18 ~ Tragedi Putih Abu-abu

13 15 16
                                    

Kemacetan ibu kota benar-benar terlihat jelas saat ini. Ditambah lagi dengan suara riuh hingar- bingar ibu kota dan panasnya siang hari. Nampaknya matahari enggan memberikan rasa tenang dan dingin siang ini. Sepertinya dia masih setia pada janjinya dengan tuhan untuk menjalani tugas mulianya.

Siang ini gue bersama dengan Chila dan Ananda tengah nongkrong di salah satu warung Nasi Padang yang terkenal dengan kelezatannya di salah satu perempatan jalan dekat dengan rumah Ananda.

Kami sibuk menghabisi jatah makanan masing-masing dan tak lupa menyeruput teh dingin dengan es kristal yang hampir memenuhi penuh gelas gue.

"Chil, Nan, balik yuk!" Ajak gue, sambil meneguk habis segelas teh dingin plus es di dalamnya.

"Iya, bentar kali. Sikit lagi nih gue bakal habis kok. Lo tenang aja," ujar Ananda agak dengan nada sebal.

"Sabar napa, Sya. Buru-buru amat!" Timpal Chila. "Ngademan bentar kali," sambungnya, sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kipas buatannya, alias buku tulis.

"Yoi, Sis," gue mencoba mengalah, dan menyetujui mereka.

"Hmm,"

"Eh, guys, kalian tau nggak anak SMA kita yang namanya Andre? Gue penasaran sama dia lho," gue mengajukan pertanyaan kepada mereka, berharap Chila dan Ananda mengetahuinya.

Ananda mengernyitkan keningnya, tanda bingung dengan apa yang gue katakan barusan. "Andre? Nggak kenal tuh. Setau gue sih nggak ada anak sekolahan kita namanya Andre. Hmm, dia anak organisasi apa?" Tanya Ananda yang juga mulai sama penasarannya dengan gue.

Gue sedikit bergedik. "Hmm, anak Olim, terus organisasi muspus sama vokal solo juga, Nan," ujar gue sok tau.

Chila yang sedari tadi diam tiba-tiba membuka mulutnya. "Wait, lo lagi bicarain cowoknya Yasmine, bukan? Namanya Andre kalau nggak salah. Yang dia bilang pas tadi di sekolahan itu lho. Iya kan?"

Gue mengangguk. "Iy, bener banget, Chil." Ujar gue mantap. "Hmm, tapi gue masih bingung. Secara yang gue tau nggak ada letting kita yang namanya Andre. Iya nggak sih?" Gue mencoba meyakinkan kedua sahabat gue itu.

Chila tampak mengangguk. "Iya juga sih," ujarnya. "Gue sependapat dengan lo," dia mengangguk.

"Hmm, mungkin lo salah dengar kali, Sya. Kali aja namanya lain." Ujar Ananda santai.

"Nggak ah. Kayaknya gue nggak salah denger deh. Jelas-jelas gue denger namanya Andre dibilang Yasmine."

"Eh iya, terus dia bilang kalau Andre itu ikut olimpiade juga kan. Makanya nggak bisa hadir manggung. Pande main gitar juga katanya," ujar Chila yakin.

"Bener tuh," gue menimpali omongan Chila barusan.

"Wait, guys!" Mendadak Ananda mengangkat tangannya dan mulai ingin mengatakan sesuatu kepada gue dan Chila. "Kalian sadar nggak sih, kalau nama cowok lo Sya, Nuca kan?" Tanya Ananda, dengan nada sedikit panik.

Gue mengangguk. "Iya, emangnya kenapa atuh?" Tanya gue makin penasaran dibuatnya.

"Nama cowok lo ada Andrenya kan? Nuca Andriandre...," ujar Ananda. "Dan cowok lo juga anak olim, pande main gitar. Hmm, apa mungkin yang dimaksud Yasmine itu adalah Nuca? Tapi dengan nama lain, yaitu Andre." Ungkap Ananda pelan.

Nuca?
Nggak mungkin dia seperti itu.
Hmm, pasti hanya kebetulan saja.

Gue mulai berfikir yang enggak-enggak dengan pacar gue sendiri, semenjak mendengar omongan dari Ananda tadi.

"Ah nggak mungkin, Nan. Hmm, kali aja gue memang salah dengar kali. Mana mungkin Nuca tega kayak gitu," ujar gue, seperti tidak menerima apa yang baru saja gue dengar.

"Iya juga sih. Bener lo." Timpal Chila. "Hmm, atau mungkin saja dia itu anak baru di sekolahan kita yang nggak kita tau namanya. Iya nggak?" Chila kembali menghibur gue, berharap tidak akan terjadi sesuatu.

"Hmm, bener tuh." Gue mengangguk dan tersenyum.

Namun tiba-tiba...

BRUMM...BRUM...BRUM...!!!

Mendadak terdengar dengan jelas keriuhan di jalanan raya, saat ada deretan motor-motor sport yang berlalu lalang dan ada juga mobil pick-up bergemuruh berisik.

"Ih, berisik banget sih mereka!" Ketus Chila kesal, saat pandangannya tertuju pada gerombolan motor sport yang dikendarai oleh anak dengan baju seragam SMA, lebih tepatnya Putih abu-abu.

"Nggak ada otak apa mereka. Kudunya mah sekolah atuh, bukan malah berteriak-teriak nggak jelas di jalanan sana," timpal Ananda tak kalah kesalnya dengan Chila. Dia menutupi telinga dengan kedua telapak tangan.

Gue yang mendengar ocehan mereka berdua hanya bisa tersenyum kecil dan diam. Pandangan gue masih fokus tertuju pada kendaraan bermotor yang tiba-tiba berhenti. Disana terlihat ada beberapa siswa SMA yang dominan cowok, berteriak-teriak layaknya orang demo di salah satu mobil pick-up. Tak lupa TOA yang memperjelas gelagat suara mereka, sehingga benar-benar terdengar dengan jelas sekarang.

Hingga tiba-tiba penglihatan gue tertuju pada seorang cowok yang ikut bergumam riuh di TOA itu dengan penampilan super duper kumal. Terlihat ada reben hitam yang menutupi matanya.

"Hoyy, sini kalian kalau berani. Tawuran yuk kita!!!"

Suara cowok dengan TOA mengenai mulutnya itu benar-benar terdengar sangat jelas sekarang. Dia kelihatan bersorak riau mengajak tawuran anak sekolahan. Hingga gue baru tersadar kalau disamping rumah makan padang itu adalah SMA Harapan Jaya.

Apa mungkin mereka ingin mengajak tawuran anak SMA Harapan Jaya?

Hati gue benar-benar tidak tenang sekarang. Hingga tiba-tiba mata gue tertuju pada si cowok TOA itu. Suaranya makin kencang saja saat berbicara.

"Ayolah kawan! Tawuran kita!!!" Gumam cowok itu dengan tawa sedikit meledek. Namun kata-katanya seketika membuat gue tersontak kaget, dan tertegun sekarang.

"Aduh berisik banget sih mereka," omel Chila sebal, seusai mendengar cowok itu mengomel dengan TOA yang kian membuat suaranya makin keras saja.

"Nggak ada otak memang," timpal Ananda setuju.

Cowok itu kembali bergumam semakin jelas, membuat gue benar-benar bingung dan dilanda dilema dengan tragedi putih abu-abu yang terjadi saat ini.

Gue pun memutuskan untuk melihat dengan jelas sosok cowok yang berteriak keras itu, suaranya sama sekali tak asing di telinga gue. Dan wajahnya yang juga tak asing, walaupun ditutupi oleh reben di kedua matanya.

Gue benar-benar tersontak sekarang. Hingga batin gue berkata dengan pelan.

Nuca?
Kamu?
Nggak mungkin...

Kemudian, mobil pick-up dengan gerombolan motor sport dan anak-anak yang terkesan berandalan mendadak pergi meninggalkan jalanan raya yang sudah mulai macet saat itu. Mereka berlalu.

Namun, ada satu keraguan yang benar-benar membuat batin gue semakin dirundung keraguan dan ketakutan saat melihat cowok TOA itu.

Dia nggak mungkin Nuca Andriande yang aku cinta, kan, Tuhan???

"Sya??? Melamun lo?"

💔💔💔💔💔

Vommentnya, Genks!!!
Tks...

JealousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang