Sebagian lampu di dalam gedung telah padam, perusahaan telah sepi, semua karyawan telah kembali ke rumah masing-masing. Bahkan jam lembur pun sudah lewat. Ini sudah hampir jam 12 malam.
Seorang pria dengan setelan jas berwarna hitam, dan kacamata berframe silver menggantung di hidung mancungnya, rahangnya tegas, terlihat arogan namun sangat anggun. Kaki panjangnya melangkah keluar dari lift, sebuah amplop berwarna cokelat berada di tangannya. Jarinya mendorong kacamata ke belakang, ia melangkah di koridor yang sepi.
Ruangan lainnya telah gelap, lampu telah dipadamkan. Namun, ada satu ruangan yang masih menyala. Dan itu adalah ruangan Predir.
Pria berkacamata itu berdiri di depan ruangan Predir, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu yang tertutup.
"Masuk." sahut pria di dalam.
Pria berkacamata itu memutar knop pintu dan melangkah masuk, ia membungkuk sopan pada pria paruh baya yang sedang duduk di depan meja kerjanya, beliau terlihat sedang sibuk memeriksa dokumen-dokumen di hadapannya.
Berbalik badan, lalu menutup pintu kembali. Pria berkacamata itu berjalan ke depan meja kerja predir.
"Saya sudah mendapatkan semua informasi yang anda minta." ujar pria berkacamata tersebut, menyerahkan amplop di tangannya ke atas meja kerja presdir.
Pria paruh baya itu hanya melirik amplop di depannya, kemudian kembali sibuk dengan dokumen-dokumen di tangannya. Walaupun terlihat tenang, namun pria berkacamata itu mengerti dengan situasi yang sedang presdir-nya alami, ini sangat berat buat beliau. Siapapun jika ditempatkan di posisinya, pasti juga tak dapat memiliki memilih.
"Tuan, apakah anda benar-benar akan melakukannya?" tanya pria berkacamata itu dengan hati-hati.
Pria paruh baya itu mengangkat kepalanya, tersenyum simpul pada pria muda jangkung di depannya, kemudian beliau berkata,
"Sekretaris, Ahn... 30 tahun aku sudah menjadi seorang Ayah, dan sekarang aku ingin hidup sebagai pimpinan perusahaan.."Jeda untuk beberapa saat, kemudian beliau kembali melanjutkan.
"Apa aku harus terus tutup mata? Apa untuk hidup sebagai seorang ayah aku harus menjadi buta?"Pria berkacamata dengan marga Ahn tersebut tahu, yang paling terluka di sini adalah pria paruh baya di depannya. Sebagai seorang Ayah tentunya beliau akan menggunakan segala cara untuk melindungi putranya, tapi, apakah akan selalu seperti itu? Apa harus terus menutupi kebusukan putranya? Akan sampai kapan? Ini sudah pada batas kesabarannya.
"Pulanglah... Ini sudah larut." ucap beliau.
"Anda sebaiknya mengambil liburan ke luar negeri, atau istirahat di rumah untuk beberapa minggu. Dalam beberapa hari kedepan situasi di perusahaan akan menjadi kacau, pendemo akan memenuhi luar gedung." kata sekretaris Ahn. Ia terlihat cemas.
Pria paruh baya itu hanya tersenyum, lalu berkata,
"Apa kau sedang menyuruh pria tua ini untuk bersembunyi? Ini perusahaanku, aku akan tetap pergi bekerja seperti biasa..."Beliau hanya terkekeh, seperti tak ada beban.
"Aku suka ketika aku pergi bekerja.." lanjutnya.
"Saya pamit undur diri." pamit pria berkacamata itu seraya membukuk sopan.
"Anda juga harus segera pulang, Tuan. Ini sudah larut, tidak baik untuk kesehatan anda." ingatnya.
Pria paruh baya Itu mengangguk sembari berkata,
"Sopirku 10 menit lagi akan tiba disini."Pria berkacamata itu keluar dari ruangan, menutup pintu dengan pelan.
Amplop cokelat yang tadi dibawa oleh sekretaris Ahn masih tergletak di atas meja. Pria paruh baya itu tak mengambilnya, tak berniat untuk membukanya sekarang. Ia harus mempersiapkan diri jika ingin melihat kertas di dalam amplop tersebut, sebagai seorang Ayah itu akan melukai harga dirinya, melukai hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Bank [JICHEOL FANFICTION] ✔️
FanficJihoon mendekati Seungcheol demi uang. Ia berada di sisi pria itu hanya untuk uang, memberikan tubuhnya untuk uang, bersama dengannya hanya demi uang. Ia tak pernah menggunakan hatinya ketika di tempat tidur bersama pria itu, semua yang Jihoon lakuk...