Aku pulang. Tapi, kamu tidak datang. Lalu bagaimana aku berhenti merindu?
Hujan sore di Bulan Juni. Mari mendekat, buatkan secangkir kopi lalu dengarkan tentang kerinduan.
Kulangkahkan kaki dengan bersenandung, dihalangi batu? Tendang saja. Lanjutkan lagi, aku kembali melangkah mendapati genangan air? Lompat saja. Mudah sekali! Masih tetap melangkah, kudapati tembok, hancurkan saja. Kuat? Itu aku. Didepan ku ada bara api, tenang ada pengalas kaki. Injak saja! Tapi konsekuensi aku berjalan dengan kaki telanjang, jalani saja! Kuteropong dengan percaya diri, kulihat punggung yang kukejar sudah terlihat. Sedikit lagi! Aku akan berjalan bersisian denganmu. Matahari sedang panas-panasnya dan aku berjalan tanpa alas kaki? Tak apa! Aku berlari sekuat tenaga, berharap kamu sedang menanti. Seketika aku terdiam kaku, kamu sudah membangun tembok berduri. Harus dengan apa aku hancurkan ini? Aku tidak pergi, sedang memikirkan cara membawa mu pulang.
Tapi, kulihat kamu sedang bahagia dibalik tembok ini. Aku kembali bingung, bisa beritahu aku? Aku harus apa? Berjalan mundur perlahan atau menembus tembok berduri dengan mati-matian. Kutunggu jawabnya, bicaralah. Kau bisa datang kan?
Alasanku pulang, ternyata tak pernah datang. Aku menunggu, bertengkar dengan hati. Pilihan ku pada akhirnya yaitu mundur perlahan. Dan sekarang aku sedang merindu kepada yang tak datang.
Home, aku rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Menuju Malam
PoetryUpdate setiap hari /Insha Allah/ Selamat datang di dunia dengan gelap malam disertai terang bintang. Duduklah, nikmati kopinya, mari bercengkrama tentang kisah yang belum usai. Maaf, tak menjamin akhir bahagia walau sebenarnya aku berharap itu terja...