Bukit Persembunyian - 1

39 12 0
                                    

Desingan peluru terdengar. Darah berceceran. Mayat bergelimpangan. Bau amis pun bercampur dengan bau bubuk mesiu. Teriakan penuh amarah terdengar. Kegelisahan merayapi seisi desa kecil kami.

Hanya itu yang selalu diceritakan ibu tentang hari kelahiranku.

Aku, si gadis desa yang menyukai ketenangan. Namun dalam hidupku, tidak ada seperti itu. Hidup dalam angan-angan semu tentang kemerdekaan. Terjebak dan perlahan merangkak melawan penjajah.

Kami adalah sekumpulan suku awalnya. Dengan hidup berdampingan dengan alam, kami membuat teritori kami sendiri. Semakin lama, sebuah suku terpencil berubah menjadi suatu kesatuan. Walau kami menyebut diri kami sendiri sebuah suku, teritori yang kami banggakan sangat luas. Dan kami pun hidup damai dengan kepuasan terhadap apa yang kami miliki. Kekayaan alam melimpah, dan rasa persatuan yang mengakar.

Namun dengarlah, di dunia ini baik dan buruk berjalan berdampingan. Saat kau hidup dengan baik, tentu akan ada semacam rasa iri mendekatimu.

Dan kehidupan tenang kami pun diganggu oleh para orang serakah. Mereka memaksa kami untuk menjadi bagian dari mereka. Parahnya, yang mereka inginkan bukan 'kami', melainkan kekayaan kami. Itu dimulai di hari kelahiranku. Tentu para tetua suku tidak menyukainya. Hari itulah, peperangan dimulai.

***

"Qory, segera selesaikan pekerjaanmu, lalu makan malam." Suara ibu terdengar dari balik pintu yang kututup. Aku menjawab seadanya dan kembali fokus pada benda panas dan tajam di hadapanku. Kalau tidak hati-hati, bisa saja aku terluka. Dan ayah akan memarahiku kalau itu terjadi. Bahkan aku bisa dilarang untuk memasuki bengkel lagi. Padahal, bagiku hanya ini yang bisa kulakukan.

Aku menyeka keringat yang jatuh melalui pelipis. Kemudian kutatap hasil karyaku dengan puas. Sebuah pedang yang ditempa dengan teliti. Memikirkan keringanan untuk diayunkan, namun cukup kuat untuk menebas musuh. Jo pasti sangat menyukainya. Aku melirik kertas pengingat yang kutempel. Pesanan senjata sudah kukerjakan tiga perempatnya. Aku bisa istirahat terlebih dahulu. Mengganti pakaian dengan terusan biasa, aku berjalan keluar dari bengkel.

Di atas meja sudah ada makan malam yang tampak lezat. Ibu memang sangat pandai memasak. Aku mencomot sepotong daging rusa yang ada di panci sup lalu menggigit ujungnya. Gurih dan sedikit rasa pedas menari di lidahku. Ibu menoleh lalu memukul tanganku pelan.

"Cuci tangan dulu, lalu duduk dan makan dengan benar!" seru ibu. Aku tersenyum jenaka lalu segera menuruti perintah ibu. Saat hendak menyendok nasi, ayah datang dan membuka pintu dengan pelan. Bisa kulihat garis wajahnya yang tampak lelah. Aku mendekat dan mengulurkan handuk.

"Ayah, aku sudah siapkan air hangat. Berendamlah sebentar lalu makan malam bersama kami," ucapku diiringi senyum. Sesungguhnya aku sangat penasaran dengan keadaan medan perang, namun kutahan sebisa mungkin. Tentu aku tidak tega pada ayah yang pasti banyak pikiran. Ayah lalu membalas senyumku. Beliau meletakkan tangan besarnya diatas kepalaku.

"Terima kasih, Qory." Dan dengan itu ayah pun berlalu. Kurasakan bahuku disentuh ibu. Aku menoleh.

"Stt.. Jangan terlalu dipikirkan," ucap ibu. Aku mengangguk dan membiarkan diriku ditarik ke meja makan.

***

Aku menyisir rambutku dengan gembira. Akhirnya pagi ini aku diberi izin untuk ikut menuruni bukit. Selama peperangan berlangsung, para perempuan dan anak kecil bersembunyi di atas bukit. Karena bagi para tetua suku, bukit itu aman dan dilindungi oleh para dewa. Sementara di kaki bukit, para laki-laki dewasa membangun tenda-tenda perang. Sesekali mereka pulang untuk menengok anggota keluarga di atas bukit, seperti ayah kemarin.

Me and Mine (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang