Prolog

7.2K 358 7
                                    

Wanita itu berjalan pelan menyusuri jalanan yang lumayan lenggang. Sebelah tangannya menggandeng tangan anak sulungnya yang baru akan berumur enam tahun. Sesekali ia melepaskan gandengannya untuk memperbaiki letak sebuah tas berukuran sedang berisi pakaian, yang juga sedang ia gendong di bahunya. Sedangkan tangannya yang lain menggendong anak bungsunya yang hanya berjarak satu tahun lebih dari si sulung.

Ia memandang sekilas langit yang hampir gelap, kemudian menoleh menatap anak sulungnya, sekilas sebuah senyum getir terbit diwajah lelahnya.

Ia mengusap pucuk kepala sang sulung dengan sayang. "Jennie laper ngga sayang? Kita duduk dulu deh ya," Ucapnya lalu menggiring sang anak menuju sebuah halte, kemudian duduk disana.

Tangannya bergerak melepas tas punggung kecil berisi sedikit makanan, yang sedari tadi digendong sang anak, kemudian membuka dan mengambil sebuah roti dan air mineral dari dalam sana.

"Makan ini dulu ngga papa yah sayang, nanti kalo kita udah dapet tempat tinggal baru, kita beli makanan yang Jennie mau," Ujarnya. Sang anak hanya mengangguk seadanya dengan senyuman kecil.

Tangannya bergerak pelan mengusap kepala si bungsu yang tertidur dalam gendongannya. Ia tersenyum, sedikit kelegaan muncul dari dalam hatinya. Bersyukur karena sang anak masih bisa makan, juga bersyukur karena diberikan anak-anak yang sangat bisa mengerti dirinya dan kondisi mereka walaupun diumurnya yang masih sangat belia itu.

"Capek yah sayang, sampe keringetan gini," Ia mengusap pelan dahi Jennie, sang anak hanya mengangguk polos.

"Bunda mau?" Tawar Jennie kecil.

"Buat Jennie aja, bunda kenyang," Ia tersenyum, melihat sang anak makan dengan lahap sudah cukup membuatnya kenyang.

Matanya mengedar, mencari tempat aman dan nyaman yang sekiranya bisa dijadikan tempat bermalam untuk ia dan kedua anaknya malam ini. Barulah esoknya ia akan mencari kontrakan murah yang bisa ia jadikan tempat tinggal untuk mereka yang baru saja diusir dari rumah mereka sendiri, karena tidak mampu membayar hutang.

Sepanjang matanya mengedar, pandangannya terhenti di ujung jalan, tak seberapa jauh dari tempatnya duduk. Ia melihat seorang wanita tua berdiri di pinggir jalan. Sedang menunggu jemputan, pikirnya. Bukan tanpa alasan ia berpikiran seperti itu, karena yang ia lihat wanita itu merupakan orang kalangan atas terlihat dari caranya berpakaian yang elegan namun sederhana.

Semakin lama matanya menatap, ia melihat kejanggalan saat matanya jatuh pada sosok berbaju hitam yang berdiri tak jauh dari wanita tua itu berdiri. Dari postur badannya sosok yang merupakan seorang laki-laki itu terlihat celingukan memperhatikan sekitarnya membuat ia turut memperhatikan sekitarnya. Sepi, kata pertama yang muncul dalam pikirannya.

Rasa janggal itu semakin besar kala melihat pandangan sosok berbaju hitam tadi jatuh pada sang wanita tua, yang kemudian sedikit demi sedikit ia dekati. Didukung oleh rasa janggal yang menimbulkan curiga itu, akhirnya ia menarik tangan Jennie untuk bersembunyi di balik tembok di belakang halte.

"Jennie jagain adek sebentar ya, sayang. Diem disini, sampai bunda balik lagi. Arasseo?" Ia menurunkan anak bungsunya, menempatkannya pada pangkuan sang kakak.

Jennie menatap bingung sang bunda, "Bunda mau kemana?"

"Sebentar aja, sayang," Ia mengusap pelan pucuk kepala Jennie dan si bungsu. Sedangkan Jennie hanya mengintip kepergian sang bunda.

Ia berjalan pelan nan hati-hati, mendekati wanita tua itu. Sosok berbaju hitam itu masih disana. Kedua orang itu tidak menyadari presensinya karena posisi keduanya yang membelakangi tempat ia berdiri. Matanya terbelalak saat sosok berbaju hitam itu mengeluarkan sebilah belati dari dalam jaketnya. Ia mulai mempercepat langkahnya saat melihat sosok berbaju hitam itu mendekati sang wanita tua. Langkahnya berubah menjadi berlari saat lelaki itu hendak menusuk wanita itu itu dari belakang.

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang