Satu Arah

244 15 2
                                    

"Rapihnya kamar anak bunda..."

"Ngejek apa gimana nih."

"Lhoo beneran rapih ini. Jarang-jarang anak cowok kamarnya kayak gini, iya kan, Yah?"

"Iyaa, apalagi kalo dibandingin sama kamar kos ayah dulu pas masih bujang hahahaa"

Memang sudah menjadi kebiasaan Alif untuk selalu merapihkan kamarnya. Hari itu semua tersusun, bentuknya simetris, sprei kencang, selimut terlipat tanpa ada lekukan dipermukaannya, pakaian tertumpuk rapih dalam lemari, kemeja tergantung lurus, sepatu dan sandal terbaris di rak kecil dua tingkat samping pintu kamarnya, sepatu rak atas, sandal rak bawah. Benar-benar perfectionist. Walaupun ia lakukan hal itu karena ayah dan bundanya akan datang. Tapi pada dasarnya, Alif memang anak yang mencintai kerapihan.

Tibanya mereka siang itu langsung menuju kosan Alif. Sebelumnya, ia menunggu kedua orang tuanya itu di depan gang dekat jalan raya agar mereka tidak perlu mencari dimana letak kosannya. Tidak banyak bawaan yang mereka bawa. Masing-masing hanya membawa satu ransel. Ayah dan bundanya itu tidak mau kalah dengan anaknya yang masih berjiwa muda. Mereka pergi tanpa banyak persiapan. Hanya membawa pakaian untuk beberapa hari kedepan. Bahkan untuk menginap pun mereka tidak memesan hotel dimana-mana.

"Lah terus ayah sama bunda mau tidur dimana?"

"Yaa di kosan mu lah. Yaa kan, Yah? hehe"

"Kasur aku kecil gini untuk satu orang, terus sisanya mau tidur di lantai?"

"Gampang, nanti sore kita keliling sambil cari kasur cadangan. Jadi kan kalo ayah bunda mau main kesini lagi bisa tidur disini, hehee"

"Ehh nanti sore aku gak bisa, mau ngajar ngaji."

"Masya Allah anak ayah udah jadi ustadz sekarang."

"Yaelahh cuma ngajar ngaji Yah... Ini juga aku sambil belajar."

"Yauda nanti biar bunda sama ayah aja yang keliling sekalian cari kasurnya."

Alif meninggalkan ayah dan bundanya di kosan dan membiarkan mereka istirahat sejenak. Ia pergi menuju kampus karena panggilan dari dosennya membahas terkait beasiswanya nanti. Walaupun ujian semester telah selesai, hari itu suasana kampus tetap terlihat ramai seperti biasanya. Tak jarang banyak juga orang dari luar kota yang datang hanya untuk berfoto di depan kampus itu. Hanya Alif satu-satunya mahasiswa semester satu yang direkomendasikan dosennya untuk mendaftar beasiswa. Sebagian, mahasiswa yang datang ke kampus ialah mereka yang mengajukan perbaikan nilai di mata kuliah tertentu. Mungkin masih banyak mahasiswa lain seperti Alif dari fakultas dan jurusan lain yang menjadi rekomendasi. Yang jelas, ia tidak boleh tinggi hati hanya karena ia dipercaya oleh dosennya untuk beasiswa itu. Alif harus tetap berjuang untuk mendapatkannya.

Niatnya sudah bulat untuk mendapatkan beasiswa itu. Ayah dan bundanya juga sudah merestuinya. Tinggal bagaimana usaha dan ikhtiarnya. Ia kembali ke kosan selesai mengajar, dengan semangat yang masih membara terngiang dengan apa yang akan ia perjuangkan dalam waktu dekat ini. Ayah dan bundanya sudah berada dalam kamarnya. Terlihat sebuah kasur putih lebar yang menyender di dinding kamarnya itu.

"Sini nak makan bareng."

"Lohh ini gimana bawanya tadi?"

"Tadi ayah minta tolong orang tokonya nganter kesini, sekalian kita juga nebeng yaa bun tadi hehee"

"Yaa Allah..."

Alif membayangkan kedua orang tuanya itu duduk di belakang mobil pick up sambil memegang kasur yang mereka beli.

"Nak,"

"Kenapa bun?"

"Risa itu cantik yaa?"

"Lohh bunda kenal darimana?!"

Alif : Hafizh's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang