11

2K 411 95
                                    

Zidan Aufa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zidan Aufa

Mer, srsly?
Jadi sekarang lo mau main jutek-jutekan sm gue?
Jgn buat gue lebih gila lagi dengan mengabaikan gue kayak gini

Merakinan Fifian

Zidan, nggak gitu.

Zidan Aufa

Gue otw rumah lo

Merakinan Fifian

HAH NGAPAIN
JANGAN ZIDAN NGAPAIN SUMPAH
UDAH MALEM KAYAK GINI

PLS ANGKAT TELP GUE
PLS PLS PLS LO BOBOK AJA DI RUMAH LEBIH ENAK
ZIDAAAAAN?????????

.

Zidan kelihatan putus asa di balik kemudi. Dia berusaha memfokuskan diri pada jalanan padat di depannya. Semarak tahun baru tak pernah gagal membuat macet jalanan kota. Berkali-kali dia memainkan klakson, kendati percuma saja; rombongan kendaraan di depan seperti menulikan telinga.

"Kita mau ke mana, sih?" Mera memajukan badannya, melongok ke luar, berusaha menemukan arah tujuan Zidan.

"Udah mau ngomong sama gue?"

Jawaban itu membuat Mera menyipitkan mata. "Lo masih marah?"

"Lo tahu, gue antara menyesal dan nggak, udah bilang suka sama lo." Zidan tidak menoleh sedikit pun, tapi Mera paham cowok itu sedang kesal. "Kalau nyatanya lo jadi menjauh kayak gini, lebih baik gue simpen aja sendiri."

"Gue nggak menjauh."

"But you ignore both my calls and messages."

Mera tidak berkutik. Kenyataannya, memang benar adanya begitu. "Maaf."

Mobil Zidan mulai memasuki sebuah gedung parkir bertingkat, lajunya terus bergerak melintasi jalur melingkar hingga bukan atap beton lagi yang menjadi batas, namun langit malam polos yang tampak jauh. Dan seolah percakapan sebelumnya cuma angin lalu, Mera segera membuka pintu begitu mobil terparkir. Cewek itu tergesa mencapai tepi gedung yang dibatasi pagar rendah. Matanya berbinar meneliti pemandangan kerlap-kerlip di bawah.

"Bertahun-tahun, gue nggak pernah ngelihat kota dari ketinggian segini. Gila, keren ternyata." Mera beralih ke samping, di mana Zidan berdiri tengah menatapnya. "Makasih udah ngajak gue ke sini, Zidan."

Entah sudah berapa lama, yang pasti Zidan rindu melihat senyum yang sekarang terkembang di bibir Mera itu.

Keheningan yang nyaman kemudian melingkupi keduanya. Angin semilir sibuk merusak tatanan rambut Mera--berkali-kali dia mengaduh karena tertampar rambutnya sendiri. Zidan di sebelah memerhatikan. Sepertinya apabila diingat-ingat, dia jadi sering mengamati Mera. Di samping rasa sukanya, ada secercah rasa penasaran pula. Wajah Mera memang tampak sumringah, namun Zidan tahu ada sebuah cerita yang mengganggu pikiran Mera. Mungkin juga merupakan alasan mengapa Mera bersikap seperti seminggu belakangan.

"Mer," panggil Zidan. Mera ber-hm singkat. "Jangan cuekin gue lagi, bisa?"

Mera menyisir rambutnya kaku.

"Ya, kalau rasa suka gue memang mengganggu lo, anggap aja gue nggak pernah nyatain."

"Lo tahu, Zidan." Mera memandang kejauhan. "Sedari kecil, gue jarang banget--atau malah nggak pernah, ya? Gue lupa--mendapat apa yang gue inginkan. Kalau gue sebuah mobil, bokap gue adalah sopirnya. Bokap yang selalu kasih tahu gue harus apa, terbaiknya bagi gue gimana, dan gue selalu mengikuti apa kata dia. Contohnya, waktu masuk SMA kemarin itu, otak gue sebenarnya jauh banget dari IPA. Nggak sampe. Tapi, ketika bokap udah bertitah, gue bisa apa? Dengan begitu, seenggaknya dengan apa yang gue percaya, bokap seneng."

Di jeda itu, Zidan menelungkupkan jaket jeans-nya di kepala Mera. Selirihan kata 'makasih' lolos dari bibir Mera.

"Makanya," lanjut Mera. "Gue ... butuh waktu buat menerima kenyataan kalo ternyata lo punya perasaan kayak gitu ke gue. Oke, gue nggak mau naif kalo gue berharap perasaan gue akan terbalas, tapi ... udah lama juga gue sadar kalo bisa deket sama lo udah cukup bikin gue puas. I'll still like you a lot. Setelah lo bilang lo suka gue ... gue jadi mikir lagi ... dan gue ... takut. Gue nggak mau lo melihat gue sebagai cewek yang bodoh lemah yang terjebak di suatu tempat, tanpa benar-benar mau mencari jalan keluar. Gue nggak punya apa-apa buat dipamerkan, sebagaimana lo bisa pamer lo jago fotografi. Gue takut ketika lo tahu gue sebenarnya kayak apa, lo bakal menyesal. That's the biggest fear that I've never thought of before."

Mereka tenggelam dalam diam.

Kemudian, "Mer, mau gue peluk?"

Mera terperangah. Dia membelalak ke arah Zidan. Tanpa perlu menunggu lama, Zidan beringsut memeluknya.

"Gue nggak jago bikin kalimat menenangkan atau semacamnya, tapi satu hal yang perlu lo tahu: lo keren. Nggak semua orang bisa bertahan di suatu lingkungan yang nggak mendukung mereka, Mer. Udah satu setengah tahun lo makan materi yang nggak lo suka, tapi lo memutuskan untuk nggak menyerah."

Mera terkekeh. "Kalau gue nyerah, yang ada gue udah kena cincang sama bokap."

"Hm, ya, tapi lo tetap tahan banting, buktinya?"

"Zidan?"

"Apa?"

"Gue minta maaf karena mengabaikan lo kemarin. Lo tahu, gue kaget. Banget. Tapi seneng. Gue sebenernya cuma ngetes lo aja, lo serius nggak sama pernyataan lo itu. Terus waktu gue lihat lo muncul di depan pager rumah tadi ... gue tahu. Lo nggak bercanda."

Zidan tidak membalas.

"Zidan?"

"Apa?"

"Lo wangi."

Satu detik, dua detik.

"Gue lupa lo masih punya utang." Zidan melepaskan lingkaran tangannya dan memberi jarak di antara mereka.

"Utang?"

"Nyanyi."

Raut Mera seolah mengatakan dia baru melihat penampakan. "Ogah!"

"Ya udah, gue ganti."

"Apaan sih Dan, pake utang-utangan segala, kan ini kita udah pergi--"

"Tepat tanggal satu besok, gue mau kita mulai hubungan baru."

"--hah?"

Zidan tidak menahan sudut bibirnya terangkat. Dia memilih bungkam begitu Mera mulai melemparkan berbagai macam tanya perihal maksud dari perkataannya.

Setengah jam kemudian, langit yang tadinya sepi, mulai meriah oleh ledakan bunga api. Baik Zidan dan Mera menikmati pemandangan itu. Dan khusus Zidan, dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk merekam cekung kecil di pipi Mera, bersama terkembangnya seutas senyum, di dalam otak. Terkadang, sebuah potret hanya membantunya mengingat, bukan?

.

.

"Mera, sekali aja, sing me a song?"

"Zidan."

"Ya udah kalau nggak mau, abis ini lo pulang dianter abang GOJEK, ya?"

"ZIDAN!"

i l i w y s

notes;

awalnya ini epilog, but...

siap-siap saja berpisah dengan mereka :)))

i like it when you smileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang