Part 1

203 10 1
                                    

Lamaran

#Rara

Aku terpaku menatap dia yang sekarang di depan ku. Kenapa? Seharusnya aku senang, tapi aku tak mampu tersenyum saat melihat matanya. Mata itu seakan menyuruh ku untuk mengatakan tidak. Tapi...

#Dhani

Akhirnya aku mengatakan tujuan ku mengajaknya berjumpa

"Ra, aku ingin melamarmu, apakah aku boleh?" aku menyatakan pertanyaan kepada perempuan baik ini, yang juga teman masa kecil ku. Dia terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum, senyum yang sangat lebar tapi manis, lalu menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Hhhh aku menghembuskan nafas dan menarik kedua ujung bibir ku berusaha menunjukkan senyum yang tulus.

#Rara

"La... lala..." aku langsung berteriak ketika lala mengangkat telpon ku

"Ya Allah Ra... Assalamualaikum" jawab Lala kesal kepada ku

"Hehe iya La, Waalaikumussalam"

"Ha, apa? Kamu mau cerita apa sampai bikin telinga aku sakit?"

"Hehe La... kamu tau gak? Aku barusan dilamar La"

"Haaaaa? Mu serius say? Siapa yang mau ngelamar kamu Ra, duh ntar kamu mimpi lagi Ra"

"Is is is jahat banget sih La..." aku cemberut walau pun sadar Lala gak akan bisa lihat

"Hahaha... kidding doang Ra. Ia ia siapa yang ngelamar kamu? Hmmm tapi kayaknya aku tau deh Ra kalau dengar betapa cerianya suara mu" aku tersenyum namun segera ingat hal yang ingin aku ceritakan pada Lala.

"La, aku senang dia ngelamar aku, tapi kayaknya ada yang ganjal La dari expresi dia" aku kembali teringat bagaimana mata Dhani saat melamar ku.

"Maksud kamu Ra?"

"Matanya nggak senang La, aku ngerasa dia gak tulus aja waktu ngelamar aku La" aku mulai merasa ragu tentang keputusan yang telah aku buat

"Ra gak boleh ngomong gitu. Kan dhani juga tau agama, pasti dia juga tau kalau pernikahan itu gak main-main. Kamu yang optimis aja ya, lagian kan kamu yang terima"

lala juga ada benarnya, kan aku yang terima. Kenapa aku gak mau bilang tidak padahal aku melihat keraguan di matanya, batin ku

"Hhhhh oke deh La, mungkin waktu itu dia takut aku nolak kali ya..." aku berusaha optimis.

"kalau gitu udahan dulu ya la aku mau sholat dulu" aku menyudahi percakapan ku dengan Lala kemudian bergegas untuk solat asar.

Seusai solat aku kembali memikirkan keputusan ku, kenapa aku berani menerima kalau aku takut akan keraguan matanya? Ya, aku hanya tidak mau lagi kehilangan orang yang aku sayang makanya aku terima. Mungkin nanti aku bisa menanyakannya setelah menikah, pikirku kemudian.

Aku pun lalu mengabarkan pada ibuku kabar ini, yang diterima dengan senang olehnya. Mengingat umurnya yang semakin beranjak tua, tentu ini kabar yang menyenangkan ibuku. Aku hanya menunggu telpon dari Dhani kapan dia akan melamarku secara resmi ke rumah.

#Dhani

Aku melipat sajadah dan meletakkannya di atas meja dan mengambil hpku menghubungi ibu. Saat nada sambung berbunyi aku berharap agar waktu bisa berhenti sejenak agar aku tak perlu mendengar reaksinya untuk hal yang akan aku sampaikan ini

"Halo Assalamualaikum..."

"Wa'alaikum salam, Dhani... ada apa nak? Kok tumben kamu nelpon ibu sore-sore begini"

"Oh gak bu, itu... dhani mau ngasi tau aja kalau Dhani udah ngelamar Rara bu" aku akhirnya menyampaikan kabar itu pada Ibu

"Oalaaah ya bagus kalau gitu, gimana? Rara terima apa ndak?" Ibu bertanya dengan antusias

"Alhamdulillah Ibu, Rara terima kok bu..."

"Alhamdulillaaaah nak, ibu senang banget akhirnya kamu nikah juga. Sama anak baik dan sholehah seperti Rara, Ibu jadi lega deh" aku mendengar Ibu berkata dengan senangnya

"Iya makanya Ibu nggak usah terlalu khawatir lagi sama aku ya bu... Ibu fokus sama kesembuhan Ibu aja, jangan mikirin yang lain dulu" aku mengingatkan ibu tentang kesehatannya.

"Iya sayang, ibu bakalan cepat sembuh kalau kamu nikah, hahahaha" ibu menjawab dengan tertawa. Aku mengakhiri percakapan dengan ibu dan tepat sebuah pesan masuk, ku lihat itu dari Rara.

"Assalamualaikum Dhani, ini aku Rara. Mengenai yang semalam aku sudah meminta persetujuan ibu, dia tanya kapan kamu mau melamar secara resmi? Maaf sebelumnya kalau aku ndak minta pendapatmu dulu soalnya aku call kamu lagi sibuk kayaknya, maaf ya"

Rara tetap dengan kebiasaannya selalu meminta maaf bahkan disaat dia tidak bersalah. Aku semakin merasa bersalah karna telah melamarnya tanpa cinta di hatiku, namun mungkin ini lah rencana terbaik dari Allah.

"Waalaikum salam ra, tidak apa-apa. Kalau nanti sudah tau tanggal tepatnya aku call kamu kok, jadi bilang ke ibu maaf ya, aku belum bisa sekarang. Tapi Insya Allah tidak akan lama Ra."

Aku membalas pesannya dengan bismillah berharap inilah pilihan terbaikku. Tak lama balasan dari Rara masuk.

"Oh iya Dhan gak apa-apa kok, makasih. Ntar aku sampaikan ke Ibu." S

etelah membaca pesannya aku memutuskan untuk memikirkan tanggal aku melamar ke rumahnya setelah konsultasikan ke Ayahku. Aku meletakkan hp dan berdiri, waktu maghrib sudah masuk. Sebaiknya aku Sholat dulu dan meminta petunjuk Nya. Bismillah...

#Rara

"Nduuk, kamu kok melamun. Ngelamunin apa sih? Nih ngelamunnya sambil makan pisang goreng aja" ibu mengagetkan ku, dia duduk di sampingku sambil meletakkan sepiring pisang goreng dan dua cangkir teh. Aku tersenyum dan menatapnya.

"Aduuh kamu ini ditanyain kok malah natapin ibuknya sih, iya iya ibu tau kalau ibu ini memang cantik, hehehe"

"Hahaha, ibu ada ada saja. Nggak kok bu, aku cuma mikir gimana caranya supaya aku bisa jadi istri yang baik seperti ibu." aku menjawab pertanyaan ibu sambil mencomot pisang gorengnya.

"Lah kamu ini, jangan jadi istri kayak ibumu ini, tapi jadilah istri yang lebih baik daripada ibu Ra." Ibu menatapku lalu menggenggam tanganku erat

"Ibu yakin Ayahmu akan bahagia sekali jika dia di sini sekarang nak" ku lihat mata Ibu berkaca-kaca, aku menatap matanya ikut sedih mendengarnya namun tetap ku paksa tersenyum

"Ibu, meskipun Ayah tak di sini pun Ayah sudah bahagia. Ibu sendiri yang bilang dia pergi karna tugasnya sudah selesai, tak lagi memiliki beban, ibu..."

Aku mempererat genggaman tanganku. Ibu tersenyum dan memelukku, berusaha menyembunyikan airmatanya yang mulai menetes. Aku berfikir bahwa tindakanku sudah tepat dengan menerima lamaran Dhani, teman masa kecilku yang diam-diam ku sukai sejak lama.

Setidaknya, aku memberikan kebahagiaan dalam hidup Ibuku yang sejak kepergian Ayah beliau sering terlihat sedih. Percakapanku sore itu bersama Ibu berakhir dengan candaan Ibu tentang kehidupan rumah tangga yang akan aku masuki nanti.

The Real Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang