8 ~ Mati rasa

42 34 23
                                    

Kenapa ini semua terasa begitu menyakitkan?

Apa karena aku terlalu lemah,

Untuk merelakan orang yang kucinta bersama dengan yang lain?

******

Malam ini, bintang tak lagi bersinar seperti biasanya. Kini yang gue lihat hanya cahaya redup di atas langit sana. Apa mungkin mata gue yang salah lihat? Atau, hasrat yang semakian lemah diterpa guncangan waktu, saat tidak mampu menerima takdir yang sebenarnya? Jujur, sungguh pusing dan melelahkan memikirkan semua ini. Yang ada hanya sebuah beban yang terus menggantung di atas kepada gue. Semuanya terasa tak mampu gue kendalikan hanya dengan bermodalkan sebuah ketakutan. Kini terasa hampa, sepertinya...

Aku mati rasa...

Tok...tok...tok...!!!

Tiba-tiba saja ada bunyi ketokan pintu dari balik luar kamar gue. Dengan segera, gue langsung menoleh, sembari bangkit dari ranjang tidur.

Gue segera membuka pintu kamar. ''Eh, Wir?'' Ternyata Wirda, adik gue yang barusan mengetuk pintu kamar gue. ''Kenapa kamu ketuk pintu kamar kakak? Ada sesuatu? Hah?'' Gue mencoba mengajukan pertanyaan kepada si Wirda, dan berharap akan ada kejelasan, mengapa barusan dia mengetuk pintu kamar gue.

Lalu, dia menjawab dengan nada sedikit lirih. ''Kak Chila datang, Kak...,'' selorohnya, sambil menunjuk ke arah ruang tamu. Tampaknya, Chila sudah datang dari tadi tanpa sepengetahuan gue. ''Dia ada di ruang tamu. Udah nunggu kakak daritadi. Bi Lala yang bukain pintu rumah tadinya. Terus dia suruh aku buat manggilan kamu, kak,'' ujar Wirda, sambil sedikit mengernyitkan dahinya.

''Udah lama dia di mari, Wir?'' Gue kembali mengajukan pertanyaan.

''Hmm, nggak terlalu lama juga, sih, kak. Sekitar 10 menit yang lalu, deh...,'' jelas Wirda sambil menganggukan kepalanya.

''Ya, udah, kamu boleh pergi...,'' jelas gue kepada dia sambil memegang pundaknya agar pergi dari hadapan gue. ''Nanti gue ke ruang tamu. Lo tenang, aja,''

''Okey...,''

******

Di ruang tamu...

Ternyata benar yang dikatakan adik gue, ada Chila yang datang malam ini. Tampak saat itu ia tengah sibuk dengan gadgetnya.

''Hai, Chil!'' gue menyapanya, sambil tersenyum kecil, kemudian duduk disampingnya.

''Hei, Sya! Lusuh amat tuh, muka...,'' Dia merespon sapaan gue itu, sambil meletakkan gadgetnya di meja ruang tamu.

''Ah, bodo amat, mau muka gue lusuh kek, bukan urusan lo kelless. Ngapain lo ke sini, Chil? Bukannya lo harus belajar, ya, malam ini. Kan, besok lo bilang, lo ada UH Matematika...,'' seloroh gue, seraya memulai pembicaraan dengan Chila.

''Hmm, iya, sih memang bener kalau gue besok ada ulangan Matematika, but gue lagi mager banget buka buku, Sya. Apalagi liat rumus-rumusnya, pusing banget gila,'' jelas Chila, dia menampakkan raut wajahnya yang sedikit tertekan.

''Oh, gitu...,'' Gue mengiyakan dengan anggukan kecil, kemudian memandang Chila dengan tatapan sedikit lirih kepadanya.

''Iy, makanya gue kesini, Sya. Gue bosan di kamar muluk. Apalagi nyokap sama bokap gue masih di kantoran lagi. Sendiri gue di kamar. Lembur mereka...,'' ujar Chila, sembari meneruskan omongannya tadi.

''Eh, BTW, lo ada bawa buku Matematika lo, nggak? Hmm, kalau misalnya lo ada bawa, setidaknya kita, kan, bisa belajar bareng. Kebetulan banget gue juga ada Quiz besok sama Bu Sri,'' Gue mencoba meyakinkan Chila, agar kita bisa belajar Matematika barengan.

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang