"Tal, gue di Jakarta nih. Gue main ke rumah lo ya?""Iya Gi, sini main aja."
Seulgi baru aja nelpon gue dan mengabari kalau dia di Jakarta dan pengen main ke rumah. Karena setelah nikah, Seulgi sama Mino tinggal di Bandung.
"Halo Srestha, ini tante bawain makanan buat Ta." Seulgi baru aja sampe di rumah gue dan langsung menghampiri Srestha dan ngasih Srestha oleh-oleh dari Bandung.
"Bilangnya apa sama tante Egi? Makasih."
Srestha nggak mempedulikan omongan gue karena udah sibuk membuka kotak kue yang dibawa sama Egi.
"Ada masalah lo?"
"Ih kok langsung nanya gitu?" Egi bersandar pada sofa sambil memperhatikan Srestha yang udah sibuk makan kue. "Gue stress asli, tal."
"Kenapa?"
"Gue kalo cerita jatohnya ngejelekin laki gue nggak ya? Tapi ini tuh bikin gue mikir banget. Lo tau nggak sih, timbangan gue sampe turun lima kilo." Egi memperlihatkan badannya yang emang sedikit kurusan, kecuali pipinya.
"Gimana-gimana? Lo cerita intinya aja, jangan sampe stres gitu Gi. Kalo nggak nyaman ya cerita aja."
Egi menghela napasnya pelan kemudian menatap gue. "Menikah tuh emang gini ya, tal?"
"Gini gimana?"
"Gue tuh udah hampir setaun kan nikah sama Mino. Dan emang banyak banget hal yang baru gue ketahui setelah menikah tentang Mino dan juga keluarganya."
"Maksudnya?"
"Kemarenan kakak ipar gue curhat. Dia statusnya sama kayak gue sebagai menantu juga. Dia nanyain kebiasaannya Mino tiap hari gimana?" Egi memulai ceritanya ke gue.
"Emang gimana?" Gue nggak paham maksud Egi apa.
"Jadi kakaknya Mino yang pertama tuh tipe laki-laki yang harus diladenin banget. Sampe perkara sepele kayak pulang kerja dia harus dibukain sepatu sama istrinya, makan harus diambilin bahkan ambil minum sekalipun. Ya pokoknya yang harus diladenin banget." Egi menegakkan badannya kemudian menatap gue lagi.
"Dan dia nanya ke gue apa Mino juga kayak gitu atau enggak. Dia udah sepuluh tahun lebih nikah tapi katanya sampe sekarang kadang suka kesel sama suaminya kalo terlalu minta diladenin."
"Mino juga gitu, Gi?"
"Mino nggak separah itu sih, tapi emang kalau makan harus gue ambilin dan gue tungguin. Nggak sampai gue harus ngambilin baju atau bukain sepatu gitu-gitu sih. Gue awalnya agak kaget pas awal nikah tuh. Karena gue nggak pernah kan. Pacaran juga dulu belum gitu." Egi bercerita sambil memainkan pipi Srestha yang lagi asyik ngunyah makanan. Udah potongan kedua yang dia makan.
"Orang tuanya Mino gitu juga ya, Gi?"
"Iya. Gue juga baru tau. Papanya Mino itu juga kayak gitu, tipe yang apa-apa harus diladenin. Ya sama lah kayak kakak Mino yang pertama." Gue mengangguk-angguk denger penjelasan Egi.
"Gue pernah baca sih Gi. Katanya pola asuh orangtua itu menentukan karakter anak ketika akhirnya dia punya pasangan nanti gimana."
"Maksudnya?"
"Ya jadi si anak ini kan ngeliat pola hubungan ayah sama ibunya dan kemungkinannya dia juga menerapkan hal yang sama ke pasangannya, kayak apa yang selama ini dia lihat dadi orangtuanya." Egi memperhatikan ucapan gue dan dia manggut-manggut ketika denger kalimat gue barusan.
"Walaupun nggak selalu sama ya, karena kan ada yang nama ya perkembangan kepribadian, penggemblengan karakter, atau mungkin juga dia dapet referensi hidup lain selain dari orang tuanya." Gue menambahkan apa yang pernah gue baca dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ad Astra Per Aspera
Storie d'amoreCerita sederhana kehidupan rumah tangga Kai dan Krystal *private for mature content