Dua

648 73 16
                                    

Davin baru akan menyalakan rokok miliknya, namun tiba-tiba saja seseorang merampas korek gas yang ada di tangannya, dan kemudian mengambil rokok yang sudah berada di antara bibir Davin.

"Jadi selama ini aku harus menutupi kelakuan kamu yang seperti ini, iya?".

Adeeva membuang rokok yang berada di jarinya kemudian menginjak dan menghancurkan rokok yang sangat di sukai oleh Davin itu.

"Kenapa kamu bisa ada di sini", Davin mengalihkan pandangannya ke wajah gadis berusia tujuh belas tahun itu dari rokok yang sudah tidak jelas bentuknya yang berada di bawah kaki Adeeva. "tempat ini kan tempat rahasia, dan hanya aku yang tahu, kamu sering buntutin aku ya, ngaku aja", Adeeva tidak pernah mengerti bagaimana pola fikir Davin, kenapa Davin bertingkah seperti abal-abal dan malah membicarakan tempat ini yang menurutnya rahasia, ayolah, semua siswa tau tempat ini, hanya saja mereka tidak ingin ke tempat yang berbau debu dan menyeramkan tersebut, Davin adalah anak satu-satunya yang betah berada di tempat yang sangat kotor ini.

Adeeva semakin kesal saat matanya menatap wajah laki-laki aneh yanga da di hadapannya, bagaimana bisa Davin bersikap begitu tenang sementara dia sudah sangat marah.

Adeeva memutar bola matanya malas, oke, kali ini sepertinya Adeeva harus mengeluarkan kesabaran ekstra.

"Kamu ini emang udah gila, pokoknya aku gak akan pernah mau bantu kamu lagi"

"Akting marah kamu gak natural sayang"

"What?"
Akting?

Davin bilang Adeeva sedang akting?, apa dia benar benar sudah gila?, jika sekarang berada di film kartun mungkin wajah Adeeva sudah berubah menjadi ungu dan keluar asap di telinganya yang menghasilkan bunyi seperti peluit.

"Aku ini beneran marah, apa kamu gak bisa baca ekspresi orang?, dasar gila", Davin sempat beberapa saat hanya diam sambil memandangi tanah yang ada di bawah kaki Adeeva dengan tatapan yang sulit di artikan oleh Adeeva, mungkin sedih, atau apapun itu yang jelas Davin berubah dari Davin yang biasanya, tak lama Davin malah menatap mata Adeeva dengan tajam yang membuat Adeeva sedikit ngeri dan salah tingkah, kemudian sebuah sunggingan senyuman jail tiba-tiba terbit dari bibir Davin, tunggu, apa Davin kesurupan arwah gentayangan yang ada di gudang ini?.

"Iya aku emang gila, dan kamu sebab dari aku menjadi gila", setelah itu Adeeva tahu jika Davin tidak kesurupan arwah gentayangan, dia memang laki-laki aneh.

gombalan Davin mamang sangat recehan namun tetap bisa membuat hatinya menjadi tidak karuan.

"Gombalan nya receh", dengan tidak sadar Adeeva menarik lengan kokoh milik Davin dengan tangannya yang mungil, Davin tidak berkutik dan hanya bisa pasrah saat tangannya di seret, kapan lagi bisa di pegang pengang sama Adeeva yang super duper jutek, dengan satu catatan bukan Davin yang memintanya melainkan Adeeva sendiri yang sudah menyentuhnya.

"Megangin akunya kenceng banget sih, takut aku pergi ya?"

Adeeva menghentikan langkahnya, dia baru sadar dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini dan langsung melepaskan genggamannya, tangan kanannya yang sedari tadi memegangi korek milik Davin langsung mengepal, menahan rasa malu yang sudah mulai membayanginya namun sekuat tenaga Adeeva mencoba tetap bersikap tenang, bisa gede kepala si Davin jika dia tau kalau sekertaris kelas yang terkenal tegas malu karan ucapan Davin.

"Jangan GR, aku cuma gak mau nanti aku di marahin guru karena seorang maniak sekolah kaya kamu"

"Kamu galak banget sih, tapi keliatan imut, jadi gemes deh"

Davin mencubit pipi mulus Adeeva dan kemudian masuk ke dalam kelasnya, dan sekertaris kelas yang jutek hanya bisa diam membatu dengan wajah yang sudah berubah merah seperti tomat yang matang.

Davin, anak itu harus di beri pelajaran yang tidak bisa dia lupakan seumur hidupnya karna dia sudah membuat hati Adeeva ketar ketir.

🍁🍁🍁

Kevin Santoso sedang menyenderkan tubuhnya yang lelah di senederan kursi kerjanya yang nyaman, selama delapan belas tahun terahir, tepatnya sejak kelahiran Davin adiknya, Kevin tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan, atau mungkin dia yang lupa bagaimana rasanya bahagia, dia selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, dia juga selalu bersikap dingin dan kasar kepada Davin, Kevin bahkan melarang Davin untuk menemuinya, semua luka yang ada di hatinya sudah sangat dalam dan masih menganga, Kevin tidak akan sanggup jika luka lama tersebut harus kembali membesar dan semakin dalam, satu satunya orang yang selama ini bersamanya adalah Kirana sahabat sekaligus manajernya di perusahaan miliknya ini.

Kevin mengusap kasar mukanya, Kevin bangkit kemudian mengambil Jasnya yang berada di atas sandaran kursi, dengan kemeja yang di lipat hingga ke siku dan dua kancing atas kemejanya sudah terbuka kemudian memutuskan untuk pulang.

Sekitar pukul tujuh malam ahirnya dia sampai di rumahnya, rumahnya memiliki dua lantai dengan desain modern membuat rumahnya semakin terlihat mewah, rumah itu tampak sepi karna hanya di tempati oleh kakak beradik dan juga beberapa pegawai yang bertugas mengurus rumah.

Kevin langsung menuju ke kamarnya, meletakkan jas miliknya di atas tempat tidurnya, matanya menatap bingkai foto kecil yang berada di atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya, di dalam foto itu ada dia, ayah, dan ibunya yang sedang mengandung Davin pada saat itu, mereka berdua tersenyum bahagia namun senyum itu malah membuat hatinya menjadi perih.

"Aku merindukan mu ibu, aku sangat merindukan mu, maaf karna aku tidak menurut pada mu"







AlzheimerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang