Pelarian - Special One Shoot

48 15 3
                                    

Pada akhirnya aku hanya bisa melarikan diri. Sambil berusaha mensugesti bahwa semua baik-baik saja.
======

Rintik hujan turun membasahi bumi. Aku melirik jendela kamarku yang berembun.

Ah, hari itu juga hujan seperti sekarang 'kan?

Masih lekat di ingatanku. Saat usiaku masih lima belas tahun. Rasanya susah mengendalikan emosi bergejolakku. Dan saat itulah aku melakukan hal bodoh yang kusesali sampai sekarang. Aku tahu, menyesali yang sudah berlalu tak akan merubah apapun. Namun, serpihan memori masa lalu itu tidak bisa hilang sama sekali. Bagaimana keinginanku tanpa sengaja menyakiti orang-orang yang aku sayang. Bagaimana saat aku melukai diri sendiri dan orang lain hanya karena egoku. Aku tak bisa melupakan itu semua.

Berapa kalipun aku mencoba berdamai dengan keadaan, bersamaanlah aku hanya terus menyakiti diriku. Dengan memori yang menyesakkan. Kenapa luka dan segala kesakitan tak hilang saat kita mencoba memaafkan? Karena setiap kali kita mencoba memaafkan, kita akan semakin mengingat hal itu.

Umpamanya kau mencoba memaafkan teman yang merusak kotak pensil kesayanganmu. Dan saat itu pula kau hanya akan terus mengingat bagaimana kotak pensil kesayanganmu dirusak. Benar-benar paradox bagiku.

Aku menggelengkan kepala. Mencoba mengenyahkan pikiran yang selalu menganggu tidurku. Sekelebat memori lama yang selalu mengusik jika ada kesempatan. Apabila kenyataan adalah wallpaper, bayang-bayang masa lalu itu adalah screen saver yang datang tiba-tiba saat aku sedang melamun.

Perlahan aku berdiri dan berjalan ke dapur. Orang bilang, kandungan teh bisa membuat rileks. Namun bagiku sama saja. Tak ada obat untuk segala penyesalan ini. Jika ada yang menjual obat untuk seribu satu penyakit, maka penyakit yang kuderita adalah penyakit ke seribu dua.

Dering telepon menghentikanku yang sedang asik menikmati sarapan. Aku mengangkat telepon sambil melirik jam. Siapa kiranya orang yang akan menelepon pagi-pagi begini?

"Ah, halo?" tubuhku otomatis menegang mendengar suara familiar itu.

"Halo? Mel?" aku menutup mulut dan membuang muka.

"Ha-halo," ucapku setelah sedemikian lama terdiam.

"Untung kamu angkat Mel!" suara di seberang terdengar riang. Aku mengerjapkan mata menahan air mata yang mulai menggenang.

"Ada apa, kak?" tanyaku pelan. Sesaat keheningan menyelimuti. Aku hanya bisa dengar rintik hujan di luar rumah.

"Mel, kau tidak mau pulang?" suara Kak Ajeng terdengar hati-hati. Aku memejamkan mata, tak menjawab. Karena bahkan akulah yang paling ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu.

"Aku tidak pantas kak," jawabku tak jelas. Dadaku terasa sesak sekali.

"Mel, dengar kakak." Kak Ajeng terdengar serius. Aku diam menunggu kelanjutan kalimat kakak perempuanku itu.

"Apa yang kau dapat dari melarikan diri? Ketenangan? Tidak kan? Aku yakin selama lima tahun kau sibuk menyalahkan dirimu sendiri. Lalu depresi setiap mengingat masa lalu. Apa kakak salah?" Kak Ajeng mencercaku dengan hunjaman pertanyaan. Aku tetap diam, tak mengeluakan reaksi apapun.

"Mel, kenapa kau selalu melarikan diri dan membuat dirimu percaya bahwa semua baik-baik saja? Kenapa kau tidak mau mencoba mengatakan apa yang kau rasakan sebenarnya?" suara Kak Ajeng menembus pertahanan di dalam diriku.

'Ya, aku kesepian! Aku kesakitan! Memangnya kalian bisa apa?! Memaksaku memaafkan dan melupakan?! Lalu memuji bahwa aku anak pintar?!'

Oh, betapa inginnya aku berteriak demikian.

"Mel, air mata buaya mungkin akan menyakiti orang lain. Namun senyuman palsu hanya akan menyakiti dirimu sendiri," sambung Kak Ajeng. Dan tanpa diminta, air mataku mulai jatuh.

"Kau tau? Orangtua manapun akan memaafkan anaknya. Sebesar apapun kesalahannya. Dan sesakit apapun dirinya."

Sebuah kalimat sederhana, yang membuat dadaku mencelos. Di tengah rintik hujan, aku menangis sendirian.

***

Aku tak tahu apa yang harusnya kulakukan. Aku hanya berharap inilah yang terbaik. Berbekal tiket pesawat, aku kembali ke pelukan kampung halaman.

Aku melihat sebuah rumah kenangan, tempat aku pernah merajut kebahagiaan. Lama, aku berdiri mematung disana.

"Ben sudah meninggal," ucap Kak Ajeng datar. Aku menoleh pada kakakku tak percaya.

"Ba-bagaimana bisa?" bisikku parau.

"Menyesali dosanya mungkin. Dan kurasa kau beruntung tidak sampai sedepresi itu," balas Kak Ajeng penuh sarkasme. Aku diam membisu. Masih kuingat bagaimana sosok pria yang lebih tua lima tahun dariku itu. Saat aku masih remaja labil, yang dengan mudahnya terlena oleh fatamorgana sesaat. Aku memutuskan untuk menentang keluargaku. Aku mencari segala cara untuk memuaskan egoku.

Aku terlahir tanpa sentuhan kasih laki-laki dewasa yang bisa kusebut ayah atau mungkin kakak. Dan jiwa anak kecilku pun berlari mencari sosok pengganti. Saat itulah Kak Ben datang dan menawarkan kenyamanan. Dia bilang dia menyukaiku. Parasku menawan, aku cerdas, dan sederet pujian yang tak bosan ia lontarkan. Lalu bagaimana diriku ini bisa menolak?

Tak lazim, seorang anak berusia lima belas tahun bersanding dengan pria dua puluh tahun. Saat itu tentu begitu. Kecuali kami mau menunggu beberapa tahun lagi, sampai setidaknya terlihat sedikit layak. Disinilah, masalah mulai terjadi.

Aku menyakiti ibu. Sosok lembut yang memarahiku karena kasihnya. Dan saat aku memutuskan memilih Kak Ben, aku tak pernah mendengar kabar ibu lagi.

Kutegaskan bahwa saat bersama Kak Ben, aku bahagia. Tanpa kusadari, itu hanya mimpi. Hanya sekelebat fatamorgana tak nyata. Yang berakhir tak menyenangkan. Sebelum aku bisa mencerna semuanya, Kak Ben meninggalkanku. Seperti kata orang, aku hanya gadis remaja yang tak akan bisa bersanding dengan orang dewasa. Tentu di usiaku itu aku tak bisa dilihat sebagai wanita pendamping hidup.

Aku belajar untuk tidak melihat sesuatu dari satu arah saja. Coba lihat bagaimana sudut pandang orang lain. Terutama sudut orang yang harusnya kau hormati dan kau sayangi. Kalau kau tidak mau menyakiti mereka.

Setelah lulus SMA, pelarianku pun dimulai. Pergi merantau untuk bekerja demi diri sendiri. Kondisiku yang kacau sedemikian rupa kutangani. Hingga aku tak berakhir di panti sosial apalagi kolong jembatan. Aku bersyukur, setidaknya aku masih ingat Tuhan. Dan karena itu, aku bisa hidup sampai sekarang. Walau terus dihantui segala penyesalan. Aku rasa itu hukuman yang setimpal. Karena setidaknya, selama lima tahun sendirian, aku bisa mendapat pelajaran. Dan kini, bisa kembali demi menebus dosaku.

***

"Karena akhirnya aku tak bisa membuat dirimu bahagia hingga detik terakhir. Aku minta maaf"

Kak Ajeng merengkuh bahuku yang berguncang. Lama kupanjatkan doa setelah pengakuan yang terpendam di sudut hati terdalam.

"Ibu, susah kukatakan ini karena egoku. Tapi seperti dirimu menyayangiku, sebegitulah aku juga sayang padamu." Kuelus pelan nisan itu dengan penuh kasih sayang. Tak apa, walau aku tak bisa menyentuh raganya. Karena separuh jiwanya akan terus bersamaku. Melindungi dan terus menyayangiku. Setidaknya kini, penyesalanku berkurang. Dan benang kusut yang menjeratku, bisa mulai kuurai perlahan.

Pelarian
-Selesai-

========

Percayalah kesempatan tak akan datang dua kali. Kalaupun datang, kau pasti akan memiliki penyesalan di hatimu. Sekecil apapun penyesalan itu.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa komentar dan tekan tanda bintang

-Altair

Me and Mine (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang