Namanya Febri, usia 18 tahun dan baru saja lulus dari sebuah Sekolah menengah atas. Menjadi seorang anak bungsu dari tiga bersaudara dan tinggal bersama kedua orangtuanya di kampung yang masih kental dengan adat istiadat dan tata krama khas manusia pribumi. Membuat sosok Febri tumbuh menjadi lelaki yang baik, sopan, dan santun. Dia tak segan dan tak malu untuk membantu Bapak di ladang atau membantu Ibu di dapur.
Hidup disebuah keluarga yang sederhana, membuat Febri gak neko-neko. Gaya hidupnya sederhana bahkan jauh dari kata bermewah-mewahan
Walaupun hidup sederhana, tak lantas membuat Febri putus asa. Harapannya untuk meningkatkan kehidupan keluarganya menjadi cita-cita terbesar dalam hidupnya.
Febri belajar dengan giat, walaupun dia hanya bisa meraih sepuluh besar itu sudah menjadi sebuah kebanggaan sendiri dan keluarga tentunya.
Setelah lulus sekolah menengah, Febri memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota yang katanya bisa mewujudkan mimpi semua orang. Keinginan untuk berkuliah rasanya harus ia simpan terlebih dahulu, dia tak ingin menyusahkan orangtuanya yang sudah tua. Dalam pikiran Febri, hal terpenting dalam hidupnya adalah kebahagiaan orang tua dan keluarganya. Menurutnya kebahagiaan orangtuanya adalah kebahagiaannya juga.
Pamannya yang ada di Jakarta, mengajak Febri bekerja di salah satu restoran cepat saji. Dengan perbekalan seadanya dari kampung, Febri berangkat menggunakan kereta dengan membawa tas besar berwarna hitam berisi pakaian dan tas ransel berisi beberapa barang lainnya.
Pamannya dan Anak perempuan nya yang masih berusia 7 tahun menunggu Febri di stasiun.
Saat itu Febri turun dari kereta, melihat sekeliling mencari pamannya, suasana di stasiun yang ramai karena saat itu memang sedang puncak arus balik lebaran membuat Febri kesulitan mencari pamannya.
Saat Febri mengeluarkan handphone nya untuk menelepon pamannya, tiba-tiba seorang pria menepuk pundak Febri.
"Ini Febri..??" Tanyanya.
"Iya.. Mang Wawan??" Tanya Febri.
"Iya, udah bujangan sekarang mah. Pangling mamang.." Ucap Pria tersebut yang ternyata Paman Febri.
"Eh iya , ini siapa??" Ucap Febri sambil mencium tangan pamannya dan bertanya siapa anak disamping pamannya.
"Ini anak mamang, Cantika.." Ucap Paman Febri sambil menyuruh anaknya salam pada Febri.
"Oh iya, ke rumah mamang aja dulu yah.. kamu kelihatan nya udah capek pisan.." lanjut pamannya.
Setelah pertemuan Febri dan Pamannya di stasiun tadi, akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang ke rumah Pamannya Febri. Cuaca Jakarta hari itu sangat panas dan sangat ramai berbeda sekali dengan di kampung, bagi beberapa orang pedesaan mungkin ibukota menjadi tempat yang menjadi impian. Tapi sebenarnya, selalu ada alasan untuk balik lagi ke pedesaan.
Menggunakan sebuah motor Honda beat berwarna merah, mereka menerjang jalanan Jakarta yang terkenal dengan kemacetan nya. Febri yang dibonceng dibelakang, melihat kiri dan kanan, memperhatikan satu persatu bangunan pencakar langit, beberapa pusat perbelanjaan dengan jarak yang berdekatan, rumah makan yang ada dimana-mana, dan kendaraan mewah yang lalu lalang silih berganti.
Memang bukan kali pertama Febri ke Jakarta, sebelumnya Febri juga pernah namun saat dia masih kecil saat Pamannya menikah di sini.
Setelah bermacet-macetan, pamannya memberhentikan motornya di depan rumah bergaya minimalis di salah satu perumahan, terlihat juga mobil Honda Jazz yang terparkir didepan rumahnya.
"Ini rumah mamang, masuk feb.." Ucap Pamannya.
"Muhun.. (Iyaa).." ucap Febri sedikit malu.
Febri masih ingat jika dulu pamannya masih tinggal di sebuah kontrakan kecil di tengah-tengah perkampungan. Namun kini pamannya berhasil memiliki rumah di perumahan elit seperti ini. Saat mereka memasuki rumah, mereka di sambut seorang wanita hamil yang ternyata istri pamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HASRAT (END)
RomanceWARNING Cerita ini tidak untuk dibaca anak kecil. Cerita seorang lelaki yang baru saja lulus SMA dan masih polos, memutuskan untuk pergi ke ibu kota mengadu nasib bekerja di salah satu restoran cepat saji. Alih-alih bekerja dengan fokus dan mengejar...