"Lo serius?"
Mera masih memeluk tote bag saat bertanya. Matanya betulan memendarkan keganjilan. Namun, Zidan malah menganjurkan helm ke depan muka Mera yang dengan gerakan lambat menerimanya.
"Lo serius, Dan?" tanya Mera lagi seolah belum terpuaskan ragunya bila Zidan tidak menjawab.
"Iya, Mera, gue serius. Jadi nggak, nih?" Zidan menggerutu.
Bertukar pandang sejenak, Mera pun bersorak dibarengi meloncat-loncat kecil. "YIPIII! ZIDAN BAIK, DEH!"
Beberapa detik selanjutnya, mereka membelah keramaian siswa dan berbaur pada padatnya kota.
.
Sore itu, kafe greenhouse cukup disesaki pengunjung. Kebanyakan tentu saja anak-anak muda; sibuk berhaha-hihi maupun menugas bersama. Cuaca di luar sedang mendung, suasana tampak lebih gelap dari yang seharusnya. Mera dan Zidan harus memutari kafe tersebut untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Secepat pantatnya menyentuh kursi, Mera menyabet buku menu yang terletak di ujung meja. Membukanya, meninjau isinya dengan cermat sampai-sampai bibirnya mengecurut dan kening mengerut. Zidan cuma memangku dagu memperhatikan, sambil sesekali mengedarkan perhatian ke sekeliling.
"Mer, kita bisa sampe magrib kalau lo pelototin menunya terus-terusan," ucap Zidan akhirnya begitu bermenit-menit telah terbuang.
"Gue bingung mau pesan apa," kata Mera murung. "Lo duluan aja, deh."
Satu dengusan dari Zidan.
Tak berapa lama, Zidan mengembalikan buku menu kepada Mera.
"Lo pesan apa?"
Zidan menyebutkan pesanannya.
"Gue sama kayak lo aja, deh."
"Lah?"
Mera menampakkan cengirannya.
"Lo tidur jam berapa?" Mera membuka percakapan begitu pelayan meninggalkan meja mereka.
Zidan mengingat-ingat dua belas jam lalu. "Gatau, nggak lihat jam." jawabnya pendek. Padahal dia ingat jelas angka yang tertera di layarnya kala itu.
"Gue nggak tidur, lho," kata Mera. "Nggak bisa, tepatnya. Masih kepikiran kenapa bisa teleponan dua jam sama lo. Kayak, sangat nggak mungkin, gitu?"
Sebelah alis tebal Zidan terangkat.
"Kok lo mau-maunya teleponan sama gue selama itu, sih?"
"Lo nggak tahu? Lo kalau cerita itu susah dipotongnya."
"Eh, iya ya? Hehehe. Ya elonya mau-mau aja dengerin. Padahal gue kira lo ketiduran apa gimana, eh masih ada aja nyautnya."
Tanpa disadari, tatapan Zidan tertuju lurus pada dekik yang timbul-sembunyi di pipi Mera. Padahal hanya cekungan kecil, namun bisa membuat Zidan kepikiran semalaman.
"Lo sering begadang?" tanya Zidan berusaha mengalihkan pikiran.
"Hm, nggak tahu bisa disebut begadang apa nggak, tapi gue biasa kebangun jam segituan. Lo? Lembur?"
Zidan meringis dalam hati mengingat apa yang dilakukannya sampai larut. "Ya, begitulah." Minuman mereka pun datang menjeda. Kemudian sesudah menyedot jusnya sekali, Zidan menambahkan, "Terus lo ngapain aja biasanya?"
"Macem-macem. Baca komik, nonton sampe mata merem lagi, nyanyi, ngobrol sama tetangga gue—kadang-kadang sih kalau dianya bangun. Atau, paling sering gue diem aja sambil nge-teh atau ngemil." Mera tersenyum simpul. "Eh, gue ke kamar mandi dulu bentar. Kebelet."
Zidan mengikuti arah pergi cewek itu sampai tak terlihat lagi. Selagi menunggu, Zidan memainkan ponselnya, membaca groupchat dan membalas sesekali. Kemudian muncul suara halus disertai getaran bertubi-tubi dari benda pipih tak jauh dari depannya; ponsel Mera. Bukan telepon, sekadar notifikasi. Zidan hendak membuang pandangan tapi urung ketika membaca notifikasi tersebut, berikut aplikasi asal serta sederet nama. Berbekal rasa penasaran biasa, jemarinya mengetik sesuatu di ponselnya sendiri.
Sedikit melebarkan mata, Zidan agak tercengang begitu apa yang dilihatnya melebihi ekspetasi. Dia merogoh tas hitam di sebelah, mengeluarkan earphone dan memasangnya cepat.
Lantaran begitu mendalami apa yang didengarnya, Mera sudah kembali duduk di hadapannya tanpa dia sadari. Zidan terlonjak samar tatkala mata mereka bertemu.
"Lagi dengerin apa?" Mera mulai menyendok zuppa soup yang tersaji di meja.
Alih-alih menjawab, Zidan melepas earphone dan menaruhnya di ruang meja yang kosong. Lalu dia ikut menyantap zuppa soup yang masih mengepulkan uap tipis.
Setelah menemukan sebuah kejutan beberapa menit yang lalu, Zidan sesekali memandang Mera apabila cewek itu sedang sibuk sendiri. Ada satu imaji baru yang berusaha Zidan cocokkan dengan Mera. Siapa yang menyangka cewek macam dirinya mempunyai suara seteduh embun pagi apabila menyanyi? Heran juga, mengapa Mera tidak diketahui sebagai cewek bersuara lumayan di sekolah.
"Lo ngelihatin apa, sih? Makan gue berantakan, ya?"
"Hah, nggak." Zidan berdeham.
"Terus?"
"Nggak ada."
"Hih, aneh." Mera menyeruput jusnya. "Lo jangan lihatin gue kayak gitu lagi, deh, gue nggak mau salting di depan lo."
Zidan tersedak. "Lo harus banget ngomong sejujur itu, apa?"
"Ya, gimana, dong? Kalau gue pendem sendiri, ntar malah gue jadi gila sendiri juga. Mending gue kasih tahu lo, biar kita sama-sama waras."
Zidan tak menanggapi.
"Bentar lagi hujan," gumam Mera sambil menengadah.
"Lo nggak lagi nge-kode, kan?"
"Kode apaan?"
"Ya, apa, kek. Minta anterin pulang."
"Lo mau nganterin gue pulang!?"
"Nggak."
"WHY? OH!" Mera meletakkan sendoknya. "Gue tahu. Lo kapan terakhir kali hujan-hujanan?" Tak menunggu balasan Zidan, Mera semangat sendiri. "Hujan-hujanan, yuk! Kan mumpung lo bawa motor. Kayaknya seru, tuh."
"Gila lo. Besok kita masih sekolah. Ogah gue sakit gara-gara lo. Apa nggak lo hujan-hujanan bareng abang GOJEK sana, gue pesenin kalau perlu."
"JAHAT!"
"Lagian ide lo nggak ada yang warasan, apa?"
"Ya udah. Hm ..." Mera menggaruk kepalanya, berpikir. Beberapa detik, dia menjentikkan jarinya. "Kalau gitu, kita nongki dulu di sini sampe hujannya reda. Walaupun nggak hujan-hujanan, seenggaknya atap di atas kita transparan, jadi gue bisa tetap merasakan sensasi kehujanan. Brilliant!"
"Mer—"
"NAH, HUJANNYA DATENG, DAN!"
Bersamaan dengan itu, rintik-rintik air mengetuk atap kaca di atas mereka, yang tadinya ringan menjadi brutal. Mera ber-yeay ria, sementara Zidan kehabisan kata-kata.
i l i w y s
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you smile
Short StoryBagi Zidan, Mera hanyalah cewek berisik yang tiba-tiba mengganggu ketenangan hidupnya. Sementara bagi Mera, Zidan adalah cowok berbakat yang pantas menerima perhatiannya. © 2018 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful...