Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ada yang berubah.
Zidan seharusnya tidak peduli, namun perubahan itu sungguh kentara. Entah sejak kapan bermulanya, dia tidak terlalu ingat. Bahkan, terakhir kali mendapat sapaan ceria dari Mera pun luput dari rekaman otaknya.
Benar, Merakinan Fifian yang tengah Zidan maksud.
Mera membuat Zidan kelimpungan dengan terus mengharapkan kehadiran cewek itu ketika dia sedang berada di koridor, kantin, atau di mana pun. Jarang sekali mereka berpapasan, frekuensinya seperti melonjak turun ketimbang dulu--di mana Zidan dapat menemukannya dengan mudah di koridor. Mera seperti benar-benar berhenti merecoki keseharian Zidan. Hal ini sudah berjalan berminggu-minggu lamanya, hingga tahun baru pun tak terasa akan datang menyapa. Dan sampai sekarang, Zidan tidak punya ide kenapa.
"Ngapain di situ, Dan? Lo nggak mau masuk?"
Lamunan Zidan terpecah. Kepalanya menoleh pada Anggit yang berada di ambang pintu ruang jurnalistik. Zidan ber-hm singkat, lalu baru menyadari dirinya-entah sudah berapa lama-memandangi kursi yang biasa Mera duduki di perpustakaan.
Rasanya Zidan ingin bertanya pada Anggit. Tapi lidahnya kaku.
"Btw, Mera titip salam buat lo," Anggit membeberkan informasi itu seraya melihat layar ponselnya. "Kemarin-kemarin juga, sih, tapi gue keseringan lupa mau nyampein. Lagian lo kayaknya seneng dia nggak nongkrong lagi di depan."
Zidan tak berkedip selama tiga sekon. Terlalu banyak macam rasa yang datang menggebu Zidan setelah itu, namun satu-satunya yang dia tahu persis: Zidan merasa lega.
.
Ujian akhir semester sudah berakhir. Mera bersorak lemah karena liburan sudah di depan mata. Kendati cuma seminggu, waktu itu cukup untuk mengistirahatkan kepalanya yang disesaki oleh rumus-rumus yang entah fungsinya apa. Dia terkesima sendiri akan kerja kerasnya untuk mendongkrak nilai yang jeblok ketika mendapat rapor bayangan. Semua ini karena ayahnya yang berwatak keras apabila sudah menyangkut pendidikan Mera.
Mera berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu jemputannya datang. Semenjak menerima rapor sehabis Reverie, ayahnya menyuruh seorang sopir untuk mengantar-jemput Mera ke sekolah dan bimbel. Selebihnya, cewek itu tidak diperbolehkan bermain-main. Betapa menjemukannya.
"Mer."
Suara itu tidak asing.
"Lho, Zidan?" Mera terkejut. Kemudian dia tersentak; sudah berapa lama dia tidak bertemu Zidan?
"Lo lagi nunggu jemputan?"
"Iya, hehe. Lo udah mau pulang?"
"Mer."
Mera manautkan alis.
Zidan tampak terdiam sebentar, seperti ragu untuk berkata-kata. Kenyataan bahwa Mera tidak menyambutnya sesemangat dulu membuatnya merasa buruk.
"Kenapa, Dan?"
"Kafe greenhouse, besok. Bisa?" Dan bagaimana Zidan memutuskan untuk menyebut kafe itu sebagaimana Mera menyebutnya, cowok itu berdebar. Seolah-olah kafe tersebut adalah tempat milik mereka.
"Wow," kata Mera. Dia sungguhan terkejut. "Kenapa nama gue kedengaran bagus kalau lo yang nyebut?" Cewek itu pun nyengir melihat raut muka Zidan. "Oke, gue memang nyebelin. Ya udah, ya kali nggak kuy?"
Mendengar itu, Zidan tersenyum tipis. Sebelum dia melenggang dari sebelah Mera, tangannya mengacak rambut cewek itu seraya berkata, "Makasih. Nanti gue telepon."
Zidan meninggalkan Mera yang melongo di balik punggung. Lalu tak lama, terdengar seruan, "ZIDAN RESE!"
Jantung, jantung, jantung, rapal Mera dalam hati. Dia mengutuki Zidan yang lagi-lagi berbuat manis seperti itu. Padahal dia sudah mewanti-wantinya dulu. Apa cowok itu lupa? Bukan berarti Mera tidak suka, dia suka, sangat. Mera hanya tidak mau berharap, itu saja.
Kalau Mera berharap, dia harus bersiap untuk rela jatuh dan merasakan sakit, bukan?
.
"Yah, besok Mera mau main. Udah boleh, kan?"
Ruang makan itu hanya terdengar suara alat makan yang beradu sebelum Mera membuka percakapan. Sang bunda, yang duduk di seberang Mera, ikut mencuri pandang pada sosok kepala keluarga di ujung meja.
"Tunggu hasil semesteran kamu dulu," ujar ayahnya santai sambil memotong-motong daging di piring. Ketenangan dalam kalimat itu berbanding terbalik dengan efeknya pada Mera.
"Ayah...." Mera mulai merengek. Berikut meminta bantuan pada bundanya yang hanya menggeleng pasrah. Mera berdecak dalam hati. "Sekali ini aja, Yah?"
"Ayah perlu ulangin berapa kali biar kamu paham?" Kali ini tatapan ayahnya tajam menembak Mera di tempat.
Baik Mera dan bunda tahu, kalimat itu menyamarkan sebuah perintah yang tak bisa dibantah.
.
3 missed call from Zidan Aufa.
Zidan Aufa
Besok gue jemput jam 10 Mer? Tidur ya lo? Woy
Mera menghela napas. Dia tidak berani membuka pesan itu; hanya mampu melihatnya dari notification bar. Dia takut menolak ajakan Zidan, padahal ini pertama kalinya Mera mendapat kesempatan istimewa darinya. Tapi, tidak mungkin juga Mera membiarkan Zidan tidak tahu apa-apa dan malah menghampirinya besok. Bagaimana dengan ayahnya?
Setelah mengerang-erang tak karuan di atas kasurnya, Mera mengetik balasan.
Merakinan Fifian
Sori, kayaknya nggak jadi deh :( Lain kali aja ya? SORI BANGET JANGAN KAPOK DULUAN NGAJAKIN GUE JALAN YA ZIDAN
Zidan Aufa
Kenapa?
Zidan Aufa is calling...
Mera menghela napas.
Zidan Aufa
Lo lupa cara angkat telp apa gmn?
Merakinan Fifian
Hehe iya anggap aja gitu Udah ah nggak usah telp gue lagi Good night, Zidan.
Zidan Aufa is calling...
i l i w y s
notes;
Gimana gimana?
Anyway, take a look at playlist+moodboard karena aku baru masukin character gif di situ, ehehehe.