24

23.7K 1.4K 59
                                    

Selesai menghabiskan waktu dengan Davina di kedai kopi, ia kembali ke ruang kerjanya. Hari itu sangat hectic. Banyak laporan yang harus di-review-nya. Dia juga dijadwalkan rapat di dua tempat yang berbeda dan harus kembali ke kantor untuk mengerjakan tugasnya yang lain.

Dia duduk di ruangannya setelah melalui pekerjaan yang melelahkan. Diliriknya arloji Cartier-nya. Jam setengah sembilan malam. Dia membaca-baca laporan dari setiap kepala divisi perusahaan, lalu setelah dianalisisnya laporan, dia memutuskan untuk ke lantai di atasnya.

Lantai Ikram.

Tentu saja dia punya akses. ID card yang dimilikinya dapat membawanya ke lantai mana pun yang dia mau. Biasanya di depan ruang Ikram yang berlapis kaca itu terdapat dua orang satpam, tapi sejak Kayla bekerja di sana, tidak ada yang menjaga sama sekali. Orlado merasa kasihan sekaligus khawatir terhadap Kayla yang seorang diri di lantai yang besar ini.

Ketika lift terbuka, dia melihat Kayla sedang duduk di lantai. Di pangkuannya terdapat buku gambar. Kayla tidak melakukan apa-apa, dia terlihat sedang melamun.

Orlando berdeham.

"Kayla, ada yang ingin saya bicarakan."

Sekali pun Kayla tidak harus mengangkat mukanya untuk mengetahui siapa yang bicara. Dia tidak bergerak seakan ia tidak mendengar Orlando.

"Saya tahu berat bagimu untuk berada di sini, terlebih lagi melihat saya dengan Davina. Saya minta maaf."

Tanpa disangka Orlando ikut duduk di depannya. Kayla tetap menunduk. Penolakannya untuk bicara pada Orlando membuat laki-laki itu menghela napas panjang.

Kecewa.

"Kenapa kamu mau melakukannya, Kayla?" tanya Orlando pelan. "Kenapa kamu mau bekerja di tempat yang sama dengan saya? Apakah hidupmu memang sesusah itu sekarang? Atau memang kamu tidak punya perasaan lagi terhadap saya, karena itu kamu terima pekerjaan dari Ikram?"

"Aku tidak ingin membicarakannya." Kayla akhirnya mengangkat wajahnya untuk memandang Orlando. "Sewaktu dulu aku selalu menangis, mengharapkanmu untuk menghubungiku. Mengharapkan kamu membatalkan perceraian itu. Tapi sekarang semuanya sudah lewat."

Orlando menatapnya dengan miris ketika ia melihat sorotan mata Kayla yang sendu. Selain itu, mukanya yang pias pucat pasi membuat kekhawatiran Orlando.

"You're sick, Kayla."

"Aku sudah sakit, Orlando. Sejak enam tahun lalu."

"I am so sorry," bisik Orlando lembut. Ia menegakkan posisinya untuk memeluk Kayla, namun perempuan itu menggeleng. "I am so sorry, Kayla. Tapi aku punya penjelasan kenapa aku melakukannya."

"Penjelasan itu sudah tidak penting lagi," jawab Kayla. "Aku ingin kamu pergi dan jangan temui aku lagi."

Sejak Ikram meninggalkannya tadi, Kayla tidak tahu harus melakukan apa. Selain memang dia tahu tujuannya di sini bukan untuk bekerja, dia juga dilanda sakit kepala yang bertubi-tubi di kepalanya. Dia menyalahkan dirinya yang telat makan dan pulang malam. Dia memarahi dirinya yang tidak memperhatikan kesehatannya sendiri.

"Let me help you," sayup-sayup ia mendengar Orlando bicara begitu. Dirasakannya tubuhnya diangkat. "I'll take you to hospital."

"Put her down."

Orlando melihat Kayla yang sudah tidak sadar di dalam gendongannya, lalu menoleh pada Ikram yang berdiri di dekat pintu. Orlando menggeleng tegas.

"Dia sakit. Aku tidak bisa meninggalkannya."

"Put her down," kata Ikram lebih keras. "Dia adalah tanggung jawab saya. Dan seharusnya kamu tidak usil kemari segala."

"Terserah apa katamu. Saya akan tetap bawa dia."

"Kamu mau saya memberitahu Davina?"

"Dia pasti mengerti bahwa kekasihnya menolong orang yang sakit di kantor." Tanpa ditawar lagi Orlando membawa Kayla ke lift. Persetan dengan Ikram yang mengancamnya.

Karena kesakitan itu masih dirasakannya ketika ia melihat Kayla sakit.

EX-HUSBAND (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang