4

2K 433 41
                                        

Kalau ditanya waktu favorit dalam satu hari, Mera akan menjawab dini hari tanpa ragu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau ditanya waktu favorit dalam satu hari, Mera akan menjawab dini hari tanpa ragu. Dia tidak suka pagi karena harus bangun awal untuk sekolah, apalagi siang yang seharusnya digunakan untuk tidur cantik namun dirinya malah terjebak di dalam ruangan bersuasana membosankan. Tidak juga malam, lantaran orangtuanya selalu mengecek apakah anak perempuannya belajar atau justru melakukan hal-hal remeh.


Dini hari membuatnya bisa melakukan apa pun—kecuali berteriak-teriak, tentunya. Sebab orang-orang sudah berada di alam mimpi, termasuk orangtuanya. Mera tidak harus sembunyi-sembunyi untuk melakukan hal yang dia suka. Seperti halnya sekarang, Mera tengah berselancar di suatu aplikasi musik. Telinga tersumpal earphone dan atensi penuh tertuju pada ponsel, bersamaan alunan sebuah lagu yang mengalun pada rogga rungu.

Tak berapa lama, tubuhnya sudah berpindah tempat ke balkon kamar; duduk bersila, membiarkan angin malam menerpa. Dan dalam kesunyian itu, Mera menyanyikan sepotong lagu sembari ponsel di tangannya merekam.

Mera suka menyanyi--sekadar kegiatan melepas penat. Di kamar, kamar mandi, tapi tak pernah di luar rumah. Barangkali di sekolah, hanya untuk mengambil nilai pelajaran seni musik, selebihnya tidak ada. Bagi Mera, suaranya pas-pasan, namun beberapa teman mengatakan vokalnya nyaman didengar.

"Anjir, serem, gue kira setan yang nyanyi. Lagunya begitu banget, sih? Lo lagi galau?"

Persis di penghujung lagu, setelah Mera menyentuh tombol stop, suara bass itu muncul. Mera tersentak kaget. Detik berikutnya beseru tertahan.

"HAESH! NGAGETIN, DENGKUL!"

Gelak meledak di antara mereka.

Mera merengut.

"Ya, sori. Lagian lo bikin gue mikir ada mbak-mbak kunti lagi curhat, eh taunya sodaranya ini."

"Berisik, lo, lemper."

"Lo nge-post lagi?" Mera tak menjawab, masih dongkol habis-habisan. "Bagus, bagus. Fans lo udah nunggu seabad. Tega lo."

"Iya, gue tahu, lo 'kan ketua fanclub-nya."

"Nggak level banget."

"Udah, ah! Gue ngantuk." Mera bangkit, namun segera dicegat.

"Kok nggak asik lo? Palingan juga lo baru bangun ini. Gara-gara lo gue udah kehilangan nafsu buat tidur lagi. Dan gara-gara lo juga mimpi indah gue terputus. Duduk dulu bentar, kenapa?"

Kendati masih kesal, Mera kembali mendudukkan diri. Dia melirik ke arah tetangganya. Jarak mereka hanya terpisah satu, dua meter. Di balkon itu, seorang cowok bertelanjang dada terebah di kursi malas. Dasar lemper! gerutu Mera.

"Lo kalau mau ngerokok, nggak jadi gue temenin."

"Iye, iye. Kaga jadi, nih."

"Lo nggak punya baju apa gimana, sih?"

"Kok lo protes mulu kayak emak-emak?"

"Karena lo memang pantes diprotesin."

Cowok itu mendecak. "Gue nggak mau debat sama lo. Bikin capek. Btw, lo temenin gue, dong, waktu Reverie. Nggak ada pacar kan lo?"

Mendengar pertanyaan retoris barusan, Mera memberengut. "Males, ah. Ngapain juga nemenin lo. Memangnya lo nggak sama geng lo itu?"

"Ya iya sama mereka juga. Tapi pasti pada sama cewek masing-masing akhirannya."

"Makanya cari cewek, dong," Mera mencibir. "Lagian gue milih sama Zidan, kali, daripada sama lo."

"Siapa tuh Zidan?"

"Seorang cowok yang kualitasnya lebih-lebih dibanding lo."

"Hmmm... Gue mencium bau-bau gebetan baru."

"Hmmm... Ya iya sih, Zidan lebih layak buat digebet ketimbang lo."

"Terus aja belain itu cowok. Dia suci, aku penuh dosa."

Tawa Mera perlahan pecah, berlangsung lama sampai dia memegangi perutnya yang menegang. Mera menyaksikan sendiri dengan mata kepala bagaimana raut yang dibuat-buat tetangganya itu begitu konyol ketika mengatakan kalimat terakhir.

"Ketawa aja terus lo, keselek tahu rasa."

Mera makin tergelak.

"Anjir, wajah lo tuh meme banget, nggak bohong."

"Awas lo durhaka ngetawain cogan kompleks."

"Huek!"

Kemudian hening melingkupi. Geligi Mera masih suka tampak karena tawa yang sesekali timbul.

"Gimana bokap?"

Mera mengusap hidungnya. Terdiam.

"Masih suka ceramah pagi?"

"Nggak lucu."

"Gue nggak ngelucu, anjir."

"Hm, yah, udah mulai berkurang, sih. Tapi gue udah terbiasa."

"Sama fisika, kimia, dan teman-temannya juga udah terbiasa?"

Mera melempar tatapan tajam. "Nggak usah ungkit-ungkit lagi, deh!"

Cowok itu ngakak.

"Udah masuk aja sana lo! Ganggu me time gue aja."

Suara tawa itu kemudian sayup terdengar sebab si pemilik suara telah meninggalkan balkon. Sepeninggal si cowok tetangga, Mera masih diam di tempat. Menatap rumah-rumah di seberang dan langit polos di atas. Lalu, tangannya meraih ponsel. Wallpaper yang dipasangnya membuat seutas senyum terukir di bibir.

Gesit, jemarinya mulai mengetik.

Merakinan Fifian

Zidaaaan!
Besok temenin gue ke kafe yang mirip greenhouse itu yuk
Eh kok besok. Nanti ya berarti?
Ya x g kuy hehehe

i l i w y s

notes;

Team cogan kompleks atau Zidan, nih?

Double update karena takut telat update lagi muehehe :,)

i like it when you smileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang