zidan diam. Berpikir.
"Kali ini gue nggak maksa, kok. Gue bisa pergi sendiri."
"Ya udah, lo pergi sendiri."
Suara 'yah' pelan dan panjang dari seberang lantas mengaliri indera pendengaran Zidan. Membuat sesuatu terputar dalam kepala Zidan; gambaran virtual bibir bawah Mera yang menekuk, alis yang menyatu, dan sorot kecewa yang memancar dari kedua iris mokanya.
Shit.
"ZIDAN!? LO BARUSAN MAKI!? GUE SENYEBELIN ITU YA!?"
Astaga.
"Nggak, barusan ada kecoa lewat," kata Zidan tak acuh. Kenapa bisa kelepasan, sih?
"Oh... Gue kira gue nyebelin banget sampe lo maki gitu. Ya udah, met bobo aja, deh. Mimpi indah, Zidan!"
Lalu sunyi. Zidan tiba-tiba merasa sepi.
Dia mengamati layar ponselnya lama. Usai menimbang-nimbang sambil menyalakan kembali layar ponsel yang berkali-kali mati, Zidan melirik simbol telepon di bawah profil Mera. Ada kehendak yang mendorongnya menyentuh simbol itu. Hanya butuh beberapa detik nada sambung untuk suara yang tadi memenuhi rungunya kembali mengisi.
"Halo, Zidan?"
Seberapa tidak masuk akalnya Zidan sekarang, rasanya dia enggan peduli lagi.
"Kepencet nih, pasti? Gue tutup ya? Good night, Zi—"
"Nggak kepencet. Gue udah nggak bisa tidur. Lo harus tanggung jawab."
Butuh teman mengobrol itu wajar, kan?
i l i w y s
notes;Jadi ini rasanya menjadi pengangguran. Gabut banget woy :(
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you smile
Короткий рассказBagi Zidan, Mera hanyalah cewek berisik yang tiba-tiba mengganggu ketenangan hidupnya. Sementara bagi Mera, Zidan adalah cowok berbakat yang pantas menerima perhatiannya. © 2018 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful...