Aku tidak tahu, apa hal yang paling melelahkan dalam hidupku selama ini. Bisakah aku berkata bahwa berlari hampir dua kilometer itu benar-benar melelahkan? Ditambah jalanan menanjak dan beban pikiran. Oh, bagiku itu sangat melelahkan. Namun saat hendak menyerah aku teringat, bahwa ini tentang nyawa banyak orang. Dan disinilah aku. Berlari menaiki bukit dengab sesekali menoleh ke belakang. Semoga saja pihak musuh tidak berhasil menembus pertahanan terakhir kami. Yang di siapkan seadanya dari sisa pasukan yang tidak terluka.
Sampai di atas, segera aku membangunkan para penduduk. Meminta mereka tetap tenang namun waspada. Dengan nafas terengah-engah, aku menjelaskan situasi dengan sesingkat mungkin. Bisa kulihat raut mereka berubah drastis. Tak membuang waktu lagi, aku menyerahkan sisanya pada ibuku lalu berlari ke arah bengkel. Mencari pedang yang kutempa untuk Jo.
Dan lima belas menit berikutnya, secara ajaib aku bisa sampai ke kaki bukit. Situasi menjadi sedikit lebih baik dibandingkan saat aku menaiki bukit tadi. Dengan mengenakan seragam latihan bela diri, aku mencabut pedang dari sarung dan memasang kuda-kuda.
"Qory, menjauh dari sini!" bisa kudengar suara teriakan beradu dengan desingan pedang.
"Kembalilah ke atas dan berlindung disana!" aku menggertakkan gigi kesal.
Kenapa aku harus kembali ke atas? Padahal kondisi di bawah lebih memerlukan pertolongan. Tanpa menghiraukan teriakan menyebalkan itu, aku merengsak maju menghunus pedang.
Satu desingan, kepala terpenggal. Aku menendang, dan terkena sabetan. Saling menghunus tak mau kalah. Memperjuangkan kelompok masing-masing.
Pertempuran itu sampai dini hari. Dan saat suasana mulai remang, mayat bergeletakan di mana-mana. Walau kami berhasil menghalau musuh, banyak dari anggota kami yang meninggal. Lalu, kudengar suara teriakan Tuan Wagner.
"Tuan Qou tidak ada dimana-mana!"
Bulu kudukku meremang seketika. Lututku lemas dan badanku mendingin. Aku mendekati pria paruh baya itu dan mencengkeram lengan bajunya.
"Tu-tuan.. Ayah.. Ayahku.." suaraku terbata. Rasanya serak dan susah bernafas. Tuan Wagner menepuk pundakku.
"Sepertinya dia dibawa," ucap pria yang merupakan salah satu tetua selain ayah.
"Jo dan Fu juga tidak ada!"
Hendak lega karena masih ada kemungkinan ayah hidup, lututku kembali lemas mendengar kabar itu.
"Bagaimana jika ayah dan Jo dibunuh?!" aku kembali merengek pada Tuan Wagner. Beliau menghela nafas.
"Tenanglah Qory, kita akan lakukan yang terbaik. Dan apa kau tidak menanggap Fu? Dia temanmu juga kan." Tuan Wagner sempat-sempatnya tersenyum.
Dalam kondisi sadar tak sadar, aku mengikuti diskusi untuk menyerang markas musuh. Ah, jujur saja aku tak yakin ini akan berhasil. Kami tentu kalah jumlah, sebaik apapun strategi kami. Dan satu lagi, senjata. Pihak musuh merupakan kerajaan besar di barat sana. Mereka memiliki pasukan terlatih dan senjata yang mendukung. Mereka punya meriam, kemudian bom jebakan, dan yang paling kubenci adalah senapan.
Namun melihat semangat para anggota yang lain, aku merasa bodoh. Padahal seharusnya aku bersemangat dan tidak putus asa. Karena tidak ada gunanya merengek. Lebih baik aku maju dan mengambil segala resiko bersamaku.
Dengan semangat seperti itu, kami pun berangkat meninggalkan kaki bukit. Itulah pilihan yang mungkin paling kusesali dalam hidupku.
***
Pernah kubermimpi tentang kedamaian yang menyertai hidupku. Namun aku tak bisa mendapatkannya. Karena bagaimanapun juga itu tidak nyata. Itu hanya sebuah fatamorgana yang akan hilang saat diriku membuka mata. Segala warna yang indah hanya ada saat mataku tertutup.
Lalu sebuah pemikiran datang berseliweran. Seandainya tak bisa kudapat, bisakah aku meminta orang lain untuk melanjutkannya?
Di tanah gersang. Di tanah yang berlumur darah bergelimpang mayat. Dengan sabetan pedang serta desing peluru. Aku menurunkan mimpi itu. Pada anak dan cucuku.
Lanjutkan perjuanganku, dan raihlah kebebasan yang kuimpikan. Untuk anak cucuku yang akan lahir, dimasa mendatang, kuharap kalian bisa menikmati masa kecil yang nyaman. Kuharap kalian bisa menjadi manusia-manusia berakhlak mulia. Di tanah yang damai, tanpa peperangan.
Walau aku harus mati. Dengan puluhan peluru yang mengoyak. Walau ayah dan cintaku tak bisa kutemukan. Aku tetap berharap. Suatu saat kalian akan membawa udara segar di bumi yang pernah aku perjuangkan.
Didedikasikan untuk para pejuang wanita yang dengan berani menguhunus pedang ke medan perang. Maupun yang harus berkorban, menjadi mata-mata atau perempuan malam. Karena itu demi kami, anak cucu kalian yang bisa menghirup udara tanpa bau bubuk mesiu.
Bukit Persembunyian
-Selesai-=========
Yash, akhirnya dengan pergulatan batin saya buat cerita ini sesingkat mungkin. Entahlah, saya kurang untuk menuliskan suasana perang~ yang pasti saya akan menunda work ini sementara. Terima kasih untuk vote dan komennya.
-Altair
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Mine (on hold)
De TodoHanya sebuah kumpulan cerpen sederhana. Dengan membawakan tokoh utama seorang perempuan, seolah mewakilkan beberapa kisah perempuan dari beragam usia. Dimulai dari hangatnya kebersamaan keluarga sampai dinginnya tenda peperangan. Cerita ringan di ru...