Dengan memanfaatkan sebilah bambu yang berukuran cukup panjang, natha memutar haluan rakit yang kami naiki, dan mencoba memanfaatkan arus sungai yang cukup deras untuk mencapai seberang.Aku yang tidak dapat berenang, menggenggam erat tangan pemuda terluka yang juga ikut duduk disampingku. Sambil memejamkan mata aku terus berdoa, Takut jika sewaktu waktu arus sungai itu membuat rakit yang kami naiki terbalik.
“Maafkan adik saya kang. Dia emang agak genit.” Ucap natha pada pemuda terluka itu dengan seringai seperti biasanya.
Tersadar akan kata-kata natha, akupun melepas genggaman tanganku pada pemuda terluka itu. dan pemuda itu langsung memberikan seulas senyum yang terlihat sedikit kaku. Entahlah mungkin dia sedang menahan rasa sakit. Pikirku melihat wajah pemuda terluka itu yang terlihat sedikit memerah.
“Oh jadi neng ini teh adiknya akang?” Tanya pemuda terluka itu padaku, menanggapi pernyataan karangan natha.
Aku hanya mengangguk, menjawab pertanyaan pemuda terluka itu. dan langsung mendelik pada natha dengan tatapan tak suka.
“Iya kang, maaf tapi dia dari kecil gak bisa ngomong. Jadi suka dibilang jutek ” Balas natha yang langsung membuat wajah pemuda terluka itu menjadi sedikit merasa bersalah.
Segala macam sumpah serapahpun aku ucapkan pada natha melalui telepati yang entah sejak kapan bisa kugunakan ini. sesekali kulihat sudut bibir natha yang terangkat. Yang sudah dapat kupastikan itu adalah senyum mengejek darinya. Meskipun natha selalu mamasang wajah fokus ke sungai, seolah tidak mendengar cacian yang aku lontarkan padanya.
Kutarik nafas dalam-dalam. Menetralkan emosi yang bergejolak dalam tubuhku ini. mengambil kesimpulan positif dari ucapan natha yang setidaknya membantuku membuat alibi mengapa aku tidak bisa berbicara pada orang-orang disini.
*****
Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai di seberang, walaupun Nampak seperti hutan namun kata laki-laki itu disini ada sebuah desa.Dengan alasan merasa tidak enak dan sangat menghargai bantuan kami. Saat ini laki-laki itu memilih untuk berjalan sendiri dengan bantuan sepotong ranting pohon yang dijadikan sebagai tongkat.
Dengan langkah pelan dan terseok. dia berjalan didepan kami untuk menunjukan arah jalan menuju desa itu. setelah beberapa menit akhirnya kami sampai di depan tugu masuk desa yang disebutkan oleh orang itu.
Suasana sunyi terasa sangat kental disini. meskipun waktu kira-kira baru menunjukkan pukul 5 sore. Namun, sudah tidak ada aktifitas dari warga yang terlihat. Meski ada beberapa rumah yang terlihat. Dengan jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. tapi sepanjang jalan kami melewati tempat ini. kami tidak berjumpa dengan satupun warga yang keluar dari rumahnya.
Kamipun sampai di ujung jalan desa. Dengan sebuah rumah yang aku tebak merupakan rumah terakhir. Karena setelahnya hanya terdapat kebun jati yang membentang dan mulai terlihat gelap.
Laki-laki itu berhenti di halaman rumah itu. dia berbalik dan memberitahu kami bahwa kami sudah sampai di rumah kenalannya. Dengan semangat kami mengikuti langkahnya menuju rumah itu.
Pemuda terluka itu pun mengucapkan salam dan memanggil nama pemilik rumah. Yang kemudian terdengar samar-samar suara wanita menjawab dari dalam rumah itu.tak menunggu lama, sosok perempuan tua muncul dari balik pintu rumah itu. ia memandang kami sebelum kembali fokus memperhatikan pemuda terluka itu dan mempersilahkan kami semua untuk masuk.
Kuperhatikan setiap sudut ruangan rumah ini. rumah sederhana berdindingkan anyaman yang terlihat rapi, dan bertopangkan beberapa buah bambu yang berukuran cukup besar, serta atap dari tumbuhan yang dirangkai sedemikan rupa.
Lantai rumah yang terbuat dari tanah padat menciptakan sensasi dingin saat kulit kaki kami menyentuh tanah padat itu. Namun, sama sekali tidak menampakkan kesan kumuh. Sebaliknya aroma alami yang menguar dari lantai tanah ini dapat membuatku sedikit merasa rileks.Kulihat di beberapa bagian rumah ini terdapat beberapa potongan bambu, yang Nampak seperti yang berada di bagian luar rumah tadi.
Beberapa potongan bambu yang disumpal oleh sedikit kain disetiap ujung bambu yang kemudian dilumuri oleh sedikit minyak, serta disulut oleh api. Meski tidak terlalu terang cahaya dari benda itu cukup untuk pencahayaan di rumah ini.
*****
Kulihat nenek yang bernama Ningsih berjalan menuju sudut ruangan rumah ini. dengan gerakkan yang kurasa cukup cepat untuk wanita seusianya.Beliau kembali kearah kami dengan membawa benda yang tergulung itu dan menjadikan Anyaman kecil dari benda berwana kecoklatan itu kini menjadi alas untuk kami duduk.
dalam posisi duduk bersimpuh, nek ningsih mengoleskan beberapa ramuan yang telah diambilnya. Ramuan berbau menyengat itu dioleskan diatas luka Ujang (pemuda terluka itu). sesekali kulihat ujang yang bergeser dari tempat duduknya akibat olesan ramuan nek ningsih. Setelah selesai mengobati luka ujang, nek ningsih menyuruh kami semua untuk beristirahat.
Ujang dan natha memilih untuk beristirahat dan tidur di kursi kayu yang berada luar rumah karena alasan kesopanan.
Selain karena nek ningsih tinggal sendirian di rumah ini, rumah ini terbilang cukup kecil dengan ruangan yang terbatas. Rumah nek ningsih hanya terbagi atas dua ruangan. Ruangan utama dan dapur.
Ruangan utama adalah tempat dimana tadi nek ningsih mengobati ujang . Ruangan utama inilah yang dijadikan nek ningsih untuk ruang tamu sekaligus tempat tidurnya disaat malam hari.Dan dapur yang terletak di balik ruangan utama ini yang hanya dibatasi dengan anyaman bambu.
Suara dari nek ningsih yang tiba-tiba memanggilku, membuatku menghentikan aktifitas mengamati rumah ini dan langsung menoleh kearah sumber suara. Kulihat nek ningsih yang kini sedang tersenyum kearahku.
“sini nak. Nenek mau kasih kamu sesuatu.” Ucap nek ningsih sambil membuka lemari kayu miliknya yang berukuran kecil.
Aku hanya mengangguk dan berjalan kearah nek ningsih.
“coba ini nak, muat atau tidak di badan kamu?” ucap nek ningsih sambil menyodorkan satu buah pakaian kepadaku.
Ya. Pakaian yang dimasaku sudah jarang sekali orang yang mengenakannya. Sebuah kebaya berwarna putih yang warnanya sudah sedikit kusam. namun, masih terlihat layak untuk dikenakan.
Saat aku menerima kebaya itu. seketika aku baru menyadari bahwa pakaian yang aku kenakan ini mungkin terlihat tidak normal pada jaman ini. sontak aku langsung mengutuki kebodohan dan lambannya otak dalam berpikir ini.
Namun alih-alih merasa aneh, nek ningsih hanya tersenyum. Melihat ekspresiku yang kini terlihat gusar.“kamu gak perlu khawatir. Nenek udah tau kamu ini bukan berasal dari jaman ini. Dan nenek gak mau maksa kamu buat jelasin apa tujuan kamu datang kesini.” Ucap nek ningsih yang langsung membuatku terkejut.
“maaf atas kelancangan saya nek.” Batinku, sambil menunjukkan wajah merasa bersalah.
“iya tidak apa-apa nak. Nenek sama sekali gak marah. Nenek justru merasa senang ada orang yang mau bertamu di rumah nenek ini.” jawab nek ningsih yang membuatku tak kalah kaget. Karena kini dia menggunakan telepati untuk berbicara denganku.“nenek juga bisa telepati?!” tanyaku, yang hanya dibalas senyuman oleh nek ningsih
“iya, nak. Apa kamu mau dengar cerita tentang reipring?.” Jawab nek ningsih sambil mengelus puncak kepalaku.
Bersambung….
Yak mulai dari chap ini twinity udah mulai bahas reipring. Untuk lebih jelasnya apa itu reipring, tunggu chap selanjutnya ya hehehe
Sekali lagi twinity ucapkan terimakasih untuk yg masih setia baca cerita gaje ini :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reipring
ФэнтезиManusia, Hewan, dan Tumbuhan. Tiga makhluk yang hidup di bumi ini dan dikatakan memiliki nyawa. Entah hanya kebetulan atau takdir yang menjeratku dalam semua ini. Tugas RPL (Riset Penelitian Lapangan ) semacam tugas akhir seperti untuk menulis skrip...