35 (b) : Keputusan (2)

158K 10.7K 468
                                    

👆You're the reason....

"Raya?" Edo mengusap matanya dan memaksakan diri untuk duduk.

"Raya, ada apa?" Edo menarik tangan Raya yang saat ini tengah menutupi seluruh wajahnya. Ia semakin khawatir saat melihat tubuh Raya gemetar. Isakan gadis itu terdengar semakin keras dari sebelumnya.

"Hiks!"

Edo melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Jam dua pagi. Ia kembali memperhatikan Raya yang masih berbaring sambil menangis, dengan kedua tangan menutupi seluruh wajahnya.

"Raya, berhentilah menangis." Edo menarik tangan Raya agar gadis itu duduk sejajar dengannya.

"Raya ...." Edo menajamkan suaranya, dan gadis itu berhasil menghentikan tangisannya. Raya mengusap matanya, dan terkejut saat mata gadis itu bertemu pandang dengan mata Edo.

"Edo?" Raya terkejut.

"Kenapa menangis?" tanya Edo tegas dengan kening terlipat-serius.

Raya melihat ke sekeliling tenda. Wajahnya saat ini berubah gelisah.

"Raya," Edo meraih dagu Raya dan membawanya kembali ke hadapannya, "aku sedang berbicara denganmu."

"Al ...ya ... Alya ada di mana?" Raya berusaha menyingkirkan tangan Edo yang saat ini menjepit dagunya.

"Alya ada di tenda kita. Aku memintanya untuk tidur di sana," ucap Edo dan kembali memegang dagu Raya agar gadis itu memandangnya. Edo tidak begitu suka ketika seseorang yang ia tengah ajak bicara mengalihkan pandangan darinya.

Edo melihat perubahan ekspresi Raya yang mulai berubah tenang, walaupun mata gadis itu masih saja tampak enggan untuk membalas tatapannya.

"Kenapa nangis?" Edo bertanya tegas, dan membuat Raya kembali tegang.

"Ehm ...." Raya menundukkan kepalanya sambil memainkan benda yang ada di sekitar jangkauannya. Dan kali ini, ponselnya menjadi objek pengalihan kegugupan Raya.

"Jangan coba cari alasan."

Raya mengangkat wajahnya yang sembab, lalu kembali menunduk saat matanya bertemu dengan mata milik Edo.

"Ehm ... cuma kangen sama Mamah."

"Bohong." Edo tahu saat ini Raya tengah berbohong kepadanya.

"Nggak! Aku nggak bohong!" Raya mengangkat dagunya ke atas, mencoba menantang Edo.

"Kejujuran dan keterbukaan merupakan elemen penting dalam membina sebuah hubungan." Edo berkata serius. "Kalau kamu nggak bisa jaga elemen itu, jangan mengharapkan apa pun dari hubungan ini, Raya."

Edo melihat perubahan drastis di wajah Raya, dan ia tidak cukup terkejut saat melihat tetesan kecil keluar dari mata Raya, yang segera gadis itu samarkan dengan mengusapnya.

Edo mengusap pipi Raya, lalu merubah posisi duduknya agar lebih dekat kepada Raya. "Aku juga manusia, Raya. Aku nggak bisa baca pikiran kamu, tapi setidaknya aku tahu kalau saat ini hati kamu sedang tidak tenang. Jadi yang kuinginkan sekarang adalah kamu bicara. Dengan begitu, aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan."

Edo melihat Raya tampak berpikir keras. "Tapi ... janji jangan marah ...."

"Oke."

"Ehm ... tapi aku bingung gimana jelasinnya ...." Raya memainkan ponselnya dengan kepala tertunduk.

Edo menarik napasnya dalam-dalam. Ia merasa seperti sedang menjalin hubungan dengan anak kecil. "Kamu nggak perlu menjelaskan semuanya. Cukup garis besarnya saja, dan itu sudah cukup untukku."

Untuk pertama kalinya .... Raya mencoba membalas tatapan Edo. Hanya dengan melihat wajah lelaki itu, ingatan tentang mimpi buruk tadi tiba-tiba terlintas kembali di kepalanya.

"Kita putus!"

"Aku tidak tahan lagi sama kamu."

Dan untuk pertama kalinya pula .... Raya merasa hampa.

"Kamu sangat terbuka ... memiliki banyak teman ... ceria ... optimis ... ehm ... mesum ...." Raya tersenyum kecil saat ia mengucapkan satu kata terakhir, dan Edo pun ikut tersenyum.

"Aku benci keramaian ... dan ...." Suara Raya tiba-tiba menghilang saat ia ingin melanjutkan kalimat terakhirnya. Raya tidak bisa mengatakannya.

Suasana menjadi hening. Edo yang biasanya selalu menyambut ucapan Raya, hanya diam. Untuk pertama kalinya, melihat keterdiaman Edo, Raya takut kehilangan laki-laki itu.

"Aku seorang introvert sejati ... dan aku merasa ..." Raya lagi-lagi tidak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. "Aku benar-benar bingung, Edo ...."

Raya menundukkan kepala, menyembunyikan sesuatu yang akan keluar dari sudut matanya. Ia tidak ingin Edo melihatnya cengeng seperti ini. Raya berusaha keras. Sungguh!

"Kamu salah, Raya." Edo akhirnya bersuara. "Ketika kita menjalin sebuah hubungan, tidak ada kata introvert ataupun ekstrovert. Yang ada hanya kita, rasa, dan percaya."

Edo menarik napasnya dalam-dalam, dan mengambil jeda sejenak. Matanya menatap Raya lekat.

"Dan ketika aku menjalin hubungan sama kamu, aku tidak akan memikirkan hal lain, selain kita berdua. Terserah orang lain akan mengatakan aku egois, tidak tahu aturan, tapi inilah aku, dan aku harap kamu akan mempercayaiku. Menerimaku."

Edo mengulurkan tangannya kepada Raya. "Hanya itu."

RELATIONSHIP GOALS (1) | 17+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang