15 ~ Kecewa

32 30 20
                                    

Senja tenggelam dari peredarannya, sembari berpamitan pada pekerjaannya, seraya berhenti memberikan sinar keindahan dan membebankan tugasnya kepada sang bulan dan bintang-bintang yang indah.

Sejak tadi memang hujan, tapi perlahan-lahan hanya rerintikan hujan yang turun seirama dengan berjalannya waktu. Walaupun, masih ada air yang berturunan memberikan kenikmatan yang hakiki.

Setelah menempuh perjalanan dengan basah-basahan dari Dell's Cafe yang tak terlalu jauh dari rumah, akhirnya gue sudah bisa menginjakkan kaki di depan rumah, walaupun baju gue dalam kondisi basah dan berbau lembab.

Lhoh, itu mobil siapa, ya?

Saat ingin membuka pintu gembok gerbang, tanpa sengaja gue melihat ada mobil yang terparkir di dalam teras rumah gue.

Gue mencoba berfikir sejenak, dan menerka-nerka siapa sosok yang memakirkan mobil itu.

Hmm, mungkin saja mobil tamu yang datang kali?

Karena sangking penasaran dengan siapa yang datang ke rumah gue saat itu, akhirnya gue mempercepat langkah masuk ke dalam rumah.

Gue membuka sepatu dan kaos kaki yang benar-benar basah gara-gara kebahasan hujan tadi, sambil sesekali melihat ke arah mobil yang terpakir di depan rumah.

"Mas, aku mohon kamu jangan tinggalin aku!!!"

Dari dalam rumah, tepatnya dari arah ruang tamu, gue mendengar suara khas mama yang saat itu berbicara dengan seseorang dengan nada memelas dan memohon akan sesuatu hal. Gue bingung dan tidak tahu pasti siapa sosok yang saat itu bersama dengan mama.

Apa mungkin Papa?

Karena penasaran, akhirnya gue mempercepat langkah masuk ke dalam rumah dengan langkah sedikit gontai.

"Sore," gue membuka pintu rumah yang ternyata saat itu tak terkunci.

Rasa penasaran yang saat itu gue pendam terbayarkan semua, ketika aku melihat ada Papa, Mama, dan sepupu gue dari Thailand, Beni, yang sepertinya baru saja sampai bersama dengan mama dan nyokap bokapnya. Saat itu gue juga nelihat masih ada tas koper yang tergeletak tegak di ubin lantai rumah gue.

"Tasya?" Mama memanggilku dengan nada lirih, sembari menatap gue dengan kondisi air mata mengalir di pipinya.

Ini pasti Papa yang buat Mama nangis!

Sontak, gue benar-benar terkejut melihat Mama yang saat itu beralirkan air mata di pipinya. Matanya juga terlihat sembab. Dengan mata yang benar-benar sayu, dirinya kelihatan berusaha menghapuskan air mata yang mengalir di pipinya, seperti ada niat menutup-nutupinya dari gue.

Karena merasa tidak ada yang beres dengan Papa dan Mama, gue mencoba mengarahkan pandangan ke papa yang sudah lama banget nggak pulang ke rumah, karena sibuk dengan kerjaan di kantornya. Apalagi, gue dengar-dengar di ingin menikah lagi dengan wanita lain. Tentu tindakan papa itu sontak membuat gue benar-benar shock dan khawatir dengan kondisi mama.

"Tasya," timpal papa memanggil gue dengan nada lirih. Lalu dia menatap lekat mata gue, sembari tersenyum kecil.

Gue mencoba menatapnya dengan lekat, tapi kini hanya ada kekecewaan dan kemarahan yang mendalam karena sikap papa yang benar-benar berubah itu.

Perlahan-lahan gue membuka mulut dan berjalan dengan langkah pasti ke hadapan mereka berdua.

"Pa? Kok keterlaluan banget, sih?" Tanya gue menyindir, kemudian mendongakkan kepala mengarah ke hadapannya.

Dia mengernyitkan keningnya ketika mendengar pertanyaan itu, lalu membuka mulutnya dengan wajah seperti sama sekali tidak bersalah. "Maksud kamu apa tanya seperti itu, Tasya?" Ujarnya dengan nada penasaran. Dia malah balik bertanya atas pertanyaan yang tadi gue ajukan kepadanya.

"Hehh? Papa jangan pura-pura begok atau polos deh. Muntah Tasya liatnya." Ujar gue dengan nada goyang. Rasanya gue benar-benar ingin menangis saat melihat Mama juga menangis.

"Jaga omongan kamu itu, ya!" Papa malah tiba-tiba menggertak gue, sambil menajamkan matanya. "Nggak sopan ngomong seperti itu sama orang tua!" Sambungnya dengan tatapan tak bergedik sedikit pun melihat ke gue.

"Sya..." mama memanggil dengan nada lemas. Gue menoleh sejenak. Kemudian mengarahkan kembali pandangan ke papa yang sekarang benar-benar memancing emosi gue.

"Seharusnya papa yang jaga mulut papa, dong!" Seloroh gue tegas. "Tega ya, papa bentak mama tadi. Hmm, mau kawin lagi?" Tanya gue, dengan nada menyindir.

Papa menoleh sejenak ke arah gue.

"Iya, emangnya kenapa? Kamu mau larang papa? Hah, iya?" Dengan nada sedikit tinggi.

"Tasya, udah...," Mama menatapku, seraya memberikan isyarat agar gue menghentikan perdebatan itu.

Sementara itu, gue melihat Beni yang sejak tadi diam menunduk tak bergedik dan berbicara apapun. Kemudian dia memutuskan untuk bangkit dari ruang tamu yang serasa panas sekarang.

"Owwhhh gitu! Males banget dengarnya. Mama belum cukup, ya? Mau yang gimana lagi? Hah?" Tanyaku lirih. "Tega banget ya papa bentak dan mau ninggalin Mama. Maunya papa apa sih? Malu pa sama orang. Aku apalagi, malu liat ayah yang ninggalin istrinya. Gimana kalau tetangga tahu?" Ujarku haru, tanpa gue sadari air mata mulai jatuh mengalir di pipi.

Gue terus menatap lekat matanya.

Kemudian dia kembali membuka mulutnya dan berbicara.

"Papa bosan dengan mamamu, Sya. Kerjaannya tiap hari kerja saja, tidak ada waktu buat papa dan kamu. Hmm, makanya papa harus ambil tindakan seperti ini," jelasnya yang terus menatap gue. "Kamu harus ngerti, Sya?"

Gue menatap lekat matanya.

"Keterlaluan banget sih, Pa!" Gertakku dengan nada kasar. "Hmm, itu menurut papa. Tapi aku rasa, Mama ada waktu untuk aku, kok. Papa aja kali yang nggak peka. Hmm, malah aku merasa kalau papa yang sibuk. Apalagi..., sibuk urusin calon istri papa yang baru itu. Terus mama? Hiksss..." gue berseloroh, sembari terus meneteskan air mata, hingga membuat air mata berbekas di pipi. "Papa egois! Papa nggak sayang sama aku!!!"

Wajah papa terlihat memerah, dia menunduk, kemudian bangun dan mengarahkan pandangannya ke gue.

THAP!

Tangannya melayangkan tamparan yang benar-benar membuat wajah gue merasakan sakit yang bertubi-tubi. Hati gue benar-benar sakit dan kecewa papa melakukan itu, karena seumur hidup, belum ada seorang pun yang berani menampar gue. Tapi sekarang, orang yang bahkan gue sayang  malah tega menampar anaknya sendiri.

Kecewa...
Sakit...
Muak...!

"Tasya!" Mama bangun dari dudukannya, sembari menatap gue lirih.

Semenjak papa melayangkan tamparan itu, gue nggak akan pernah melepas tangan kanan  yang terus menutup pipi wajah sebelah kanan gue. Hati gue benar-benar kecewa dan muak sekarang.

"Tega, ya!"

Gue langsung berlari meninggalkan papa dan mama. Kini air mata benar-benar berjatuhan dahsyat di pipi gue.

"Sya!!!" Mama memanggil lirih mengikuti gue dari belakang.

Gue mencoba untuk tidak menjawab panggilan mama, dan masuk kamar lalu mengunci pintu.

Sakit...
Itulah yang mewakili perasaanku yang kecewa besar terhadapnya.
Orang yang selama ini kukagumi dan penuntun hidupku...
Tapi sekarang dia berubah,
Bahkan kurasa tak lagi menyayangiku...
Kecewa dan kecewa!
Hanya itu yang sekarang ada...

♡♡♡♡♡

Thank for read this Part!
Bagi yang suka jangan lupa Vote and Comment, yeah...

~SEE U SOON IN THE NEXT PART~

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang