Mera mengedarkan pandangannya menyapu lapangan sekolah yang sudah disulap menjadi tempat pentas seni yang megah—dengan nama Reverie, pensi sekolah Mera menjadi salah satu yang dinanti-nanti anak muda di kotanya. Panggung sudah dikerumuni oleh banyak orang; ada band lokal yang sedang tampil. Begitu menemukan sosok yang dicarinya, Mera berlari menghampiri.
"Anggit!"
Sosok itu menoleh. "Tumben lo udah sampe jam segini?" tanya Anggit begitu mereka berhadap-hadapan.
Mera cuma nyengir. "Biar nggak ngantri banyak masuknya. Tahun lalu bikin gue kapok." Kepalanya kemudian menengok ke sana kemari. "Zidan mana?"
"Entah."
Mera ber-yah panjang.
"Lo sendirian?"
Mera mengangguk.
"Berarti lo lagi nggak beruntung. Gue harus ngurus ini-itu. Sibuk. Lo nggak papa kan gue tinggal?"
"Lo tega ninggalin gue?"
"Ya masa lo mau ngintilin gue, Mer?"
Mera mendesah. Kemudian mengangguk lemas. Anggit berpamitan singkat untuk pergi. Ditinggal sendiri, Mera berjalan ke suatu sudut untuk duduk. Melirik jam, cewek itu menghela napas. 18.45. Acara yang sebenar-benarnya masih sekitar satu setengah jam lagi. Sekarang, dia harus melakukan apa untuk membunuh bosan?
Merakinan Fifian
Zidan, lo dimana?
Lama sekali Mera menanti, balasan pun datang.
Zidan Aufa
Kenapa?
Merakinan Fifian
Gue kesepian. :(
Zidan Aufa
Urusannya sm gue?
Merakinan Fifian
Gue nggak ada temen nih :(
Lo nggak mau nemenin gue gitu?Zidan Aufa
Nope. Sibuk.
Merakinan Fifian
HALAH SIBUK AJA KALIAN SEMUA :(
JAHAT :(Tak ada balasan lagi, Mera mengerang. Padahal dia masuk lebih awal supaya bisa bersama Zidan. Dimasukkan ponselnya ke dalam tas. Baiklah, Mera akan berjalan-jalan sekalian cuci mata. Siapa tahu di tengah-tengah dia bisa menimbrung pada orang yang dikenal.
Namun Mera adalah Mera. Dia tidak kuasa berjalan sendirian di keramaian, membuatnya merasa terkucilkan. Oleh karena itu, dia memilih untuk menonton panggung dari sebuah kios thai tea sembari mengunyah camilan di tangan. Setidaknya, Mera bisa ikut bernyanyi sehingga kebosanannya perlahan memudar.
.
"MERA!"
Dengan pencahayaan minim lantaran hari beranjak menuju gelap, Mera menyisir sekitar, mencari dari mana panggilan itu berasal. Sebentuk wajah tak asing menyembul di antara orang-orang. Mera memekik.
"NAVEL! ASTAGA. GUE HARUS TUMPENGAN HABIS INI. MAKASIH, YA TUHAN!"
Mera langsung menggelendot di sebelah seorang cowok berkaos putih yang dilapisi kemeja flanel. Dia Navel, tetangga Mera yang kerap menjadi teman bicaranya tiap dini hari. Teman sedari kecil dan sudah Mera anggap sebagai saudara sendiri.
"Gila! Gue merasa jomblo yang antisosial parah-rah-rah," ucap Mera menggebu-gebu.
Navel menjauhkan kepala Mera dengan telunjuknya. "Iya, kelihatan banget bahkan kalau gue ada di ujungnya monas. Muka lo udah kayak bocah yang sok-sokan kuat ketika emaknya ngilang."
"Bodo amat." Mera menarik Navel ke tempat duduknya tadi. "Temen-temen lo mana?"
"Gue udah bilang, kan, mereka bakal sama cewek-ceweknya. Yang jomblo mah minggir kalau nggak mau makan ati." Navel merebut minuman di tangan Mera, lalu meneguknya. "Lo nggak mau ke depan?"
"Nggak, ah. Mager gue. Udah penuh banget, gitu. Dari sini aja kelihatan kok."
"Yah, nggak asik lo. Udah ayo ke depan! Keburu tambah rame. Nanti malah nggak kelihatan apa-apa lagi, cuma kepala sama pantat orang doang lo pandangin."
Navel merangkul Mera, menarik cewek itu bercampur bersama hiruk pikuk. Mereka melewati rapatnya barisan berbekal kata permisi dan maaf. Hingga akhirnya sampai di tempat yang cukup untuk keduanya, Mera menghela napas.
"Kalau begini bakal susah keluarnya," kata Mera mendumal.
Navel mendecak. "Nggak usah manja, deh."
.
Zidan menatap gegap gempita di sekitar. Bulir-bulir keringat mulai berluncuran di punggungnya, membasahi seragam jurnalistik biru dongker. Dia masih berkutat dengan kamera, mengarahkannya ke panggung dan menjepret sebanyak-banyaknya. Beruntung sebagai staf, Zidan tidak harus bersempit-sempitan dalam mengabadikan momen. Ada pagar yang membatasi khusus dari penonton sehingga staf dan mereka yang diizinkan dapat lewat tanpa hambatan.
Tepat di pukul 20.55, Zidan menemukannya secara tidak sengaja. Seorang cewek di antara lautan penonton. Moncong kameranya tertuju pada cewek itu, yang tampak sedang menikmati acara dengan ikut bernyanyi bersama. Beberapa jepretan Zidan ambil, sebelum menyadari bahwa cewek itu tidak sendiri.
Mera sesekali—tidak, sering malah—tertawa bersama cowok yang merangkul bahunya di sebelah. Mereka kadang bertukar kata, saling mendekat ke telinga lawan karena suara latar terlalu keras.
Zidan menghela napas. Langkahnya terajut meninggalkan spot awalnya. Seharusnya Zidan merasa biasa saja, tapi mengapa pemandangan itu terasa begitu mengganggu? Dia memeriksa hasil fotonya, memperbesar bagian yang dikehendaki, kemudian mengusap peluh di dahi.
Sesuatu di sakunya bergetar. Zidan merogohnya.
Merakinan Fifian
Zidan, lo masih nugas ya?
AYO DONG KETEMUANNNZidan baru akan memasukkan kembali ponselnya ketika tetes air jatuh di layar. Satu tetes lagi. Lagi. Dan lagi. Sampai cowok itu menengadah, wajahnya basah oleh bulir kecil air. Gerimis datang tanpa diundang. Keramaian berseru riuh. Hanya gerimis ringan, untungnya.
Menatap benda pipih di tangannya sekali lagi, Zidan tersenyum kecut. Dia melesakkan benda itu pada saku celana.
Sepertinya malam ini Zidan harus berbasah-basahan. Juga Mera—cewek itu pasti senang karena berhasil hujan-hujanan. Sayangnya, tidak ada Zidan di sampingnya dan entah kenapa, kenyataan itu justru membuat Zidan merasa kehilangan.
i l i w y s
notes;
Zidan kenapa :(
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you smile
Short StoryBagi Zidan, Mera hanyalah cewek berisik yang tiba-tiba mengganggu ketenangan hidupnya. Sementara bagi Mera, Zidan adalah cowok berbakat yang pantas menerima perhatiannya. © 2018 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful...