Chapter 14

15 0 0
                                    

Adegan air mancur yang tak perlu aku jelaskan detailnya itu, kini menjadi salah satu ingatan jangka panjang yang akan menghuni sebuah ruang penyimpanan di otakku yang sudah cukup sempit ini. Natha, yang entah sejak kapan mengetahui keinginanku untuk berteriak, memilih membekap mulutku alih-alih menutup mataku yang membelalak dan terus merekam peristiwa itu.
Eksistensi air mancur didepanku seolah kalah pamor, hanya berbekal satu kalimat “akan kucoba” Natha membuat aku dan Ujang langsung mengalihkan pandangan kami ke satu objek. Yaitu, sang pencetus kata barusan.

Natha yang merasakan aura kebingungan yang terpancar dari wajahku serta Ujang hanya memerintahkan kami untuk menutup mata kami. suara gumaman yang tak kumengerti artinya membangkitkan rasa penasaran yang kumiliki. Didorong rasa ingin tahu, aku mencoba untuk mengintip sedikit untuk mendapatkan informasi. Namun, kata-kata yang dilontarkan Natha pada kami membuatku mengurungkan niatku dan merapatkan kembali kedua mataku.

***

Semilir angin terasa saat Natha menggandeng tanganku dan Ujang. Suara derit batang bambu yang saling bergesek terdengar, saat perintah Natha untuk berjalan diucapkannya. Baru satu langkah kami berjalan, suasana mendadak menjadi hening. Suara ocehan tiga tentara tadi menghilang, pun dengan derit bambu dan dedaunan yang sebelumnya sempat kudengar.  Visi yang tadinya terlihat gelap karena memejamkan mata, entah mengapa menampakkan cahaya kecil berwarna hijau yang saling berterbangan dan akhirnya berkumpul menjadi satu cahaya yang cukup terang.
Aku meraba mataku, memastikan bahwa aku masih tetap terpejam. Kelegaan membebaskan sedikit nafasku yang sempat tercekat akibat mengira bahwa aku telah melanggar perintah yang disebutkan Natha tadi dan berakhir tersesat di alam antah brantah. Namun, masih ada setengah nafasku yang belum bebas akibat pemandangan yang aku lihat saat ini.
Entah ilusi atau hanya imajinasiku saja, aku melihat seorang pemuda yang kini sedang berjalan memunggungiku. Otakku terus mengolah informasi dari pengelihatan semu yang kudapat ini. aku mengamati dengan seksama sosok pemuda itu.

 
Pemuda yang hanya menggunakan rompi bercorak batang bambu sebagai atasan pakaiannya, serta kain  dengan motif daun bambu  yang melilit celana tanggung yang dikenakannya beserta aksesoris aneh yang terlihat seperti batang bambu yang dipotong menyerupai gelang yang dikenakan di kedua lengannya.
Belum sempat aku melihat wajah sosok itu, pandanganku tiba-tiba memburam saat sosok itu berbalik kearahku. Keadaan yang tadinya dipenuhi cahaya hijau, kini kembali menggelap. Aku langsung membuka kembali mataku saat ada tepukkan yang terasa dibahuku disertai perintah Natha untuk membuka mataku dan juga Ujang.

Aku dan Ujang hanya dapat melongo saat kami dapati kami telah berada di tempat yang tak asing lagi bagi kami berdua. Rumah nek Ningsih, Nenek dengan senyum berwibawa serta tutur katanya yang terdengar begitu lembut itu, kini tengah memandangi kami. Ujang yang loadingnya lebih cepat dibanding aku, langsung terlihat panik dan berjalan cepat kearah nek Ningsih.
Dia memberitahu kepada nek Ningsih untuk segera bersembunyi karena tak jauh dari sini terdapat tiga tentara jepang yang kemungkinan akan sampai di sini. Namun, alih-alih wajah panik, Senyum menyejukkan justru terpantri di wajah tua itu. mataku hanya bisa membelalak tanpa berkedip saat cahaya kuning terlihat keluar dari telapak tangan nek Ningsih yang diikuti limbungnya tubuh Ujang.

Syok, takut, ngeri, bingung atau apalah itu. kini bersatu padu dalam pikiranku, menciptakan sebuah alarm tak terlihat yang berdering kencang di otakku. Memacu instingku untuk segera pergi menjauihi apapun itu yang tak masuk diakal. Namun, raga sialan ini tampaknya menghianati dengan membuat kakiku seolah menjadi jelly yang meleleh akibat kepanasan.
Tepukan pada bahuku membuatku kembali sadar bahwa aku tidak sedang sendiri.

Natha dengan wajah kelewat santainya mendekatiku sambil berkata tak perlu khawatir. Telepati kembali terdengar dikepalaku. Bukan suara natha melainkan nek ningsih yang kini tengah bertelepati denganku. Dia meminta maaf karena telah membuatku terkejut. Dan yang dia lakukan pada ujang hanya sebatas memanipulasi ingatannya saja.

Aku dan penyakit pikunku yang akut, selalu saja membuatku malu di setiap kajadiannya. Padahal jelas-jelas malam itu nek ningsih sudah memberitahuku bahwa dia adalah seorang reipring yang notabennya dapat menggunakan kekuatan tertentu untuk kepentingan yang dirasa perlu dilakukannya. Namun, aku justru berpikiran aneh-aneh tentang beliau yang kuanggap sedang menyerap energi atau membunuh ujang. ya sepertinya aku memang tidak salah mengambil jurusan di kampus itu.

***

Laksana air yang direbus, otakku serasa mendidih, menguap, dan pada akhirnya membakar panci wadah merebus air tersebut. Cerita yang didongengkan oleh nek ningsih hanya beberapa part yang masih tersimpan pada otakku yang tengah terjadi kebakaran internal itu. beliau tersenyum sebelum memulai cerita. Matanya seolah bersinar saat dia mengatakan impian masa kecilnya adalah menjadi tabib sakti seperti kakeknya.

Berawal saat dia melihat kakeknya yang dapat menyembuhkan luka sabetan parang yang dapat sembuh dalam kurun waktu tiga hari hanya berbekal ramuan yang selalu disimpannya dalam wadah bambu yang ujungnya ditutupi oleh kain putih.
Gadis kecil itupun langsung menetapkan tujuannya untuk menjadi tabib seperti kakeknya.

Namun, cita-cita itu sedikit luntur saat ibunya mengatakan bahwa menjadi tabib akan membuatnya tak punya waktu untuk keluarga. Dimana kakeknya pun hanya pulang dan bertemu keluarganya dua kali dalam setahun. Dan setelah istrinya meninggal kakeknya hanya pulang setahun sekali. Di kesempatan setahun sekali itu nek ningsih selalu mengikuti kakeknya dan belajar sedikit mengenai dasar-dasar pengobatan. Seiring berjalannya waktu nek ningsih mersakan kepuasan tersendiri saat membantu orang sakit dan bertekat untuk menjadi tabib yang lebih handal. Hingga pada akhirnya dia mengetahui fakta bahwa kakeknya adalah seorang reipring.

Kesaktian dalam pengobatannya juga adalah salah satu kekuatan yang dimiliki kakeknya saat menjadi reipring, pun dengan alasannya hanya dapat pulang ke rumah dua kali dalam setahun merupakan konsekuensi menjadi seorang reipring. Seorang reipring akan tertambat pada satu tempat dalam kurun waktu tertentu dan dia akan tetap abadi sampai ada yang mau menggantikannya menjadi reipring. Itupun dengan syarat yang menggantikan hanya keturunannya, bukan orang lain. Meski begitu nek ningsih bilang pernah mendengar satu kasus khusus.

Nek ningsih menghentikan ceritanya sejenak. Beliau tersenyum sebelum menanyakan sesuatu padaku. Katanya apa aku tahu kebanyakan orang yang melihat reipring menyebutnya apa? Aku menggeleng tanda tak tahu. Beliau terkikik sebelum mengatakan kebanyakan masyarakat yang melihat kami menyebutnya sebagai arwah penunggu. Karena tidak sembarang orang yang dapat melihat kami. hanya keturunan kami dan orang-orang dengan indra yang sedikit lebih tajam.

Namun, tidak sedikit orang-orang dengan kelebihan indra itu bersikap bijak. Beberapa dari mereka justru menakut-nakuti sesamanya dengan rumor yang tak terbukti kebenarannya. Meskipun tak sepenuhnya salah mereka, karena hanya sedikit yang dapat berkomunikasi dengan reipring.

cerita nek ningsih berakhir saat dia menyadari bola mata ujang terlihat bergerak  tanda kesadarannya mulai kembali.

Holla......
Akhirnya twinity bisa up chap
Ini. Ada yg udah nebak kelanjutan cerita di chap sebelumnya? Yg nebak mereka membelalak karna air mancur saya kasih 100.

Chap ini mungkin emang gaje tapi di wih twinity kasih gambaran dikit tentang apa itu reipring.

Akhir kata twinity ucapkan happy reading dan terimakasih :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReipringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang