Promise
"Ada yang seperti tidak ada..."
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Author POV
"Aaron..."
Sia hanya berdiri di ambang pintu sambil menatap putra bungsu nya yang sedang duduk di tepi jendela. Blue Moon Pack saat ini tengah dalam keadaan berduka. Suasana di packhouse mereka juga tidak lebih baik. Bahkan meskipun kesedihan seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya, Sia sama sekali tidak menyangka bahwa hal ini bisa menimpa putra nya sendiri itupun pada waktu yang sangat dini.
Aaron menoleh ke arah dimana ia yakin Sia berada, "sudah waktunya, kan? Aku tahu," ucapnya sambil turun dari tepi jendela. Setelan jas nya yang berwarna hitam agak sedikit kusut, tidak heran karena dia sudah lama berada di sana.
"Bagaimana dengan Ethan?" tanya nya pelan ketika sudah berada tepat di depan Sia.
Ibu nya itu hanya menghela nafas lemah sambil mengambil lengannya untuk dijadikan sebagai tumpuan. Mereka berjalan bersama melewati aula packhouse dalam kesunyian. Aaron benar-benar tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Entah bagaimana ketenangan yang biasanya begitu ia sukai mendadak terasa begitu menyakitkan, membebani dada nya serupa tumpukan batu tak kasat mata.
Ketika ia dan Sia telah berada di luar packhouse dan sedang berjalan menuju danau belakang Aaron bisa merasakan tetes demi tetes air jatuh mengenai kulitnya. Gerimis. Suara angin menabrak semak dan dedaunan pohon juga sesuai dengan langit mendung di atas sana. Aaron tahu ia bukan seorang pria yang hebat dengan kata-kata, tapi ketika otaknya secara perlahan mulai memproses keserasian antara elemen yang ada di sekitarnya saat ini ia akhirnya memutuskan bahwa hanya ada satu kosa yang bisa menggambarkan mereka semua.
Hampa...
Sekarang ia dan Ibu nya sudah sampai di danau. Apa? Bagaimana dia bisa tahu? Dia buta. Tentu saja! Dia memang buta tapi tidak tuli. Pendengaran nya masih berfungsi dengan baik. Dan apa yang sedang ia dengarkan saat ini adalah suara para tetua pack membacakan sesuatu yang semua orang sebut sebagai "Penghormatan Terakhir Bagi Yang Meninggalkan".
Aaron mengernyit tidak nyaman. Ia tidak suka cara mereka melantunkannya, mengingatkannya pada kremasi mayat yang pernah secara tidak sengaja ia lihat ketika masih kecil. Mengerikan. Bagaimana mungkin seseorang bisa sampai pada Tuhan jika tubuhnya dibakar hingga hanya menyisakan abu nya saja?
"Itu namanya keyakinan."
Aaron secara refleks menoleh ketika salah satu lengannya dirangkul oleh seseorang. Bukan Ibu nya, karena wanita itu baru saja pergi beberapa saat yang lalu. Tapi ia mengenali aroma pohon maple kering dan bunga cosmos yang baru saja mekar ini.
"Ara..." bisik pria itu hampir seperti hembusan nafas, senyumnya mengembang. Tidak lebar tapi tetap saja itu adalah sebuah senyuman, "...kapan kau tiba?"
"Emh, jarak pack milik Daddy kesini tidak begitu jauh," jawab Aarti, ia mengeratkan tangannya di lengan Aaron. Suasana seperti ini juga tidak normal baginya.
Tapi bagaimana Aarti bisa tahu? Bahwa tidak ada hal yang normal tentang kematian. Sebuah jiwa pergi untuk tidak akan pernah kembali. Hal ini mungkin juga biasa bagi orang lain, tapi bagi mahluk seperti mereka yang cenderung abadi, kematian adalah sesuatu yang untuk sementara sempat terlupakan ketentuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise (Mate Series #3)
Loup-garou"Karena aku ingin menjadi hari esok untukmu, maka aku hidup hari ini."