Mulai Terbiasa

285 15 0
                                    

Semester awal tak begitu berat bagi Alif. Ia hanya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Tapi kali ini berbeda. Sikap Alif berbeda 180 derajat dari biasanya seperti saat ia sekolah dulu. Ia lebih sering berdiam tanpa kata. Sikapnya menjadi serius fokus pada masa depan. Semua ia lakukan sendiri tanpa berkelompok dengan yang lainnya. Bukan berarti ia anti sosial. Teman-temannya tetap bisa berbicara dengannya. Tapi hanya sebatas bicara jika ada topik tertentu. Selebihnya tak ada pembicaraan lain jika tidak ada keperluan. Soal mata kuliah juga ia memahami sendiri tanpa tukar-pikiran dengan temannya yang lain. Benar-benar ia berusaha sendirian. Walaupun begitu, materi-materi dasar di semester awal ini ia lewati dengan mudah. Nilainya juga tergolong tertinggi di kelasnya. Kuliah semester awal ini bagai tak ada hambatan baginya.

Fokus belajar untuk masa depan, bukan berarti ia meninggalkan tugasnya sebagai pengajar ngaji anak-anak di lingkungan tempat tinggal kosnya. Hal itu tetap ia lakukan tanpa ada yang terlewat kecuali ada sesuatu hal yang membuatnya harus meninggalkannya. Ia juga mulai terbiasa dengan Balqis. Mereka sudah terbiasa untuk saling berbicara. Tapi Alif tetap tak bisa membuat hatinya tenang. Selalu berdebar saat bersama Balqis. Semenjak kejadian waktu itu, Balqis terlihat lebih mudah berbaur. Alif juga semakin sering mampir ke warung angkringan milik ibu kosnya hanya untuk sekedar mengobrol.

Fahri, kakak tingkat dari jurusan Sastra Jepang, yang satu kosan dengannya itu juga sudah mulai akrab dengan Alif. Tak jarang mereka sering keluar kos bersama. Mencari makan, pergi ke masjid, dan berangkat kuliah mereka sering bersama akhir-akhir ini. Beda dengan teman kosnya yang satunya. Ia masih juga belum bisa akrab dengan lelaki itu sejak awal bertemu. Berbicara satu katapun tidak. Sebenarnya Alif agak sedikit risih dengan tingkah itu. Apalagi kamar mereka saling besebrangan. Sampai pada akhirnya kak Fahri menjelaskan bahwa ia adalah seroang mahasisiwa yang baru pulang dari luar negeri setelah pertukaran mahasiswa. 

"Tapi emang orangnya gitu kak?"

"Yaa... gimana yaa... Aku juga jarang ngobrol sih sama dia. Paling dulu pas baru-barunya kami di kosan ini pernah ngobrol. Itupun singkat. Sekedar kenalan biasa. Selebihnya jarang komunikasi lancar. Terus pas semester empat dia berangkat keluar negeri karena pertukaran mahasiswa itu."

"Kalian satu angkatan?"

"Iyaa dia angkatan ku. Malah pas lagi masa orientasi kampus, dia satu kelompok dengan ku. Tapi yaa gitu, jarang aku liat dia ngomong."

"Terus kalo yang satunya lagi di kos kita? Katanya ada empat orang yang ngekos sekarang?"

"Ohh iyaa... Dia baru aja pindah kos pas abis libur semester kemarin. Jadi sekarang sisa kita bertiga di kos."

Setidaknya kini Alif ada kak Fahri yang bisa di ajak berkomunikasi di kosan itu.

Malam itu, setelah Isya, Alif dan kak Fahri pergi untuk mencari makan malam. Sebenarnya Alif ingin mampir ke angkringan milik ibu kosnya saja karena jaraknya yang dekat dengan kosan, tapi kak Fahri mengajaknya mencari makan di sekitaran jalan raya dekat kampus. Sampai pada akhirnya mereka tiba di sebuah rumah makan bertemakan prasmanan. Malam itu kak Fahri tak hanya sekedar ingin mencari makan, ia ingin mengenalkan Alif degan seseorang tanpa sepengetahuan Alif. Tak lama dari mereka mengambil makan, datang seorang pria dan diikuti seorang wanita berambut panjang terurai yang berjalan di belakangnya.

"Nahh Lif kenalin ini namanya Arsan, dia temen sekelasku."

"Oalahh ini jadi yang namanya Alif. Aku sering liat muka mu sih di kampus. Kenalin namaku Arsan."

"Iyaa kak, saya Alif."

"Kenalin ini pacar ku Risa."

Wanita itu mengulurkan tangan untuk berjabat sebagai tanda perkenalan. Tapi Alif menolak memberi isyarat untuk tidak ingin bersentuhan. Untungnya wanita itu memakluminya. Begitu juga dengan kak Arsan. Alif juga tak berani menatap matanya. Memang iya, sosok wanita yang ada di hadapannya itu memiliki wajah yang jelita dengan rambut panjang terurai. Alif mencoba untuk menjaga hatinya. 

Alif : Hafizh's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang